May 27 — New Things.
Kehidupan Taehyung sebelum mengenal lebih banyak orang memang membuat dirinya selalu membatasi diri antara 'kenal' dan 'teman'.
Ya, seperti yang Jimin selalu tahu.
Entah, batasan yang dimiliki Taehyung tidak jarang membuat dirinya lebih beruntung.
Hm, coret. Bukan beruntung; namun positif. Seperti ada nilai plus yang ia dapatkan setiap kali ia menegaskan perbedaan antara keduanya.
Taehyung melihat Seojoon seperti seseorang yang ia hanya kenal, beberapa hari lalu.
Sebelum pada akhirnya, sang kapten futsal seperti memberikan sedikit 'pencerahan' pada ide cemerlang Taehyung yang terlalu kompleks untuk dikemas menjadi satu hal yang sederhana.
Hal yang membuat Taehyung pada akhirnya mengajak Seojoon dan teman-temannya untuk makan siang bersama.
Spontanitas Taehyung dalam melakukan dan memutuskan suatu hal pun menjadi salah satu concern Jimin selama ini. Sahabatnya itu termasuk salah satu orang yang akan gerak cepat, namun akan ada perasaan menyesal pada akhirnya.
Tapi tidak hari ini. Taehyung merasa, ide ini adalah keputusan yang tepat. Menurut dirinya, salah satu langkah awal untuk melihat; apakah ia siap berteman dengan Seojoon, adalah dengan mengundangnya makan siang.
Ya, sekaligus terselip rasa terima kasih karena sudah membantu Taehyung mengurai benang kusut di dalam otaknya.
Tidak ada salahnya, 'kan, mencoba peruntungan dengan seperti ini?
Sejujurnya, Taehyung merasa 'keberadaan' Seojoon sehari-hari seperti reminder yang berbunyi terus-menerus dari dalam buku diary-nya.
Seperti memanggil Taehyung untuk terus menoleh ke belakang.
Pada Bogum—yang sebenarnya jika Taehyung cepat menyadari, dua individu ini memiliki kesamaan yang cukup banyak.
Apa... itu sebabnya Taehyung sempat hampir menaruh hati pada kapten futsal itu?
Ia tinggi, sama seperti Bogum. Ia baik, sama seperti Bogum. Ia bertalenta, sama seperti Bogum. Ia adalah kapten suatu klub di usia yang cukup muda, sama seperti Bogum.
Kesamaan yang menurut Taehyung sudah lebih dari cukup dan hampir membuatnya mual.
Sampai kapan ia harus memikirkan Bogum pada setiap perasaan yang akan tumbuh dalam hatinya?
Walaupun rasa itu hanya secercah; namun itu adalah suatu permulaan, bukan?
Tak kenal maka tak sayang, kata orang. Well, bukan 'sayang' secara literal yang Taehyung ingin rasakan pada Seojoon. Ia hanya ingin tahu, apakah perasaannya beberapa waktu lalu adalah hanya kagum semata.
Atau memang, perasaan itu memang ada?
Entahlah. Taehyung merasa, hari ini adalah waktu yang tepat untuk menemukan jawabannya.
—
Taehyung akhirnya sendirian dengan Seojoon dan ketiga temannya yang ikut hadir. Jimin dan Hoseok mengabari kalau mereka tidak bisa menemani; pun juga Jeongguk yang terlihat sibuk dan memutuskan akan menjemputnya seusai makan siang.
Ia berharap semoga dirinya tidak akan merasa canggung.
Taehyung sudah terlebih dahulu menelepon restoran beberapa jam lalu untuk reservasi tempat. Hari ini restoran cukup ramai; maklum, restoran ini adalah salah satu pilihan baru untuk para siswa di sekitar lokasi yang rela spending untuk makanan yang enak.
Bagaimana Taehyung bisa tahu? Well, hanya bermodal sosial media dan papan mading di sekolah yang tertempel pamflet mengenai restoran korea baru yang menawarkan diskon gila-gilaan.
Walaupun sudah habis masa diskon itu, tapi Taehyung dihantui rasa penasaran.
Bagi Taehyung, di dunia ini hanya ada makanan yang 'enak' dan 'enak sekali'.
Dan ia akan membuktikannya sebentar lagi.
