the last baton | 694

tw // implied slight insecure thoughts


It’s so tiring ya, Vin, cari apartemen baru.”

Vincent mendengar kekasihnya itu menghela napas berat—hampir terdengar seperti mendengus—membuatnya lantas tertawa renyah sambil menengadahkan kepalanya. Sepasang mata hazelnya menyipit, hilang dibalik lipatan kelopak matanya yang berbeda satu dengan yang lain.

Kalimat yang baru saja diucapkan oleh Gregory memang benar, mencari apartemen yang akan menjadi tempat tinggal baru untuk mereka berdua sungguh melelahkan. Vincent dengan keinginannya serta egonya—ia baru saja menyadarinya beberapa saat lalu—dan Gregory dengan sudut pandang yang berbeda, namun sangat masuk akal dan dapat diterima olehnya. Walaupun tidak terjadi adu argumen yang sengit diantara mereka—keduanya hanya melakukan sesi bertukar pikiran yang sedikit alot.

Namun setelah mengobrol dengan Gregory selama hampir dua jam, Vincent lantas berpikir, sepertinya ia memang harus menurunkan “ego”nya agar ia dan kekasihnya itu dapat menemukan titik tengah.

Vincent ingin tinggal di sebuah unit apartemen baru yang cukup luas—setidaknya, luasnya harus sama atau mendekati unit yang ia tinggali saat ini. Bukannya ia ingin membuang-buang uang, bukan sama sekali. Ia hanya bermaksud jika teman-temannya berkunjung, ia dan Gregory memiliki ruang yang nyaman dan memadai untuk mereka. Sedangkan kekasihnya mengusulkan agar unit apartemen miliknya yang berada di daerah Rue la Bruyère itu dapat “disulap” menjadi tempat tinggal mereka kelak.

Tentu saja, tanpa berpikir dua kali, ia dengan cepat menolak usulan Gregory dan mengalihkan pembicaraan mereka.

Alasan Vincent sebenarnya sangat sederhana. Ia merasa belum mampu merelakan unit apartemennya itu menjadi “rumah” baru untuknya dan Gregory. Tempat tinggalnya itu menyimpan banyak sekali kenangan pahit selama lima tahun belakangan ini. Jika Vincent merasa sedang stres dan bosan dengan profesinya sebagai konduktor orkestra, ia lebih memilih menyendiri dan menjauh dari teman-temannya. Ia cenderung akan “melarikan diri” dari Rue de la Ferronnerie untuk menjernihkan pikirannya—bermain alat musik hingga pagi hari tanpa beristirahat. Ia hanya tidak ingin emosi yang sedang dirasakannya akan meluap, memenuhi seluruh ruangan dan berakhir mempengaruhi emosi orang lain, terutama Sebastian dan Tobias yang tinggal satu atap dengannya.

Hingga detik ini, Vincent masih enggan melepas status unit apartemen miliknya itu sebagai “tempat pelarian”nya.

Mungkin suatu hari nanti, ia akan menceritakannya pada Gregory. Tidak sekarang.

Ia dan Gregory tengah duduk bersisian pada sofa di ruang tengah apartemennya, menyandarkan tubuh mereka pada sandaran yang empuk dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ia mempersilakan keheningan mengungkung seluruh ruangan, menuntut kedua telinganya untuk hanya mendengar suara halus napas Gregory yang terlihat sedang melihat ke arah jendela unit apartemennya sambil melamun.

Sinar matahari yang terik menembus kaca jendela gedung itu, mengenai sisi kanan sofa tempat mereka duduk. Hangatnya sinar matahari pagi ini pun seperti selimut untuk mereka, memeluk tubuh keduanya dari dinginnya udara kota Paris. Cuaca di luar terlihat cerah, walaupun Vincent sempat melihat bahwa suhu kota Paris saat ini sudah menyentuh angka tujuh belas derajat celcius.

Yeah it indeed is tiring, my love,” balasnya singkat sambil meraih tangan Gregory yang terasa dingin. Pria itu menoleh ke arahnya, sepasang manik hazelnya lantas bertemu dengan kedua mata bulat pria yang sedang duduk disampingnya itu.

Bahkan disaat-saat seperti ini saja, Gregory terlihat sangat tampan. Oh Tuhan, Vincent mencintai pria itu, sungguh sangat mencintainya.

