Waktu.
Jeongguk memasukkan ponselnya ke saku celana setelah menerima kabar dari Jimin bahwa semua sudah rampung. Ya, kemarin Jeongguk akhirnya meminta bantuan Jimin setelah mematangkan rencananya. Ia sudah tidak sabar; namun rasa gugup itu tetap ada. Pasalnya, yang ia persiapkan seluruhnya berhubungan dengan Taehyung.
Beberapa to-do-list milik Jeongguk akhirnya akan lengkap besok. Jujur, Jeongguk sudah mempersiapkan 'kado' yang ingin ia berikan untuk Taehyung sejak jauh hari. Jeongguk excited, namun ia hanya gugup.
Ini adalah kali pertama setelah akhirnya ia sadar bahwa ia sudah menyimpan rasa pada sahabatnya sejak berkenalan di mobil antar jemput kala itu.
Jeongguk rasanya mulas—terakhir ia merasa seperti adalah saat Jeongguk memutuskan untuk berbicara dengan Mamanya mengenai perasaannya pada Taehyung.
Taehyung adalah individu yang sangat Jeongguk sayangi beberapa tahun ini, setelah Mamanya.
Ia melamun sambil membayangkan beberapa skenario yang mungkin saja bisa terjadi dari detik ini hingga esok hari. Namun entah mengapa, Jeongguk bersyukur karena Taehyung tidak menyadari tingkahnya yang cukup aneh beberapa hari ini.
Oh God, things I do for him, batin Jeongguk.
Namun Jeongguk tahu, it's going to be worth it.
Because it's Taehyung, after all.
—
Acara hari ini hanya diisi dengan beberapa kegiatan olahraga yang diikuti oleh siswa kelas X dan XI. Siswa kelas XII—Jeongguk dan teman-temannya—hanya menyaksikan serunya kegiatan hari ini dari selasar lantai satu. Olahraga Voli dan Panahan hari ini dilakukan di stadion sekolah, karena lapangan upacara yang terletak di depan selasar kelas Jeongguk sudah dipenuhi dengan beberapa kru konser.
Jimin sebagai ketua panitia dari acara ini beberapa kali terlihat mondar-mandir dengan handy-talky di tangan kanannya dan botol air mineral di tangan kirinya. Sedang Taehyung terlihat mengobrol dengan salah satu kru untuk mengatur posisi alat musik pada panggung untuk penghujung acara esok hari.
Sekolah mereka termasuk beruntung; dapat mengundang grup band yang sedang naik daun saat ini, yaitu TXT. Para anggota band yang masih berumur 17 hingga 18 tahun ini sudah memiliki jam terbang yang tinggi. Mereka tergolong masih sangat muda tapi sudah memperoleh beberapa penghargaan di tingkat internasional.
Hoseok adalah salah satu panitia yang cukup 'berjasa' dalam lobi-melobi grup band TXT untuk tampil di acara sekolahnya; pasalnya salah satu anggota grup band tersebut adalah adik kandung dari Hoseok.
Kata sang adik beberapa minggu lalu saat Hoseok memberikan proposal acara sekolahnya kepadanya. “Buat lo apa sih Kak, yang nggak. Asal lo kenalin sama temen-temen lo yang asik itu, ya. Anggota Anak Ayam itu, loh.”
Yang dijawab dengan Hoseok dengan 'oke, tenang aja. Mereka pasti lebih heboh dan teriak-teriak kayak anak ayam beneran kalo bisa kenal sama lo semua'.
—
Waktu menunjukkan pukul dua siang tepat saat Taehyung pamit pada Jimin untuk pulang terlebih dahulu. Bagian tanggung jawab Taehyung untuk persiapan besok sudah rampung siang ini; untuk pengecekan terakhir akan dilakukan oleh anggota acara—yang dikontrol oleh Hoseok.
Berbekal izin dari Jimin, akhirnya Taehyung mengambil tasnya yang ia titipkan pada Jeongguk sejak pagi tadi untuk mengganti bajunya. Hari ini Taehyung membawa beberapa potong pakaian ganti. Supaya bisa gonta-ganti, Ggukie—katanya tadi pagi. Jeongguk yang mendengarnya hanya bisa tersenyum lebar.
Setelah perjalanan mereka yang memakan waktu sekitar satu setengah jam, akhirnya Jeongguk menghentikan mobilnya di pinggir pantai. Terbentang lautan luas yang berwarna biru jernih yang menyambut sepasang mata Jeongguk. Sudah lama ia dan Taehyung tidak ke sini. Ini adalah tempat favorit mereka berdua jika ingin hunting foto.
