the last baton | 379
cw // insecure thoughts, financial problem tw // neglected children, hatred towards parents
“Bonsoir, à l’hôtel Pullman, s’il vous plaît,” sapa Gregory ramah pada pengemudi taksi daring yang sudah dipesannya sambil melangkah masuk ke dalam mobil. Ia meletakkan tas jinjing yang berisi pakaian dan peralatan mandi miliknya di sampingnya. Ia menyapa pria yang duduk di depannya itu dan mengatakan bahwa ia minta diantar ke Pullman Hotel, sesuai dengan titik tujuan yang dipilihnya via aplikasi.
Malam ini ia akan menginap dengan Thomas, sahabatnya yang baru saja tiba dari Indonesia siang tadi. Gregory menyunggingkan senyum diwajahnya, benar-benar tidak sabar untuk segera bertemu dengan pria yang sebaya dengannya itu.
Delapan tahun berlalu sejak dirinya menginjakkan kaki di Paris. Jujur, ia tidak pernah memiliki keinginan untuk kembali ke Indonesia. Menurutnya, adalah hal yang tidak penting dan hanya menghabiskan uang saja jika ia kembali ke tanah kelahirannya itu. Lagipula, keluarganya tidak pernah mencari atau bahkan menanyakan kabarnya selama ini.
Jadi, untuk apa ia menghabiskan waktunya untuk memikirkan kemungkinan itu? Tidak ada gunanya sama sekali.
Selama itu pula, ia dan Thomas tidak pernah bertemu muka, hanya bertukar kabar secara rutin via telepon, panggilan video dan pesan. Sahabatnya itu adalah satu-satunya orang yang masih berhubungan dengannya dari Indonesia. Bahkan, kedua orang tua pria itu benar-benar sudah menganggapnya sebagai bagian dari anggota keluarga mereka.
Pikiran Gregory melalang buana ke sana kemari, membuatnya lantas menarik napas panjang, seketika merasakan aroma kopi sebagai pengharum ruangan kendaraan itu menyapa indera penciumannya.
Ia merasa bulu kuduknya meremang, dadanya berdegup lebih kencang dari biasanya. Gregory merasa sangat bersemangat untuk bertemu dengan sahabatnya malam ini, orang yang selama ini selalu mendukungnya dan tidak pernah “pergi” saat ia terpuruk.
Apakah Thomas akan terlihat berbeda dari foto yang biasa ia lihat? Apakah sahabatnya itu akan merasa canggung saat nanti bertemu dengannya? Apa yang harus ia katakan dan lakukan saat nanti akhirnya bertemu muka dengan pria yang selalu menjadi suporter dalam hidupnya selama ini?
Ia tidak sadar sudah melamun, kala sopir taksi yang mengantarnya ke Hotel Pullman itu akhirnya membalas ucapannya. “D'accord, tout de suite, Monsieur,” katanya dengan aksen Perancis yang kental. Gregory hanya melemparkan senyum simpul pada pria yang duduk dibalik kemudi itu lewat kaca spion tengah dan kembali memalingkan wajahnya.
Lalu lintas kota Paris hari ini cukup padat, banyak sekali kendaraan roda dua dan roda empat memenuhi jalanan protokol. Pun ia melihat banyak sekali orang yang sedang berlalu lalang dengan pakaian kasual di pinggir jalan.
Gregory lantas berdecak saat menyadari bahwa hari ini adalah hari Sabtu, hari dimana orang-orang pergi ke luar rumah untuk menghabiskan waktu. Ia lalu melirik ke arah dasbor mobil itu, terlihat pada layar GPS yang menunjukkan waktu tempuh dari apartemen Vincent ke hotel sekitar 30 menit. Padahal, jarak keduanya hanya sejauh tujuh kilometer.
Ia lantas menghela napas berat sambil memeluk dirinya sendiri, mengusapkan kedua telapak tangannya naik turun pada lengannya saat merasakan pendingin ruangan mobil itu perlahan mulai menusuk tulangnya.
Tiba-tiba Gregory teringat bahwa dua hari lagi, ia dan Vincent akan kembali disibukkan dengan rutinitas mereka masing-masing. Kekasihnya akan sibuk dengan klub orkestranya, kembali menjalani latihan yang memerlukan waktu sekitar delapan jam sehari. Ia pun harus segera pergi ke studio untuk membersihkan alat musik miliknya agar dapat digunakan saat latihan.
Maka akhirnya, mereka berdua sepakat untuk menghabiskan hari Sabtu ini dengan kegiatan masing-masing. Vincent sempat memberitahunya bahwa ia akan pergi dengan Maximillian untuk mengunjungi beberapa museum, menghabiskan waktu sebelum akhirnya kembali pada rutinitasnya pada hari Senin.