Ia tak ingin berhenti mengucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa karena Gregory seperti seseorang yang diutus oleh-Nya untuk menjadi “pelengkap dan penyeimbang” dalam hidupnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya saat ini jika ia tidak menerima tawaran Timothy untuk berkenalan dengan pria itu beberapa bulan yang lalu.

Entah sudah berapa kali ia berandai-andai tentang hal ini; apa yang akan terjadi jika ia tidak bertemu dengan Gregory, jika ia tidak memutuskan untuk menyewa sebuah studio musik di Paris, dan apa yang akan terjadi jika ia tidak mencoba untuk mengenal Gregory lebih jauh, mungkin ia sendiri tidak akan sampai pada titik ini, duduk bersisian dengan kekasihnya itu dan merasakan cinta yang luar biasa dan terkadang hampir membuatnya gila.

Vincent lantas teringat akan obrolannya dengan Gregory beberapa saat lalu; bagaimana pria itu dengan sabar menyanggah pendapatnya, beberapa kali mengalah dan menunggu sampai akhirnya memiliki kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya yang jauh berbeda dengannya. Kekasihnya itu menyadarkannya bahwa ia benar-benar harus menurunkan egonya, karena bagaimanapun juga, mereka akan tinggal satu atap dalam waktu dekat.

“Sepertinya aku harus menurunkan egoku sendiri agar keinginan kita berdua menemukan jalan tengah, Gregory,” katanya final sambil mengusap punggung tangan pria itu dengan ibu jarinya. “It's going to be our new home, after all. Maaf kalau aku terdengar sangat keras kepala. Aku hanya ingin tempat tinggal yang terbaik untuk kita berdua, itu saja.”

Kekasihnya itu mengernyitkan dahi sebelum akhirnya tergelak. “You know home is wherever you are, but I guess we both should, Vin sayang,” ujarnya sambil berdecak, lalu memiringkan kepalanya dan meletakkan tangan kanannya diatas punggung tangan Vincent. “Kamu tidak perlu minta maaf, oke? Lagipula, tidak ada salahnya kok untuk memiliki ekspektasi dan keinginan. I also have my dream house, too. Tapi, tidak semuanya harus buru-buru, 'kan? Kita masih punya banyak waktu untuk berpikir.”

Gregory lalu mengangkat tangannya dan menepuk pipinya lembut. “So, no rush. Okay?”

Vincent sedikit terkejut saat mendengar kalimat Gregory barusan. Ia hanya membalas dengan menggumam, otaknya masih bekerja untuk memproses respon yang diberikan oleh kekasihnya itu. Gregory benar-benar mulai merubah cara berpikirnya dan sepertinya, perlahan mulai belajar untuk menurunkan egonya sendiri.

Jujur saja, ia sempat mengira bahwa pembicaraan mereka mengenai apartemen baru ini akan berakhir dengan perdebatan atau bahkan pertengkaran.

Namun justru sebaliknya, Gregory terlihat sangat tenang dan sabar saat mendengar dirinya mengutarakan pendapatnya.

Ia lantas mengulas senyum lalu mengulurkan tangannya untuk menyisir surai hitam Gregory dan menyelipkannya dibelakang telinga pria itu. “Okay, Beau. No rush,” jawabnya dengan nada lembut sambil memindahkan tangannya untuk memijat leher kekasihnya. Gregory terlihat mengangguk dan tersenyum lebar sesaat setelah ia mengucapkan dua kata untuk pria yang sangat dicintainya itu. “Je t'aime, mon amour.”

Gregory mendengus lalu menggigit bibirnya, menggenggam pergelangan tangannya sambil tersenyum sumringah padanya. “I love you too, Vin.”

Tak lama setelahnya, Vincent seketika teringat akan pembicaraannya dengan Josephine lewat pesan singkat saat Gregory tengah melihat-lihat unit apartemen di daerah Champs-Elysées pada laman pencarian layar laptop miliknya. Ia sempat menangkap dengan ekor matanya, kekasihnya itu melirik sekilas ke arahnya sambil mengernyitkan dahi, seperti sadar akan perubahan raut wajahnya yang cukup drastis saat membaca pesan yang dikirimkan oleh rekan anggota klub orkestranya itu.

Vincent sebenarnya enggan menceritakan hal itu pada Gregory saat ini. Ia merasa khawatir dan takut jika kekasihnya itu akan berpikir hal yang macam-macam dan berujung dengan menimbulkan prasangka buruk. Ia tidak tahu apakah orang yang berperan penting dari Vienna Philharmonic itu benar-benar akan datang pada saat konser orkestranya berlangsung. Ia tidak tahu apakah pihak mereka akan menontonnya dan lalu memutuskan untuk “merekrut” dirinya.