—
Seojoon datang bersama Wooshik dan Hyungsik; Taehyung mengenal keduanya. Mereka bertiga bersahabat dengan Minho—yang tidak bisa ikut. Saat Seojoon menjelaskan, Taehyung hanya mengangguk sambil ikut memilih makanan.
Taehyung melihat empat sekawan itu dan seketika teringat akan Jeongguk dan para sahabatnya.
Mereka semua terlihat sama, batin Taehyung sambil terkekeh.
Sesudah memesan, Taehyung akhirnya membuka pembicaraan. Ia tidak lupa terlebih dahulu mengucapkan terima kasih pada Seojoon karena telah membantunya.
Seojoon dengan sigap menjawab sambil tertawa; berkata bahwa Taehyung tidak perlu berterima kasih. Menurutnya, ide yang ia berikan semalam tidak begitu signifikan dalam keputusan Taehyung.
Menurut Seojoon, Taehyung pasti akan secara tiba-tiba menyadari akan hal itu tanpa bantuan Seojoon. Yang selanjutnya membuat Taehyung sempat mendengus, karena ia merasa Seojoon sangat menolongnya dengan 'memancing'nya.
Pada akhirnya, Seojoon mengalah dan menerima ucapan terima kasih Taehyung.
Selang beberapa menit setelah mereka memesan, Seojoon terdengar memanggil seseorang bernama... entah, Peakboy?
Laki-laki itu mengenalkan diri pada Taehyung dengan nama itu; yang menurut Taehyung terdengar keren sambil mengangguk paham. Mungkin laki-laki itu tidak mau memberitahu namanya?
—
Topik yang mereka bicarakan tidak ada habisnya. Taehyung seperti menemukan bubble baru di luar bubble yang ia miliki.
Taehyung merasa senang—ia merasa diperkenalkan pada dunia baru?
Karena sejujurnya, pembicaraan yang mereka miliki saat ini sangat berbeda dengan yang ia miliki dengan Jimin, Hoseok, maupun Jeongguk.
Dirinya dan teman-teman Seojoon membicarakan genre musik favorit masing-masing; film dan series baru di Netflix yang belum ditonton oleh satu sama lain; tempat favorit Seojoon dan para sahabatnya yang selalu dikunjungi saat liburan; cita-cita mereka kedepan; dan masih banyak lagi.
Taehyung merasa nyaman berada di tengah-tengah mereka. Ia pun merasa seperti mengetahui hal-hal baru dari mereka.
Is it a sign for Taehyung to consider them as 'friends' already?
Tak terasa sudah berapa menit melamun, Taehyung merasakan seseorang memegang pundaknya pelan sambil mengagetkannya.
“Hoi, Taehyung. Lo ngapain ngelamun, deh? Pembicaraan kita ngebosenin ya?” Seojoon bertanya dengan nada bercanda sambil menuangkan ocha dingin ke gelas miliknya dan meminumnya dengan sekali tegak.
Taehyung melihat teman-teman Seojoon seketika menoleh serempak. Ia jadi tidak enak hati. Tidak ada sedikit pun rasa bosan; ia hanya sedang memikirkan beberapa hal.
“Eh, ngga kok ngga. Sori, sori. Gue keasikan mikir sesuatu aja. Tapi gue denger kok daritadi. Instead, gue seneng banget sama pembicaraan kalian.” jelas Taehyung sambil menyunggingkan senyum kotaknya dan menyumpit kimchi yang ada di depannya.
Seojoon mengangguk sambil mengunyah daging bakar yang tadi ia jepit dengan sejumput nasi dan sambal oleh sumpitnya—terlihat seperti percaya dengan alasan Taehyung. Ia lalu melanjutkan obrolannya dengan teman-temannya.
Sementara Taehyung sesekali ikut tertawa dan turut berceloteh dalam obrolan teman-teman barunya ini.
Yes, Taehyung considered them as friends already.
—
Setelah membayar bill makan siang hari ini—yang masih affordable untuk Taehyung—dan ia tidak menyesalinya sama sekali, akhirnya mereka berempat keluar dari restoran itu dengan hati senang dan perut kenyang.
Taehyung pun merasa lega—dengan ide awal mengajak Seojoon dan teman-temannya sebagai tanda terima kasih; berakhir dengan mendapatkan teman baru untuk dirinya.
Bersyukur. Satu hal yang selalu Taehyung ingat.
