reforget | 018
cw // Dimas' life background tw // implied toxic parents behavior , internal family problems
ps. please read at your own discretion, and please stop reading immediately if somehow this triggers you. hurting you guys is never and will never be my intention x.
Dimas mendengus saat membaca pesan yang dikirim oleh Kelvin, seorang laki-laki yang sudah dianggap sebagai teman dekatnya sejak keduanya masih duduk dibangku SMA.
Masih teringat jelas dalam kepalanya, saat nama seorang laki-laki yang tidak begitu dikenalnya itu dipanggil lewat pengeras suara saat upacara bendera pada hari Senin enam bulan silam. Dimas, seorang siswa yang cenderung memiliki sifat terlalu cuek dan nyaris tidak peduli dengan siapapun yang belum dikenalnya, lantas kembali mengunyah permen karetnya, melipat kedua tangannya didada sambil memicingkan kedua matanya.
Ia sama sekali tidak pernah mendengar nama seorang laki-laki yang sedang berdiri disamping Wakil Kepala Sekolah bagian Kesiswaan sambil menyunggingkan senyum lebarnya itu.
Laki-laki itu terlihat mengenakan kacamata, seragam yang dipakainya pun terlalu rapi, lengkap dengan dasi warna abu yang sepadan dengan celana panjang berbahan kain yang sepertinya disetrika dengan teknik khusus itu. Namun menariknya, laki-laki yang tengah menunduk karena merasa malu itu tidak terkesan cupu. Sebaliknya, sosok laki-laki itu terlihat berbeda—untuk ukuran siswa tingkat akhir versi Dominikus Dimas Yudhistira.
Beberapa teman satu kelasnya yang sedang berdiri berbaris di depannya itu satu-persatu terlihat berjinjit, tidak mau kalah dengan siswa lainnya yang sedang berebut melihat ke arah depan lapangan, membuatnya lantas memutar kedua bola matanya malas. Beberapa temannya yang berbaris dibelakangnya pun memintanya untuk membungkukkan tubuhnya—bahkan memintanya untuk minggir. Berbeda dengan Dimas yang tidak perlu repot-repot mengubah posisinya karena ia memiliki tinggi tubuh melebihi teman-temannya.
Ia berdecak. Memangnya laki-laki entah siapa yang sedang berdiri di depan lapangan itu sedemikian penting, hingga barisan siswa yang sedang mengikuti upacara harus saling berbisik dan membicarakannya itu seperti ini, batinnya kesal dalam hati, lalu memalingkan wajahnya ke arah area luar sekolah.
Dimas melihat beberapa kendaraan seperti tengah berebut untuk mendahului satu sama lain di depan area komplek sekolahnya yang terletak tidak jauh dengan perempatan jalan itu. Ia lantas menggelengkan kepalanya. Hari Senin pagi memang waktu yang sangat menantang bagi sebagian besar orang.
Mungkin dirinya akan melakukan hal yang sama jika saat ini berada diposisi para pengemudi kendaraan itu.
Ia tidak dapat memfokuskan pendengarannya pada satu suara; pikirannya melayang ke sana kemari, dari memikirkan apa yang akan dibelinya di kantin sekolah saat jam istirahat nanti, hingga memikirkan nasibnya jika dirinya sudah resmi lulus dari statusnya sebagai seorang siswa sekolah itu dalam hitungan minggu.
Namun tak lama kemudian, pikirannya yang sudah tersusun rapi layaknya kepingan domino itu lantas jatuh berantakan saat mendengar sang Wakil Kepala Sekolah itu menyebutkan nama salah satu universitas favorit yang menjadi “mimpinya”. Dimas menolehkan kepalanya dengan cepat, merasa beruntung saat itu lehernya tidak serta merta terkilir. Ia refleks membuat indra pendengarannya berfokus pada satu suara, saat mendengar pria paruh baya itu berkata dengan bangga sambil menaruh tangan kirinya pada bahu laki-laki yang sejak tadi berdiri di sampingnya.