Semua itu adalah hal yang mustahil, walaupun Vincent mengenal dan mengakui kemampuannya sendiri, namun rasanya itu semua hanyalah mimpi belaka.

Ia belum siap menceritakannya pada Gregory, karena jika ia melakukannya, ia tahu pasti dirinya akan menggantungkan harapannya setinggi langit dan mengejarnya, tanpa memedulikan apapun dan siapapun. Vincent khawatir dirinya akan terlalu ambisius dan gelap mata, dan berakhir membuat Gregory tidak nyaman dengan ambisinya.

Ia bahkan takut hubungannya dengan pria itu akan kembali terancam, karena bisa saja Gregory akan berpikir bahwa ia lebih mementingkan orkestra dibanding dirinya sendiri, 'kan?

Vincent benar-benar takut. Ia lebih baik mengejar mimpinya perlahan daripada ia harus merelakan hubungannya dengan Gregory melewati kerikil tajam dan bara api seperti beberapa waktu lalu.

Namun ia tidak akan pernah mengetahui tanggapan pria itu jika ia tidak pernah bertanya, 'kan?

“Gregory,” ujarnya memecah keheningan, merasakan tenggorokannya kering karena gugup. Dan sungguh, Vincent jarang sekali merasa gugup. “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu.”

Pria yang duduk disampingnya itu terlihat sedang mengunyah sepotong sandwich yang sempat dibuat olehnya sebagai sarapan untuk mereka berdua. Gregory membalas kalimatnya dengan menggumam, mulutnya bergerak dan terlihat penuh. “Yes? Ada apa, Vin?”

Melihat kekasihnya berbuat demikian, Vincent mengulurkan tangannya untuk menepuk pipinya dengan lembut sambil terkekeh. Ia lalu meraih gelas berisi air mineral yang terletak diatas meja dihadapan mereka dan menyuguhkannya pada Gregory. “Actually,” sambung pria itu setelah meneguk segelas air putih itu hingga habis. “You've been kind of weird and awkward since you got some text messages earlier, Vin. Is everything okay?”

Gregory tentu menyadarinya, dan ini mungkin adalah saat yang tepat bagi Vincent untuk menerobos kekhawatirannya dan mempersilakan Gregory mengetahui hal apa yang sedang memenuhi kepalanya.

It's about me and my concert, my love.”

Kekasihnya itu seketika mematung, lantas meletakkan gelasnya yang kosong diatas meja lalu duduk menghadap ke arahnya. Kedua tangannya dengan cepat terulur untuk meraih dan mengeratkan jemari mereka. Gregory terlihat khawatir. “Ada apa, Vin? Tidak ada sesuatu yang buruk terjadi denganmu atau anggota klubmu, 'kan?”

Vincent menggeleng pelan sambil tersenyum melihat kekasihnya khawatir seperti ini. Apakah perubahan raut wajahnya saat membaca pesan Josephine sangat terlihat berbeda? “Tidak ada, sayang. It's just,” ujarnya lagi sambil menatap mata bulat Gregory. “Do you know Vienna Philharmonic Orchestra by any chance?”

Gregory menggelengkan kepalanya, terlihat ragu sambil terdengar menggumam. “Tidak pernah dengar sama sekali, Vin. Apa kamu pernah memberitahu atau menceritakannya padaku sebelumnya?”

Ia mengedikkan bahu sambil menghela napas berat. Right, sepertinya ia harus menjelaskan salah satu grup orkestra terbaik di dunia itu kepada Gregory dari awal. “Sepertinya tidak pernah, Gregory. Aku pun lupa. Apakah kamu keberatan jika aku menjelaskannya dari awal?”

Of course not, Vin sayang. You know how much I'd like to hear the stories about your “world”,” ujar kekasihnya itu santai sambil membuat tanda kutip dengan dua pasang jarinya, membuatnya lantas tersenyum.

Hatinya terasa menghangat saat melihat antusiasme Gregory yang tulus, tidak dibuat-buat semata-mata hanya untuk membuatnya merasa senang. Respon yang diberikan oleh pria itu seperti lampu hijau untuknya, sebuah tanda yang membuatnya yakin bahwa ia dapat menceritakan hal yang mengganggu pikirannya tanpa harus khawatir bahwa kekasihnya itu akan merasa terbebani.