Hari ini suasana pantai tergolong sepi. Hanya ada beberapa mobil yang jarak parkirnya berjauhan dengan masing-masing kendaraan. Jeongguk memang memilih waktu di awal weekend agar bisa menikmati pantai dengan leluasa.
Beberapa kali mereka berdua ke sini hanya berakhir dengan keluhan Taehyung—karena ia tidak bisa hunting foto seperti biasanya.
Jeongguk membuka kaca mobil di sisi penumpang; membiarkan angin sepoi-sepoi menyapu pelan wajah Taehyung. Sahabatnya sejak tadi mereka bertolak dari halaman sekolah, sudah tertidur; ia terlihat kelelahan, dan Jeongguk membiarkan Taehyung memegang tangan kirinya selama perjalanan.
Sambil tangannya mengelus punggung tangan Taehyung, Jeongguk menyisir surai sahabatnya dan berbisik pelan.
“Sayang, hei, ayo bangun. Kita udah sampai.”
Taehyung yang merasa geli di pipi dan punggung tangannya perlahan membuka kedua matanya sambil mengerjap dan menguap. “Hmm, k-kita ada di mana, Ggukie?”
Jeongguk hanya tersenyum mendengar suara bantal Taehyung; suara khas sahabatnya saat bangun tidur. “Bangun dulu yang bener kamunya, biar keliatan kita ada di mana.”
Ngantuk banget gue hari ini kenapa ya, batin Taehyung, sambil mencoba membuka kedua matanya.
Namun, indra penciumannya terlebih dahulu bekerja. Taehyung yang sedang berbaring 135 derajat di kursi penumpang, refleks membelalakkan matanya dan terduduk.
“Ggukie?! Kok kita ada di pantai? Ggukie...” Taehyung menyunggingkan senyum kotaknya terlalu lebar. Ia terlalu senang dengan rencana spontan Jeongguk yang membawanya ke pantai.
Taehyung tidak tahu, sahabatnya sudah merencanakannya matang-matang. Sangking matangnya, ia takut rencananya akan berjalan tidak sesuai dengan yang ia inginkan.
Jeongguk yang mendengar antusiasme Taehyung dari nada bicaranya, akhirnya bisa bernapas lega. Satu rencana sudah berjalan sempurna, batin Jeongguk sambil memberi tanda ceklis pada to-do-list yang sudah ia hafal betul di otaknya.
“Hehe, aku udah pengen ngajak kamu ke sini dari lama. Kita baru sempat. Pakaian kamu ada yang cocok buat kita ke pantai, 'kan? Maaf ya, sayang, aku ngga bilang-bilang. Niatnya mau surprise kamu,” balas Jeongguk sambil menatap kedua mata Taehyung teduh.
What did I do to deserve someone like, him, God? tanya Jeongguk dalam hati.
Sahabatnya itu merespon dengan anggukan mantap sambil menyambar tas jinjingnya yang duduk manis di jok belakang mobil.
“Siap, dong. Aku dari kemaren udah nyiapin baju yang cocok untuk segala occasion. Sampe Bunda bilang, aku kok kayak mau photoshoot...” kata-kata Taehyung menggantung di udara saat melihat Jeongguk tertawa pelan sambil menggaruk lehernya.
Taehyung tahu pasti itu tidak gatal sama sekali.
“Kita beneran mau photoshoot, Ggukie?!”
—
Jeongguk meminta Taehyung untuk melepas alas kakinya saat berjalan di pesisir pantai. Supaya lebih terasa pasirnya, kata Jeongguk tadi. Taehyung mengangguk, lalu menjinjingnya di tangan kanannya. Sedang tangan kirinya berkaitan erat dengan jemari Jeongguk yang pas dengan jemarinya.
Beberapa kali mereka berdua berhenti di tengah-tengah pesisir pantai, sambil mengarahkan kameranya sana sini untuk mengambil beberapa foto. Langit hari ini cukup cerah dengan pencahayaan yang tidak begitu terik.
Taehyung lebih suka jika warna dari foto yang diambilnya cenderung hangat; tidak terang dan tidak juga sendu.
Sedangkan Jeongguk, beberapa kali memisahkan diri dari Taehyung untuk memotret sahabatnya dari jauh. Dengan kemahirannya mengambil foto dengan cepat, Jeongguk mengarahkan kameranya ke arah Taehyung.
Indah, begitu respon Jeongguk setiap kali membidik sahabatnya dari balik lensanya.