“Saya merasa bangga dan senang karena ada perwakilan dari siswa kelas dua belas dan kakak kelas kalian, untuk para siswa kelas sepuluh dan sebelas, yang diterima di jurusan Politik Universitas Indonesia. Kamu menambah angka penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi negeri dari sekolah kita tercinta, Kelvin. Selamat, ya.”
Kelvin.
Ia tidak pernah mengenal seseorang bernama Kelvin di sekolah ini, bahkan sepertinya ia tidak pernah bertemu dengan laki-laki yang secara tidak langsung membuat seantero sekolahnya merasa bangga dan kagum secara mendadak itu.
Situasi yang tidak biasa ini lantas membuatnya kembali teringat akan pembicaraannya dengan kedua orang tuanya beberapa waktu lalu, saat dirinya tengah melakukan aksi “diam” karena keputusan sepihak orang tuanya yang membuatnya marah.
“Kami berdua, Ayah dan Mama, ingin yang terbaik untukmu. Maka Ayah dan Mama ingin kamu mendaftar ke perguruan tinggi negeri,” jelas ayahnya dengan nada tegas, sedang ibunya hanya duduk manis di samping pria paruh baya itu sambil menyeruput teh panas dari cangkir bermotif bunga itu. Kedua orang tuanya tengah duduk diatas kasurnya, sedangkan Dimas duduk dikursi belajarnya dengan menyilangkan kedua tangannya didada. Ia hampir merasa muak dengan obsesi dan cara pikir kedua orang tuanya yang tidak mengenal kata “gagal” dan “coba lagi”.
Beban berat yang menghasilkan tekanan demi tekanan diletakkan diatas dada Dimas terus-menerus, membuat napasnya sesak dan ruang geraknya terbatas. Ia tahu, semua ini dilakukan oleh orang tuanya semata-mata karena keduanya masih menjunjung tinggi rasa bangga yang melampaui akal sehat jika anak-anaknya berhasil diterima di perguruan tinggi negeri. Ia paham keinginan keduanya untuk “memamerkan” dirinya kepada teman-temannya, sebagai anak laki-laki pertama di keluarga mereka yang mampu meneruskan generasi orang tuanya, dengan embel-embel “kami mendorongmu seperti ini karena kami menyayangimu dan ingin kamu menjadi anak yang sukses.”
Dan bagi Dimas, alasan itu tidak dapat diterima oleh akal sehatnya.
Ayahnya yang sempat meregangkan tubuhnya karena pegal lalu menegakkan posisi tubuhnya kembali, melipat kedua tangannya didada seperti dirinya. Beliau menatapnya dengan sorot tajam dan “menuntut”. Dimas tahu, ia sedang berada di tengah lautan luas dengan dasar tak berujung. Ia tidak tahu jika tepat di bawah tempatnya mengapung, ada sebuah palung besar dan dalam yang akan menariknya jauh ke dasar laut dan sulit untuk berenang ke permukaan.
Dimas terpojok. Ia tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan selain mengangguk dan menelan kata-kata yang sudah berada diujung lidahnya untuk “menjawab” Ayahnya bulat-bulat.
Seperti yang selalu dilakukannya sejak entah kapan.
“Ayah ingin kamu masuk di Universitas Indonesia. Pilihlah jurusan apapun yang kamu inginkan, kamu pasti punya salah satu keinginan, bukan? Jangan kalah dengan anak-anak dari teman-teman ayah. Mereka yang tidak begitu pintar seperti kamu saja mampu masuk ke universitas negeri favorit lewat jalur SNMPTN. Ayah tahu kamu pun mampu membuat Ayah dan Mama bangga, hanya Ayah kurang yakin kamu bisa lawan rasa malas dan mudah menyerahmu itu atau tidak.”