Seusai mengabadikan momen makan siang mereka dengan berfoto di depan restoran, akhirnya teman-teman Seojoon mengucapkan terima kasih pada Taehyung sekali lagi; lalu akhirnya terlebih dahulu pamit pulang.
Taehyung mengiyakan; pun Seojoon. Ia sempat menginformasikan pada kapten futsal itu bahwa Jeongguk akan menjemputnya sebentar lagi.
Mendapat respon anggukan dari Seojoon dan jawabannya setelahnya bahwa ia akan menunggu Taehyung sampai bertemu dengan Jeongguk, Taehyung hanya mengangguk pelan dan mengucapkan terima kasih.
Matahari siang ini tidak terlalu terik, pun tidak mendung. Jalanan di depan restoran itu tidak seramai biasanya; hanya ada beberapa kendaraan yang terlihat berlalu-lalang. Mereka berdua duduk di kursi kayu yang terletak di teras restoran sambil menunggu Jeongguk.
Taehyung merasa ini waktu yang tepat untuk memulai pembicaraan dengan Seojoon.
“Hmm, Seo, thanks ya by the way, udah mau terima ajakan gue untuk makan-makan sederhana siang ini.” Taehyung memulai pembicaraan sambil merasakan kedua telapak tangannya basah.
Taehyung merasa gugup. Hell, mengapa ia gugup?
Seojoon yang berada di sampingnya seketika menoleh kearahnya dan memberikan tatapan teduh.
“Hei, stop saying that. I already accepted your 'thank you's, Taehyung, it's not a big deal.” jelas Seojoon setelahnya.
Mendengarnya, Taehyung hanya mengangguk dan mengalihkan pandangannya ke arah jalanan. Belum sempat ia membalas Seojoon, individu di sampingnya menimpali lagi.
“You know, Taehyung, I thought you were only inviting me, without my friends. Tapi... gue terlalu berharap, ya?” Pertanyaan itu terdengar retoris—namun tulus—keluar dari mulut Seojoon. Taehyung tidak menemukan nada mengejek sama sekali di sana.
Ia merasa sekujur tubuhnya kaku. Taehyung tidak menyangka Seojoon akan secara terang-terangan dan tanpa tedeng aling-aling membicarakan hal ini.
Ia menoleh, mengernyitkan dahinya, dan membalas, “Huh, maksudnya, Seo?” Taehyung berharap, nada pertanyaannya tidak akan membuatnya seperti seorang yang bodoh. Karena ia tahu persis apa yang dimaksud oleh Seojoon.
Seojoon hanya terkekeh dan menggesekkan kedua telapak tangannya di pahanya; ia terlihat seperti gugup dan takut akan salah bicara?
“Nggak, gue kira... lo bener-bener akan ngajak gue aja, karena... entah? Back then, I thought our feelings were mutual? Sebelum akhirnya gue ngeliat betapa lo memancarkan rasa 'sayang' lo yang begitu kuat ke Bang Jeongguk hanya lewat mata, Taehyung.”
Taehyung terkejut bukan main. Jadi selama ini... Seojoon menyimpan rasa padanya juga?
Melihat Taehyung menatapnya horor, Seojoon buru-buru mengibaskan kedua tangannya di depan muka Taehyung sambil terlihat sedang menyusun kata-kata.
“Eh, jangan salah paham dulu ya, Taehyung. Let me explain,” katanya sambil menghela napas, sebelum melanjutkan kata-kata yang akan keluar dari mulut Seojoon—sesuatu yang Taehyung belum tahu akan siap mendengarnya atau tidak.
“Waktu itu, Taehyung, awal-awal sekolah, gue liat lo, kayak... wow, he really outshined everything else. Lo kayak..., stand out diantara temen-temen kita yang lain? Dan lo bersinar, and yes you still are.
“Pertama kali gue liat lo tuh waktu lo lagi duduk di pojok lapangan karena lo keliatan kecapekan. Lo lesu. Ngga bersinar kayak pagi gue liat lo. Gue mau nyamper—well, padahal gue belum kenal lo, tapi kayak gue pengen bantuin?
“But then, someone came, and that smile—those eyes of yours, told me that he must be someone special. Ngga tau, apakah gue sotoy? Saat itu, gue ngga ngerti. Jadi gue kayak... wow, okay. Gue bakal merhatiin lo dari jauh aja, entah sampai kapan. Gue merasa pengen kenal lebih deket aja sama lo.”