Taehyung yang terlalu asyik dengan dunianya tidak menyadari bahwa sedari tadi, Jeongguk hanya sibuk mengambil gambar dirinya.
Kebiasaan Taehyung dan Jeongguk saat meluangkan waktu berdua untuk hunting foto adalah tidak boleh melihat isi folder kamera satu sama lain. Entah, itu sudah menjadi janji mereka sejak dulu berbagi hobi dan kegiatan bersama.
Yang justru menjadi nilai plus dan suatu keberuntungan untuk Jeongguk hari ini.
—
Setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk menyalurkan hobi mereka, akhirnya Taehyung dan Jeongguk berjalan sedikit ke arah batu karang yang terletak di mulut pantai. Taehyung ingat, ia pernah menandai batu tersebut dengan inisial mereka berdua. Ia tidak pernah memberitahu Jeongguk.
Menemukan posisi duduk di sisi yang agak landai agar bisa duduk dengan nyaman, Taehyung dan Jeongguk menggunakan sandal untuk menjadi alas duduk.
Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore saat mereka berdua akhirnya duduk dengan tenang; Taehyung yang menyandarkan punggungnya pada dada Jeongguk dan Jeongguk memposisikan dagunya pada puncak kepala Taehyung.
“Ggukie, aku kalau ke sini jadi inget waktu Bunda sama Papa memutuskan untuk divorce, deh.” Taehyung dengan menggumam, memulai pembicaraan dengan Jeongguk.
“Hmm, kenapa, sayang? Mind to share? Maaf kalau aku ngajak kamu ke sini, jadi bawa-bawa memori kamu.” Jeongguk mengelus pelan lengan Taehyung sambil sesekali membentuk circle oleh ibu jarinya.
Jeongguk jadi tidak enak hati. Betul kan firasatnya tadi, rencananya sepertinya akan berjalan tidak sesuai dengan keinginannya.
Taehyung menghela napas pelan sambil memegang jemari Jeongguk dan menautkan dengan jemarinya.
“No, Ggukie. Instead, I am grateful. Sepertinya, aku butuh closure. Aku akhir-akhir ini lagi kepikiran aja. Entah, jadi ingat beberapa tahun lalu waktu Papa mutusin untuk pindah ke Jepang tanpa aku dan Bunda.
“Waktu itu, alasan aku terlalu cetek. Aku tahu. Hanya untuk mementingkan ego aku sendiri. Tanpa aku tahu, sebetulnya saat itu seperti the tip of an iceberg.
“Kamu tahu, Bunda beberapa bulan lalu sempet nangis tiba-tiba. Aku waktu itu baru selesai mandi. Dengar Bunda nangis di kamarnya. Aku ngintip, Ggukie. Ternyata, Bunda lagi buka album foto kami sekeluarga dulu.
“Bunda bilang, beliau kangen sama Kak Yoona. Mau gimana pun, Kak Yoona itu masih putri dari Mama. Tapi, sejak memutuskan untuk pindah ke Jepang dengan Papa, hubungan kami semua jadi merenggang. Aku dan Bunda dengan Papa dan Kakak. Bunda yang terlalu sibuk dengan usahanya, aku terlalu sibuk dengan cinta monyet sialanku.”
Taehyung terdiam beberapa saat untuk mengatur napasnya. Ia tahu sebentar lagi ia akan menangis.
“Sebenarnya, aku dan Kak Yoona masih sering kontak waktu itu. Kak Yoona masih menyempatkan untuk ngehubungin aku sama Bunda. Tapi ngga dengan Papa. Entah, mungkin karena pekerjaan yang membuat Papa seperti itu? Dan ngga adanya support Bunda di samping Papa secara langsung, itu yang mungkin jadi pemicu.
“Sampai tiba-tiba Papa bertengkar hebat dengan Bunda, entah karena apa. Mungkin karena Bunda pun sibuk dan stres dengan kerjaan—yang saat itu lagi hectic, dan Papa yang butuh support Bunda. Kak Yoona udah ada pasangan. Aku yang lagi kacau dengan Bogum. Entah, semuanya melebur jadi satu.
“Aku... rasanya bodoh, Ggukie. Apa ya... aku merasa seperti penyebab dari semua ini? Keputusan aku untuk ngikutin ego aku dengan stay hanya untuk menuruti keegoisan aku—hanya karena cinta monyet sialan, yang sebetulnya pun hanya isinya kebohongan semua.