Dimas mengulum senyum kecut, hampir saja membuka mulutnya dan tertawa nanar. Dengan susah payah dirinya menahan untuk tidak memutar kedua bola matanya malas lalu menyambar pamflet universitas yang sedang dipegang oleh ibunya dan merobeknya. Ia tidak pernah mengerti dengan ambisi kedua orang tuanya dengan perguruan tinggi negeri. Memangnya segala sesuatu hanya akan tercapai jika melewati satu “jalan” saja? Memangnya tidak ada cara, atau bahkan tempat lain untuk menggapainya?
Bahkan kedua orang tuanya kerap kali membandingkan kemampuannya dan dirinya secara keseluruhan dengan orang lain—bahkan dengan para sepupunya sendiri.
Jika saja Dimas berani melawan keinginan kedua orang tuanya dan mengejar mimpinya sendiri sekali ini saja, mungkin saat ini ia sudah berada di Inggris, menempuh pendidikan sarjana dengan beasiswa yang hampir saja didapatkannya, jika saja ayahnya itu tidak mengintervensi rencananya saat hendak berangkat dari rumah untuk menghadiri wawancara yang harus dilakukan untuk keperluan beasiswa tersebut.
Oh tentu, ia sempat berontak dan hampir pergi dari rumah karena pertengkaran dengan ayahnya itu. Ia kalut, melampiaskan amarahnya dengan membanting pintu kamarnya dan mengambil koper miliknya yang terletak disamping kasur miliknya. Dimas dengan cepat membuka lemari pakaiannya, mengemasi pakaiannya—hanya yang dibelinya dengan uangnya sendiri—dengan gemuruh amarah yang masih mengungkung dada dan kepalanya. Ia benar-benar kecewa dengan tindakan ayahnya yang dengan sepihak “merenggut” mimpinya untuk tinggal di luar negeri, ingin mengejar mimpinya untuk berkuliah di University of Oxford dan mengambil jurusan Ilmu Politik, dengan jalur beasiswa yang sebentar lagi didapatkannya.
Namun emosi sesaatnya itu lantas luntur saat mendengar suara kedua adik laki-lakinya menangis tak jauh dari kamar tidurnya berada, sepertinya sempat terkejut saat mendengar suaranya meninggi saat beradu mulut dengan ayahnya beberapa saat lalu.
Dimas lalu mengambil napas panjang, membanting pakaiannya yang kusut akibat digenggam begitu erat kelantai, lalu menyandarkan tubuhnya dipinggir kasur hingga terkulai lemas. Ia lalu meraih setumpuk pakaiannya itu lalu membenamkan wajahnya dan berteriak, merasa lelah dan frustrasi dengan semua paksaan yang dituntut oleh kedua orang tuanya.
Sampai kapan dirinya harus seperti ini, mengiyakan keinginan kedua orang tua yang membesarkannya itu dan merelakan mimpinya lagi?
Dimas benar-benar lelah. Ia benar-benar ingin melarikan diri dari rumahnya itu dan melanjutkan hidupnya atas kemauannya sendiri. Namun ia tidak bisa. Dimas tidak bisa. Ia tidak mungkin meninggalkan kedua adiknya begitu saja. Ia merasa ketakutan jika kedua orang tuanya itu akan melampiaskan amarah dan kekecewaannya atas perlakuan Dimas kepada kedua adik laki-lakinya itu dengan perkataan yang dimungkinkan akan melukai kedua hati adiknya itu.
Maka dengan pasrah—lagi-lagi dengan pasrah—Dimas menyerah. Ia sempat mengurung dirinya di kamar tidurnya hingga keesokan harinya, memikirkan apa yang akan terjadi dikemudian hari jika ia akhirnya mengiyakan permintaan kedua orang tuanya.
Dan lagi-lagi, Dimas memutuskan untuk merelakan mimpinya dan menyetujui keinginan mereka.