Maka Vincent menghadapkan tubuhnya ke arah Gregory, meletakkan tangannya diatas sandaran sofa untuk menyangga kepalanya. Ia duduk bersila, mencari posisi senyaman mungkin untuk menceritakan tentang salah satu klub orkestra yang selama ini menjadi contoh dan acuan semangat untuk dirinya mencapai mimpinya sebagai konduktor orkestra terbaik di dunia.

So, Gregory, Vienna Philharmonic Orchestra is currently one of the best orchestras in the world.” Vincent memulai ceritanya dengan nada bangga, seperti sedang bercerita tentang klub orkestranya sendiri. “And its based is in Vienna, Austria. Obviously, yes, based on the name itself,” lanjutnya sambil tertawa renyah, mencoba mencairkan suasana yang menurutnya canggung.

Mungkin ia harus bersiap jika Gregory menyadari ke arah mana pembicaraan ini akan mengalir.

Gregory terlihat mengangguk sambil menggumam. “Lalu, Vin?”

Ia sejenak mengernyit, menatap Gregory yang terlihat sedang memandangnya dengan raut wajah yang ceria dan terdengar menanggapinya dengan nada yang antusias.

Baiklah, mungkin kekasihnya itu belum menemukan benang merah dari apa yang sedang dibicarakan olehnya.

“Josephine lalu memberitahuku, kalau klub orkestra Vienna Philharmonic sedang mencari konduktor bertalenta di seluruh dunia untuk tim orkestra mereka yang baru. Sejak dulu, mereka tidak pernah membuka audisi khusus untuk konduktor orkestra. But this year, Josephine told me that the members of the club will be attending several orchestra concerts and “choose” the talented ones randomly to join their new team.”

Secara tidak sadar, Vincent menceritakan hal itu pada Gregory dengan sangat bersemangat, membuat kekasihnya itu tersenyum lebar sambil menggelengkan kepalanya. Ia lantas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, merasa malu karena tidak berhasil menyembunyikan perasaannya. Ia menyadari bahwa bulu kuduknya sudah meremang, kedua pipinya menghangat dan dadanya berdegup kencang. Vincent tidak ingin munafik, sesaat ia benar-benar menginginkan agar pihak Vienna Philharmonic melirik dirinya dan merekrutnya. Namun di sisi lain, ia tidak ingin mengorbankan semua hal yang telah ia genggam begitu erat saat ini—kesuksesan karirnya, kehidupan materinya, dan hubungannya dengan teman-teman dekatnya, terutama dengan Gregory.

Vincent tidak ingin ceroboh. Ia ingin memperhitungkan agar semuanya berjalan sesuai dengan apa yang diinginkannya, agar semuanya masih dalam genggamannya.

Akan tetapi, ia benar-benar tahu dan menyadari bahwa saat ini ia terdengar seperti orang yang rakus dan egois.

Ia tahu ia tidak mampu menggenggam semuanya secara bersamaan. Ia tahu bahwa ada salah satu yang harus ia lepaskan jika ia ingin bergabung dengan Vienna Philharmonic dan meneruskan hidupnya di Austria.

That's great, Vin. Really.” Gregory menanggapi ceritanya dengan tulus. Vincent tidak mendengar nada keberatan atau bahkan kebohongan di sana. Kedua mata bulat kekasihnya itu berbinar, pria itu terdengar antusias sama seperti dirinya. “So, what's your next steps to achieve that, sayang?”

Tunggu sebentar. Apakah Vincent tidak salah dengar? Apakah Gregory menyadari apa yang baru saja ia katakan?

Vincent lalu menegakkan tubuhnya sambil membetulkan letak kacamata bulatnya yang sedikit melorot dari batang hidungnya. “Next step? Gregory, apa kamu sadar dengan apa yang kamu baru saja katakan?”

Kekasihnya terlihat menegakkan tubuhnya pula, raut wajahnya pun berubah. Dahinya mengernyit kebingungan, terlihat sama sekali tidak paham dengan maksud dari pertanyaannya. Kedua mata bulatnya kini memicing, berusaha memahami situasi saat ini. “Huh? Maksudnya bagaimana, Vin? Of course I know what I was saying, sayang. Apa ada yang salah dari perkataanku tadi?”

Ia menggelengkan kepalanya cepat, tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman diantara mereka.

Bukannya ia meragukan Gregory, tidak sama sekali. Ia hanya bingung.