“Coba kalau aku ikut kata Papa; putusin Bogum saat itu juga. Aku sekarang ada di Jepang dengan Bunda, Papa, dan Kakak. Keluarga kita masih utuh juga sekarang. Ya, 'kan, Ggukie?”
Jeongguk berusaha memproses semua kata-kata sahabatnya itu. Ia hanya bisa membalas dengan menggumam pelan di telinga Taehyung.
Namun ia tahu, jawaban semu Jeongguk bukanlah tanggapan setuju.
“Tapi aku bingung, Ggukie. Ngga tau, ya, mungkin aku yang masih belum paham? Ada apa dengan Bunda dan Kakak, sampai setiap kali Bunda ditanya oleh kolega barunya di kantor, beliau selalu bilang, aku itu anak semata wayang Bunda. Aku... nggak paham? Bukannya Kak Yoona juga masih anaknya? Memangnya, Kakak dicoret dari kartu keluarga?
“Itu yang aku ngga tahu, Ggukie. Aku nggak mau Bunda hanya nganggap aku anaknya. Kakak itu masih darah daging Bunda; aku masih darah daging Papa. Tapi, aku mau protes rasanya ngga etis. Dan aku mau tanya pun sepertinya belum bisa. Bunda belum terbuka soal hal itu sama aku.”
Jeongguk merasakan punggung tangannya ditetesi butir air. Taehyung sudah menangis dalam diam. Tidak ada senggukan, tidak ada histeria seperti biasa saat Taehyung menangis.
“Sampai akhirnya, kemarin, Bunda ngajak ngomong aku. Bunda bahas Bogum, bahas Papa, bahas Kakak, dan bahas kamu. Aku masih memproses sampe tadi siang, jadi waktu kemarin kamu nanya aku, aku belum mau jawab.”
Taehyung menoleh sedikit ke arah Jeongguk; sahabatnya itu menatapnya dengan sorot teduh dari kedua matanya. Ia mengangguk dan mengecup pelan pelipis Taehyung—mempersilahkan sahabatnya untuk melanjutkan ceritanya.
“Bunda bilang, sebetulnya masalah Papa dengan Bunda sudah lama ada. Aku ngga pernah cerita ke kamu, karena aku pengen lupain semuanya. Dan itu terjadi saat aku belum kenal kamu. Semuanya terjadi begitu cepat, Ggukie.
“Bunda bilang, karena aku masih kecil, Bunda ngga mau cerita sama aku. Takut aku mengambil keputusan bodoh dan ceroboh. Waktu Bunda tahu aku ngga mau ikut Papa pindah ke Jepang, Bunda sebetulnya lega. Bunda bilang, beliau waktu itu butuh waktu sendiri untuk berpikir dan merefleksikan semuanya. Beliau bilang, mereka berdua butuh waktu. Tapi kebetulan, saat kakak diajak, kakak mau ikut.
“Dengan adanya 'pisah sementara' seperti itu, Bunda yang tadinya keliatan lesu dan stres, jadi keliatan lebih ceria, Ggukie. Dan aku kayak baru dikasih satu keping puzzle untuk jadi pelengkap dari semua teka-teki.
Gila ya, after all these years... akhirnya Bunda cerita soal the missing pieces tadi malem.”
Taehyung merasakan pelukan Jeongguk semakin erat. Seperti gestur menenangkan—kebiasaan Jeongguk saat ia ingin memastikan pada Taehyung bahwa semuanya akan baik-baik saja. Jeongguk tidak menanggapi sama sekali, namun Taehyung senang akan hal itu. Orang yang disayanginya ini selalu tahu bagaimana cara membuat Taehyung mengeluarkan semuanya.
“Tapi, Ggukie... kamu tahu? Aku tadi malem rasanya campur aduk. Di satu sisi, aku seperti nyalahin diri aku sendiri lagi karena kandasnya Papa sama Bunda. Aku kayak salah satu alasan kenapa kita semua sekarang mencar kayak gini. Itulah kenapa rasa trauma aku terlalu kompleks untuk aku share. Karena, that's my own shit.
“Kayak... apa ya Ggukie? Aku ngga bisa share apa yang ada di kepala aku. Padahal, rasanya udah penuh banget. Aku sampai ngga tau sebenernya yang aku pikirin sekarang itu apa. Karena kepalaku terlalu penuh. Does it make any sense?
“Aku rasanya butuh banget bantuan untuk mengurai benang kusut di kepala aku, dan juga hidup aku. Tapi aku tau, gimana pun juga, itu cuman aku yang bisa selesaiin.