Gregory lantas mengiyakan, memaklumi kegiatan kekasihnya itu yang akan sangat padat dalam beberapa bulan kedepan, karena latihan yang harus dilakukan untuk mempersiapkan konser yang akan digelar lima bulan lagi.
Ia pun tentu menggunakan kesempatan ini untuk bertemu dengan Thomas, sebelum sahabatnya itu “tenggelam” dalam pekerjaannya yang akan menyita waktu dari pagi hingga malam hari tanpa henti. Sebenarnya, ia pun harus mempersiapkan waktu untuk berlatih di studio, karena Alex, pemilik Caveau de la Huchette hanya memberikan kelonggaran selama seminggu.
Gregory harus menggunakan waktu semaksimal mungkin untuk beristirahat dan latihan, sebelum akhirnya bekerja selama lima hari dalam seminggu.
Ia lantas menghela napas kasar sambil memijat batang hidungnya, berusaha memilah-milah isi kepalanya. Banyak sekali rencana yang ingin ia lakukan, namun waktu yang dimiliki hanya sedikit.
Namun tidak, ia tidak mau memikirkan hal itu terlebih dahulu. Hari ini ia hanya ingin menikmati waktunya dengan tenang tanpa gangguan apapun.
Gregory lalu mengerjapkan kedua matanya dan menarik napas panjang, mengalihkan pandangannya pada jalanan yang terlihat ramai. Ia menundukkan kepalanya sedikit saat melihat Menara Eiffel yang menjulang tinggi, megah dan indah terasa begitu dekat dengannya.
Akhirnya, ia benar-benar dapat menatap menara itu tanpa harus memicingkan mata bulatnya untuk memandang keindahan menara yang dihiasi cahaya lampu kuning pada bagian kaki hingga puncaknya dari jauh.
Sebenarnya, jarak antara hotel tempat Thomas menginap dan Menara Eiffel hanya sekitar 45 meter dengan berjalan kaki, membuatnya lantas tergoda untuk pergi ke sana esok hari. Namun tidak, ia ingin mengunjungi tempat itu dengan Vincent. Kekasihnya itu sudah berjanji akan mengajaknya ke sana, ia tentu tidak akan menyia-nyiakan tawaran pria yang lebih tua dua tahun darinya itu.
Gregory lantas menggelengkan kepalanya sambil tertawa, memikirkan betapa dulu ia sangat membenci kota Paris dengan segala isinya. Ia pun mengingat dirinya sendiri bersumpah pada Thomas bahwa ia tidak akan pernah mau mengunjungi Menara Eiffel yang menurutnya sangat mainstream.
Memang benar kata orang, minuman ternikmat di dunia adalah ludah sendiri.
Tak lama setelahnya, ia melihat sopir taksi daring yang duduk di depannya membelokkan mobil memasuki area hotel Pullman. Sekilas, ia melihat area drop off cenderung sepi, tidak ramai seperti jalanan kota Paris yang penuh sesak.
Gregory lantas mengambil tas jinjingnya saat sopir taksi itu mengatakan bahwa mereka sudah sampai di area lobi hotel. “On est arrivés, Monsieur.” Ia lalu melempar senyum pada pria paruh baya itu sambil mengecek barang bawaannya agar tidak tertinggal. Ia menepuk saku celana jinsnya dan menganggukan kepalanya kemudian saat merasakan bahwa dompet dan handphonenya masih berada di sana.
Ia lalu membuka pintu mobil dan mengucapkan terima kasih pada sopir taksi daring itu sambil melangkahkan kakinya ke luar. “Merci!”
Seorang petugas hotel menyapa Gregory dengan ramah sambil mempersilakannya melangkah ke arah pintu masuk lobi. Ia lalu melempar senyum simpul, mengucapkan selamat malam sambil menaruh tasnya yang berwarna hitam pada x-ray security scanner untuk diperiksa. Gregory mengeluarkan handphone dan dompetnya, menaruh pada kotak berwarna coklat sebelum melangkahkan kakinya melewati walkthrough metal detector yang terlihat lengang. Ia melempar senyum dan mengucapkan terima kasih pada petugas yang menyerahkan tas dan beberapa barangnya sesudah diperiksa.
Sliding door di hadapannya pun terbuka, menyambut Gregory dengan udara dingin area lobi hotel yang seketika menusuk tulangnya. Giginya bergemeletuk tanda kedinginan, membuatnya lantas menyesali keputusannya malam ini hanya mengenakan kaos longgar berwarna abu dengan celana jins favoritnya.
Area lobi hotel itu terlihat sangat luas, interiornya terlihat seperti hotel bisnis. Dindingnya dilapisi keramik bercorak batu bata berwarna abu, lantainya pun mengkilap dengan warna senada. Pilar-pilar yang berperan sebagai penyangga bangunan dilapisi cermin, membuat Gregory lantas dapat berkaca di sana. Walaupun sekilas tidak terlihat mewah seperti hotel berbintang lima lainnya, namun cukup membuat tamu hotel merasa nyaman. Suasana lobi hotel terlihat sepi, tidak begitu banyak orang yang berlalu lalang dan menunggu antrean di depan resepsionis.