Dimas sudah lelah. Ia lebih memilih untuk menuruti keinginan orang tuanya dan melakukan yang terbaik agar dirinya dapat diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia. Setidaknya, hanya itu yang dapat ia lakukan untuk membuat kedua orang tuanya “tenang dan diam”.
Setidaknya, keduanya tidak akan lagi mengejar-ngejar Dimas sampai keinginan mereka terpenuhi.
Maka untuk kali pertama dalam hidupnya, Dimas memutuskan untuk lebih menaruh perhatian pada sekitarnya, termasuk orang yang belum dikenalnya.
Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Dimas mengakui bahwa dirinya jauh dari cukup.
Dan untuk pertama kali dalam hidupnya saat itu, Dimas memutuskan untuk memulai; menghampiri laki-laki bernama Kelvin yang terlihat sedang melangkahkan kakinya menuju kantin sekolah setelah upacara hari Senin pagi itu dibubarkan untuk mengajaknya berkenalan.
Setidaknya, Dimas berpikir, mungkin hadirnya Kelvin secara tiba-tiba pagi itu memang ditakdirkan oleh Tuhan sebagai salah satu cara untuk meraih “mimpi”nya yang harus dimulai kembali dari nol.
Siapa yang menyangka bahwa Kelvin akan dengan senang hati menanggapi perkenalan singkat mereka itu dengan respon yang positif, lengkap dengan senyum lebar yang membuat satu lesung pipinya timbul dipipinya.
Siapa yang menyangka bahwa keduanya akan menjadi sangat dekat bagai pinang dibelah dua, walaupun keduanya memiliki sifat yang jauh berbeda layaknya langit dan tanah. Dimas dengan kepribadiannya yang menyenangkan, santai namun cuek, dengan Kelvin yang seperti memiliki magnet dalam tubuhnya untuk menarik semua faktor “kesempurnaan” yang ada di dunia ini.
Dan siapa yang pernah menyangka, laki-laki yang baru dikenalnya beberapa bulan itu adalah satu-satunya sosok dalam hidup Dimas yang dianggap pantas olehnya sebagai seorang sahabat.
Dimas menggeram saat kedua telinganya mendengar suara pesan masuk dari ponselnya yang tumpang tindih dengan suara riuh tepuk tangan penonton dari televisinya. Ia lalu mengerjapkan matanya dan melenguh, tidak menyadari bahwa ia menonton televisi hingga tertidur pulas karena kelelahan.
Ia meraih ponselnya dan melihat ke arah layar sambil menghela napas berat saat melihat waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam hari. Ia tidak mungkin keluar dari apartemennya hanya untuk membeli makan malam. Jalanan di depan gedung apartemen Margonda Residence itu dipastikan akan dipadati oleh kendaraan bermotor pada jam pulang kantor seperti saat ini. Ia pun merasa malas jika harus turun ke area basemen untuk mengendarai motor Yamaha miliknya atau mobil Fortuner berwarna hitam pemberian ayahnya karena telah berhasil menyandang status mahasiswa baru di Universitas Indonesia.
Dimas lalu teringat bahwa di lantai dasar gedung apartemen itu menyediakan fasilitas kantin yang menjual beraneka macam makanan dan minuman dengan harga murah hingga pukul sembilan malam. Maka ia tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi untuk berpikir dan akhirnya beranjak dari kasurnya, melangkahkan kakinya kekamar mandi untuk membersihkan diri.
Dua puluh menit berlalu, ia lantas mengenakan pakaian seadanya, meraih dompet, ponsel, serta sebungkus rokok miliknya sebelum akhirnya mengenakan sandal santainya dan keluar dari unit apartemennya menuju kantin. Ia belum mengenal satupun orang di gedung apartemennya yang menjadi salah satu pilihan untuk menjadi tempat tinggal para mahasiswa di sekitaran Depok itu.