No offense, my love, but I thought,” sambung Vincent cepat sambil meraih tangan kekasihnya itu dan mengusap pelan telapak tangannya. “Aku pikir kamu akan merasa khawatir, atau bahkan marah padaku karena aku lebih mementingkan orkestra dibandingkan dirimu? And no, okay. That's not the case. I will prioritize you more than anything. Gregory, baik kamu maupun orkestra selalu aku posisikan dengan setara. Aku tidak mungkin mengabaikan—”

Kata-kata yang ingin diucapkan oleh Vincent seketika menggantung diudara, saat ia mendengar Gregory memotong kalimatnya dengan nada tegas sambil menutup mulutnya dengan tangannya. “Vincent sayang, for the love of God, please stop talking.”

Vincent membelalakkan matanya, tidak menyangka bahwa Gregory akan melakukan hal itu dan sukses membuatnya menutup mulutnya. Kekasihnya itu terdengar serius saat menegurnya, raut wajahnya pun tidak berubah.

Ia lantas menyesali kalimatnya, menyadari bahwa ia sudah pasti secara tidak langsung menyakiti hati Gregory karena tidak memilih kata-katanya dengan baik.

Gregory lalu melepas tangannya dari mulutnya lalu menghela napas kasar. Kekasihnya itu melipat kedua tangannya didada setelah menyugar surai hitamnya yang menutupi dahi dan kedua matanya. Sesaat Vincent melihat bagian alis sebelah kanan Gregory yang dihiasi oleh sebuah tindikan.

Oh Tuhan, bahkan hanya dengan melihatnya saja, sekujur tubuhnya benar-benar hampir bergetar—

“Vincentius,” panggil Gregory dengan ketus, membuat sekujur tubuhnya hampir lemas. Sial, mengapa ia menjadi menyedihkan dan lemah seperti ini? “Eyes on me and my eyes obly, not on my eyebrow piercing.”

Ia menggeram lalu menatap lekat sepasang mata bulat yang kini menyorot tajam, menusuk hingga manik hazel dan juga hatinya. Mon dieu, he's so fucking hot, batin Vincent. “No offense, baby, but you're so fucking hot when you're mad. You should know about that. And my eyes are always on you, okay. Don't worry about that.”

Pria yang sedang duduk berhadapan dengannya diatas sofa itu terdengar mendengus lalu menundukkan kepalanya, sepertinya berusaha menyembunyikan kedua pipinya yang dipastikan sedang memerah—Vincent melihatnya dari sepasang telinga kekasihnya itu.

Tidak ada yang dapat ia lakukan selain mengulum senyumnya melihat kekasihnya tersipu malu akibat kata-katanya. Vincent tidak akan pernah lelah memuji dan menyanjung Gregory sampai kapan pun.

Gregory lalu mengangkat wajahnya dan menghela napas kasar, berusaha mengembalikan fokusnya dengan menggerakkan tangannya seperti membentuk corong tepat didepan wajahnya untuk menetralkan raut wajahnya.

Mau tidak mau Vincent terkekeh karena gestur kekasihnya itu.

“Vincent, aku mau bicara serius.”

“Ya, cintaku. Silakan.”

Ia mendengar kekasihnya berdecak malas saat mendengarnya memanggil dengan sebutan 'cintaku', panggilan favoritnya untuk Gregory. Entahlah, anggaplah ia adalah orang yang kuno, kolot, dan kaku, namun Vincent benar-benar menyukainya. Dan Gregory tidak pernah protes saat mendengarnya memanggil dengan sebutan itu. Justru sebaliknya, beberapa hari yang lalu pria itu sempat memintanya untuk memanggilnya demikian selama sehari penuh. Tentu Vincent melakukannya dengan senang hati.

“Vin, aku berterima kasih karena kamu memikirkan perasaanku sampai sejauh itu—memikirkan apakah aku akan merasa insecure, mungkin itu kata paling tepat yang bisa aku sebutkan untuk menjelaskan perasaanku, dan khawatir berlebihan bahwa kamu akan meninggalkanku demi mimpimu dan orkestramu. And it's totally okay, because that's how I used to think.

“Tapi, Vin, mungkin kamu belum sepenuhnya menyadari, bahwa, demi Tuhan, aku ingin berubah. Kebiasaan burukku untuk memikirkan apapun yang berada di luar kuasaku secara berlebihan, mengkhawatirkan apapun yang belum tentu terjadi, dan masih banyak lagi. Aku ingin mendukungmu seratus persen, dua ribu persen kalau perlu, karena itu semua adalah mimpimu.”