Gregory mengedarkan pandangannya, berusaha mencari tempat untuknya duduk, saat akhirnya ia melihat sederet sofa kulit berwarna abu yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Saat ia hendak melangkahkan kakinya, tiba-tiba seseorang meneriakkan namanya dari belakang. Ia sempat tercekat dan membalikkan tubuhnya, lalu terhuyung ke belakang saat seorang pria memeluk tubuhnya dan mengeratkan kedua tangannya pada punggungnya.
“Grego! Gila lo, berubah banget sekarang!”
Thomas berteriak cukup keras ditelinganya, membuatnya lantas meringis dan memukul pelan punggung sahabatnya itu saat ia membalas pelukan pria dengan erat.
“Thomas, what the hell,” balasnya mengumpat sambil tertawa. Ia bisa merasakan sekujur tubuhnya tak lagi tegang, seketika merasa rileks karena bertemu dengan seseorang yang membuatnya nyaman tanpa harus memikirkan apapun sama sekali. Ia lalu mengangkat tangannya untuk menjitak pelan bagian belakang kepala sahabatnya itu sebelum akhirnya menarik tubuhnya dan kedua tangannya. “Gila lo ya, Thom, kayak lagi di hutan. Urat malu lo fix putus deh, kayaknya, nyet?”
Sahabatnya itu hanya memutar kedua bola matanya sambil tersenyum jahil. Pria itu terlihat sangat modis dengan mengenakan kaos oblong berwarna putih tanpa lengan yang memamerkan beberapa tatonya pada bagian lengan. Pun ia memakai topi berwarna hitam polos yang terlihat sangat cocok.
Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya heran. Sahabatnya itu sungguh sangat berbeda, terlihat mapan dan sukses.
Apakah yang ia pikirkan masuk akal? Ia sendiri tidak tahu.
“Bacot lo,” balas pria yang berdiri di hadapannya itu sambil mendorong bahu kanannya, lalu merangkulnya lagi untuk memeluknya. “Gila, kangen banget gue. Makin cakep aja lo sekarang, Gre,” sambungnya asal sambil memperhatikan dirinya dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuat Gregory lantas memutar kedua bola matanya. “Lo nggak jadi ajak Vincent sekalian? Padahal mau gue godain.”
Gregory menggeram, menjulurkan tangannya untuk menyentil dahi sahabatnya itu keras. “Bangsat lo,” sahutnya terkekeh saat mendengar Thomas meringis dan mengusap dahinya kasar. “Gue sudah bilang nggak akan ajak dia kalau masih mau lo genitin.”
Sahabatnya itu hanya menjulurkan lidahnya sambil mengacungkan jari tengah, sambil terlihat mengecek handphonenya, seperti sedang bertukar pesan dengan seseorang.
Ia lalu tersadar bahwa saat ini Thomas hanya sendirian, tidak ada sosok manajer yang katanya selalu menemaninya ke mana pun sahabatnya itu pergi. “Anyway, where's your manager, Thom?”
Thomas berdecak sambil memasukkan handphonenya kedalam saku celananya. “Ah, dia lagi sightseeing katanya. Sepuluh menit lagi balik. Kamar dia hanya beda beberapa kamar kok dari gue, so it should be fine.” Sahabatnya itu melangkahkan kaki ke arah lift, membuatnya lantas mengekor dari belakang. “Naik ke kamar, yuk, Gre? Gue butuh banget mandi, nih.”
Gregory lantas mengangguk, melangkahkan kakinya agak cepat untuk berjalan bersisian dengan sahabatnya itu. “Gue senang banget bisa ketemu lo, Thom,” katanya saat mereka berdua memasuki lift. “Akhirnya ya, setelah delapan tahun.”
Sahabatnya itu terlihat memencet tombol angka sepuluh dan menyandarkan tubuhnya pada dinding lift yang dilapisi kaca. Thomas tersenyum lebar. “Soft hoursnya nanti saja, please? I really need to shower, Gre. Lo nggak mau kan kita ngobrol tapi guenya masih bau?”
Mendengar sahabatnya berkata demikian sambil tertawa renyah, ia akhirnya mencibir dan mengiyakan usul pria itu. “Sialan lo, but okay.”
“What the fuck, bro.”
Hanya itu yang dapat Gregory ucapkan saat melangkah masuk ke dalam kamar yang ditempati oleh sahabatnya sambil membawa tas hitam miliknya. Ia mendengar Thomas tertawa terbahak-bahak sambil menutup pintu kamar itu pelan.