Dimas pun merasa belum pernah berpapasan atau bahkan bertemu dengan satu orang senior pun di sini. Ia lalu mengedikkan bahu, mungkin saja banyak mahasiswa satu fakultas dengannya yang tinggal di gedung ini namun belum dikenalnya.
Ia akhirnya menginjakkan kaki di lantai kantin gedung itu, seketika mendengar suara yang ramai, tidak sepi seperti beberapa hari yang lalu saat ia melewati area kantin setelah memarkirkan mobilnya di area basemen.
Ia melangkahkan kakinya cepat, lalu sedikit terbelalak saat melihat ruang terbuka itu hampir penuh oleh pengunjung.
Dimas hampir mengurungkan niatnya untuk membeli makan malam dan menyantapnya di tempat, saat seorang pria dengan tidak sengaja menyenggol tubuhnya yang sedang berdiri mematung sambil berpikir itu.
Pria itu lantas menoleh sambil mengangkat tangannya, raut wajahnya terlihat menyesali kejadian barusan. “Eh, maaf,” ujar pria asing yang sepertinya tidak berbeda jauh umurnya dengannya itu cepat sambil meminta maaf. “Gue sedang buru-buru ambil slot kosong untuk duduk. Penuh banget, bro, tumben. Nggak seperti biasanya.”
Ia hanya tersenyum simpul sambil mengangguk. “Nggak apa, kok. Nggak perlu minta maaf,” balas Dimas sopan pada pria yang baru kali ini ditemuinya itu. Ia lalu menyambung lagi sambil mengedarkan pandangannya. “Iya, tumben banget ya, sepertinya kemarin nggak seramai ini.”
Ia lalu menyadari bahwa pria asing itu tengah memerhatikan wajahnya dengan seksama, membuatnya hampir merasa terganggu. Sebelum Dimas mengatakan apapun untuk bertanya, pria itu lalu berkata sambil mengulurkan tangannya. Pria itu tersenyum lebar. “Salam kenal, lo orang baru ya di gedung ini? Gue baru lihat lo sekarang. Sepertinya gue belum pernah bertemu lo, deh. Nama lo siapa?”
Dimas lalu melirik ke arah tangan pria dan wajahnya bergantian. Ia bahkan tidak tahu apakah dirinya harus membalas uluran tangan pria asing itu.
Namun sesuatu dalam hatinya mengatakan bahwa dirinya harus menjabat tangan pria itu.
Harus.
Ia lalu menjabat tangan pria itu asal setelah memindahkan sebungkus rokok dan ponselnya kegenggaman tangan kirinya. “Nama gue Dimas. Iya, gue mahasiswa baru UI. Baru kemarin resmi tinggal di apartemen ini,” jelasnya santai. Mengapa dirinya dengan mudahnya memberikan informasi seperti itu pada orang yang baru dikenalnya? Apa mungkin aura dari pria yang sedang berdiri di hadapannya ini yang membuatnya lantas memberitahu hal itu tanpa berpikir terlebih dahulu?
Pria itu hanya terdengar ber-oh-ria, lalu membalas jabatan tangannya lebih erat sambil tersenyum dan mengangguk. “Kenalin, nama gue Julian. Gue juga mahasiswa UI, tapi gue senior lo, Dimas.”
“Ah, oke,” balasnya cepat. “Maaf, Kak kalau gue kurang sopan.”
Julian mendengus sambil mengibaskan tangannya, sebelum mengurai poninya yang tertiup angin malam hari. “Halah, santai. Kalau di luar kampus, gue orangnya santai, kok.”
Pria itu menjawab dengan santai, lalu sekilas menoleh ke arah meja yang terlihat kosong.
“Eh, ada meja kosong di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah meja yang baru terisi oleh dua orang asing itu. “Mau gabung dengan gue dan teman-teman gue? Sekalian kita bakar rokok bareng.”
Entah mengapa, Dimas menganggukkan kepalanya cepat tanda menerima tawaran seniornya itu sambil tersenyum.
“Sure, Kak.”