Vincent hendak memotong kalimat Gregory, namun ia urungkan saat kekasihnya itu mengangkat telapak tangannya dengan cepat. “Maaf, tapi aku belum selesai bicara, Vin. Aku minta tolong, jangan dipotong dulu, ya?”

Ia hanya dapat mengangguk. Siapakah sosok yang sedang duduk dihadapannya saat ini? Vincent hampir tidak mengenalinya.

Thank you, sayang,” katanya kemudian sebelum akhirnya menyambung lagi. “My point is, I'm sorry for everything I've caused in the past, for being so insecure and mad about everything, for being so childish about your orchestra, everytime you're practicing until late because of your ambition. For being selfish and asked you to prioritize me over anything else. I'm so sorry, okay?”

Gregory terdengar menghela napas, membuatnya lantas menggenggam tangan pria itu erat, ingin menyalurkan rasa nyaman dan hangat hingga keseluruh sel dalam tubuh kekasihnya itu.

Pria itu lalu menyambung lagi. “Tapi aku tidak menyesali semua itu sama sekali, karena dengan semuanya, hubunganku dengan kamu yang naik turun, membuatku sadar bahwa aku sedang berproses untuk memahami diriku dan emosiku sendiri. Aku jauh dari kata sempurna; aku rapuh, Vincent, tapi kamu mau membantuku mengumpulkan kepingan diriku perlahan-lahan dengan memberikanku waktu sepanjang yang aku butuhkan. Dan aku merasa bersyukur karena itu.

“Kamu adalah pria yang sangat hebat, Vincent. Kamu harus terbang setinggi mungkin, berlayar sejauh mungkin, jangan mendaratkan jangkar hidupmu didalam palung hidupku. Just think of me as the airport to your plane, think of me as the harbor to your ship. I'm not going anywhere, Vin. I'll always be there to keep you safe.”

Ia tidak menyadari bahwa air matanya sudah menggenang dipelupuk matanya, menunggu aba-aba hingga akhirnya diperbolehkan meluncur turun untuk membasahi pipinya.

Gregory lalu mengulurkan tangannya untuk menyingkirkan helai rambut yang menutupi manik hazelnya, sambil memintanya untuk melirik ke arah pergelangan tangannya yang dilingkari oleh gelang pemberiannya. Vincent lantas menggerakkan matanya untuk melihat gelang yang diberikan untuk Gregory sebagai hadiah ulang tahun kekasihnya itu sebulan yang lalu.

And this one, Vin. It's your promise, it's our promise, remember? Aku selalu memandangi gelang ini saat aku merasa ada keraguan mencoba menyusup kedalam hati dan pikiranku. Aku selalu merapalkan dalam hati bahwa aku mencintaimu, dan mengingatkan diriku sendiri bahwa kamu mencintaiku. Aku pun sedang belajar untuk berubah, Vin. Apa yang aku rasakan, biarlah itu menjadi tanggung jawabku sendiri. Ya? Kamu tidak perlu khawatir.”

Pandangan mata Vincent mulai kabur. Ia tahu sebentar lagi air matanya akan tumpah.

And for the love of God, sayangku, you asked me to move in together with you, and I said yes. I took it as our promise, too. We have two things as our promises and I know I'll always be safe with you,” jelasnya kemudian sambil tersenyum lebar dengan tatapan mata yang teduh, menudungi hati dan pikiran Vincent yang bergemuruh.

Ia benar-benar mencintai Gregory. Tuhan, ia tidak akan pernah berhenti mengucap syukur.

So, don't worry about me, okay? I will be your last baton, too, Vin,” sambung pria itu lirih, mengucapkan kalimat yang sempat ia unggah dimedia sosial untuk Gregory saat keduanya belum menjadi sepasang kekasih. Vincent menorehkan kalimat itu didalam pikirannya dengan tinta hitam yang tebal dan dalam, ingin selalu mengingat janjinya untuk berjalan bersisian dengan Gregory sampai kapanpun.

Ia sudah tidak dapat menahan tangisnya saat mendengar kalimat terakhir yang Gregory ucapkan, sebelum akhirnya mengizinkan air matanya lolos membasahi pipi dan lehernya, lalu meraih tangan Gregory dan mencium telapak tangan pria itu berkali-kali.

And I will always be with you to reach the level of happiness you've always dreamt of, Vincent. So go reach your dreams, I'll always be walking or running beside you. Always. Je t'aime, my home.”