Seojoon berhenti sebentar sambil mengedarkan pandangannya ke semua sudut, kecuali sepasang mata Taehyung. Ia tidak ingin terdengar menyedihkan.
Sedangkan Taehyung? Kerutan di keningnya cukup menjelaskan bahwa ia saat ini /sangat/ bingung. Apakah Seojoon benar-benar akan menjelaskan semuanya?
“Terus gue mulai cari-cari info tentang lo, tentang Jimin—sahabat lo, dan tentang Bang Jeongguk. Tadinya gue udah nyusun strategi macem-macem buat deketin lo. Walaupun ya... ngga oke sama sekali.
“Lo inget kejadian di kantin, Taehyung?” tanya Seojoon sambil menoleh ke arah Taehyung lagi.
Mata mereka akhirnya bertemu. Taehyung hanya bisa mengangguk.
“Well, Taehyung, I might be an outsider, but God, I myself could see how much you guys love each other, you know? Dan saat itu gue sama sekali belum memulai. Gue pikir, dengan gue nyusun rencana lebih matang, gue bisa akhirnya deketin lo.
“Yang, pada akhirnya, ya... gagal aja semuanya. Dan semakin kesini, gue sadar bahwa perasaan gue bukan suka ke arah romantically, ngerti, 'kan? Gue suka aja semangat lo, sifat lo—yang bisa buat orang banyak seneng dan bahagia. Hanya dengan adanya lo aja, lo udah bisa membuat orang begitu, Taehyung. Gue... kagum. But that's it, ngga lebih.”
Taehyung entah harus membalas apa. Ia bingung—bingung karena, ternyata selama ini Seojoon menyimpan rasa padanya dan ia tidak sadar?
Seojoon menyambung lagi dengan nada bercanda, yang untungnya membuat Taehyung tertawa setelahnya.
“Taehyung, dari gelagat lo, kayaknya lo bingung ya kenapa lo bisa ngga sadar sama perasaan gue?”
Ia hanya tertawa pelan dan mengangguk. Duh, kenapa daritadi gue hanya bisa ngangguk dan ketawa aja, umpat Taehyung dalam hati.
“Wajar, Taehyung. Karena, seseorang udah ada di hati lo dari entah kapan. Punya lahan sendiri di hati lo—yang lo sendiri ngga tau seberapa banyak orang itu lo sediakan tempat. Lo hanya belum sadar saat itu.
“Atau bahkan lo sebenernya udah sadar, tapi lo denial aja. Gue ngga mau sotoy, asli. Karena ini pertama kalinya kita ngobrol. Gue ngga mau crossing the line, it'll be so rude. Tapi gue hanya pengen ngasih insight buat lo aja, dari seorang outsider kayak gue.
“Jangan takut, Taehyung, dan jangan ragu, karena gue bisa liat gimana Bang Jeongguk juga sayang banget sama lo. Hell, I can even smell it. Wait, ew... kok jadi kedengeran aneh ya. Hahaha, tapi itu deh maksud gue.”
Seojoon tertawa, dan seketika Taehyung pun ikut tertawa. Individu di samping Taehyung ini seperti tahu bagaimana caranya mencairkan suasana.
Entah mengapa, Seojoon merasa lega; akhirnya memiliki keberanian untuk menumpahkan seluruh perasaan dan pikirannya pada Taehyung.
Taehyung pun sudah tidak lagi merasa perlu menjelaskan sisinya. Ia sudah tahu, Seojoon pasti mengerti.
Bersyukur, Taehyung tidak lupa akan hal itu.
Pembicaraan hari ini dengan Seojoon entah mengapa membuat Taehyung nyaman dan yakin akan perasaannya dengan Jeongguk.
Ia bersyukur hari ini seperti jackpot untuk dirinya; teman baru, ide baru, pengalaman baru, dan insight baru. Dan semuanya ada didalam seseorang bernama Park Seojoon—yang Taehyung ingin tambahkan sebagai salah seorang teman di hidupnya.
Tak lama kemudian, Taehyung mendengar deru mobil Jeongguk membuyarkan gelak tawa Seojoon dan dirinya.
Seojoon akhirnya berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangannya kearah Taehyung.
“So, friends?” tanya Seojoon menunggu Taehyung menjabat tangannya.
“Yes, of course. We are friends.” Taehyung menjabat tangan Seojoon erat dan tersenyum.
—