“And I have been trying, selama ini. Jujur, baru kali ini aku mau cerita soal benang kusut ini sama orang lain. Semua keluh kesah aku, aku simpan sendiri. Aku ngga mau membebani Bunda, Jimin—apalagi kamu.
“Tapi Ggukie, kamu tahu? Dengan keputusan yang dulu aku ambil, aku jadi bisa ketemu kamu. Waktu kita ketemu di mobil antar jemput itu, aku kayak bisa bernapas lagi. Entah, aku punya firasat bahwa kamu akan jadi seseorang yang penting dalam hidup aku.
“Dan apa yang aku pikirin, itu bener. Aku sangat bersyukur. Mungkin terdengar aneh dan kontradiktif karena aku malah bersyukur—di saat yang sama, aku juga menyesali pisahnya Papa sama Bunda.
“Tapi setelah sekian lama, aku jadi bisa menepikan pikiran aku itu. Karena aku sadar, masalah Bunda dan Papa, itu bukan karena aku sama sekali.
“Sebuah hubungan itu, kalau dipaksakan, ibarat kamu berjalan diatas kerikil dengan nyala api. Kamu tahu kamu akan terbakar, kamu akan sakit, kamu akan luka; tapi tetap kamu lanjutkan. Mungkin itu lah jalan dari Tuhan; Bunda sama Papa pisah, supaya kita berempat baik-baik aja sampai sekarang.
“Aku ngga tau gimana jadinya kalau kita semua masih sama-sama. Mungkin akan lebih parah, mungkin akan lebih baik. Kita ngga ada yang tahu. Aku memilih jalan ini dengan terburu-buru, tapi aku akhirnya sadar kalau Tuhan pasti punya maksud di balik itu semua.
“Pada akhirnya yang aku bisa lakukan adalah letting go. Menyerahkan semuanya sama Tuhan untuk mengurai benang kusutku. Selama ini aku nyalahin diri aku terus. Aku capek sebenernya, tapi ya itu tadi, aku merasa bertanggung jawab sama semua 'sampah' ku, jadi ya... aku telen aja semuanya.
“Aku bersyukur punya kamu, Ggukie. Aku rasanya udah bisa pelan-pelan letting go. There's always be a rainbow after every storm. And you're my rainbow. After Bunda and Jimin.
“I am so grateful for you, Ggukie. Terima kasih masih mau bertahan dan menunggu aku selama ini.”
Taehyung tahu, ini lah saatnya untuk benar-benar meyakinkan Jeongguk. Tidak ada lagi ragu di dalam hatinya. Taehyung sudah mantap. Taehyung sudah punya jawabannya.
“I love you so much, Ggukie.”
Taehyung akhirnya menghela napas lega. Beban yang ada di hatinya dan pundaknya selama enam tahun ini akhirnya seperti terangkat. Air mata Taehyung pecah, bersama dengan ombak yang menabrak batu karang di mana mereka berdua duduk.
Ia bersyukur, akhirnya ia bisa rela membagikan isi hati dan otaknya untuk diketahui orang lain. Dan ia bersyukur pada Tuhan, karena Ia seperti menunjukkan, bahwa Jeongguk adalah yang selama ini ia butuhkan.
Suara tangis Taehyung seperti tidak terdengar, kala ia sebaliknya mendengar Jeongguk sudah menangis hebat sambil memeluk Taehyung erat. Pundak Taehyung sudah basah dengan bendungan air mata Jeongguk yang jebol bersamaan dengan pengakuan Taehyung tadi.
Taehyung dengan sigap membalikkan tubuhnya dan memeluk Jeongguk—menariknya dalam pelukan. Membisikkan kata-kata di telinga sahabatnya untuk menenangkan Jeongguk.
Jeongguk seperti dihajar oleh kenyataan yang bertubi-tubi bahwa selama ini, dibalik senyuman Taehyung, tersimpan banyak rahasia yang ia tutup rapat. Semua dikurung olehnya di dalam kotak dan dikuncinya rapat—tidak mau orang lain menemukannya, karena ia takut 'sampah' itu akan meracuni orang lain selain dirinya.
Berulang kali mengucapkan kata maaf pada Taehyung, yang hanya dibalas Taehyung dengan keheningan dalam pelukannya.
Namun Jeongguk tahu, ada ketulusan dibalik itu. Dan ada cinta.
Jeongguk butuh bernapas. Jeongguk merasa tenang didalam keheningan itu.
Dan Jeongguk akan berusaha sepenuhnya untuk bisa terus bernapas dengan Taehyung di hidupnya.
—