Gregory tidak bisa menahan rasa terkejutnya. Kedua mata bulatnya terbelalak, tidak bisa berkata-kata saat melihat Menara Eiffel menjulang tinggi, terlihat jelas dari jendela kamar hotel sahabatnya itu. Ia lalu meletakkan tasnya diatas meja terdekat, mengganti sepatu boots yang dikenakan dengan sandal ruangan. Ia lalu melangkahkan kakinya ke arah jendela, mengambil remote yang menggantung di sudut ruangan untuk membuka tirai jendela.
“I chose this room view for you, Gre,” jelas Thomas santai sambil melepaskan topinya dan meletakkannya diatas kasur. “Lumayan lah, lo katanya mau cari hotel yang menghadap ke arah Eiffel Tower, kan? Anggap saja ini trial. Gue tahu lo sudah mengincar hotel lain, but I guess you can consider this one as well.”
Thomas dengan segala kecongkakannya. Ia menggeleng tidak percaya, lalu membalikkan tubuhnya dan menatap mata sahabatnya itu lekat sambil berkacak pinggang. Thomas terlihat sedang merebahkan tubuhnya menghadap ke langit-langit kamar sambil memejamkan mata, seperti menikmati kasur yang sangat empuk itu.
Ia lalu melangkah ke arah kasur dan melepaskan sandalnya, merangkak naik dan merebahkan tubuhnya di samping Thomas. Kasur itu sangat luas, sepertinya cukup untuk dipakai oleh empat orang sekaligus. “Dasar orang kebanyakan duit ya, lo, but thanks a lot, though.”
Gregory menghela napas, merasakan betapa lembut kain seprai yang digunakan sebagai pelapis kasur itu. “Pacar lo ngamuk nggak ini kita nginap bareng, bro night kayak gini, Thom?”
Ia mendengar sahabatnya menghela napas di sampingnya, lalu menghadapkan tubuhnya ke arahnya dan menopang kepalanya dengan tangannya. “Gue nggak bilang akan ketemu lo. Biarkan saja,” jawabnya sambil mencebik. “Kemarin gue berangkat juga dia masih ngambek, kesal karena dia nggak bisa ikut.”
Oh? “Oh, tadinya dia mau ikut ke Paris?” Gregory bertanya, berusaha mengatur nadanya sedemikian rupa agar tidak terdengar seperti orang yang sedang penasaran.
Thomas mengusap wajahnya kasar dengan tangan kirinya. “Ya, tapi dia ada jadwal latihan balap. Ya sudah,” balasnya singkat, lalu menyambung lagi. “Kayak lo nggak tahu saja mimpinya dia dari dulu kayak apa, Gre.”
Gregory hanya bisa menggumam sambil memikirkan banyak hal. “I sometimes still can't believe you're now in a relationship with my ex, Thom.”
Sahabatnya itu tertawa sambil mengangkat tubuhnya, menjulurkan tangannya untuk mengambil bantal yang cukup tebal. Pria itu lalu meletakkan kepalanya diatas bantal sambil memejamkan kedua matanya. Gregory akhirnya menoleh, lalu menyampingkan tubuhnya ke arah Thomas. “Iya, setelah tujuh tahun lo putus dari dia, 'kan. He changed a lot, Gre, just so you know.”
Ia mendesis sambil mengumpat. “Gue nggak perlu tahu juga sih gue, Thom,” katanya asal. “I don't care.”
“Ye, monyet.”
Gregory tertawa terbahak-bahak mendengar respon pria yang ada di sampingnya itu. “Lo buruan mandi deh, gue mau nongkrong di balkon sambil foto Eiffel Tower dulu. Gue kebetulan bawa kamera, tadinya untuk portfolio gue.”
Ia melihat Thomas mengangguk lalu menegakkan tubuhnya. Pria itu lantas berjalan ke arah koper dan membuka barang bawaannya yang terlihat sangat banyak itu. “Okay, deh. Lo langsung pesan makanan saja ya, room service. Sekalian a bottle of wine ya, Gre. Sepertinya di hotel ini jual wine favorit kita, deh.”
Thomas terlihat membawa pouch kecil berisi peralatan mandinya sambil melangkah ke arah kamar mandi dengan cepat. Ia lantas terkekeh, kebiasaan sahabatnya itu sejak dulu belum juga hilang.
“Alright, nanti gue pesan,” balasnya sambil setengah berteriak.
Saat Gregory sudah mendengar pintu kamar mandi terkunci, ia lantas melangkah ke arah balkon sambil membawa sebotol bir yang diambilnya dari mini bar. Ia lalu menarik kursi di sana untuk mengambil duduk, merogoh saku celananya dan mengambil handphonenya.
Ia membuka aplikasi kamera, mengabadikan menara yang menjulang tinggi di hadapannya sambil tersenyum, berusaha menahan tiupan angin yang cukup dingin dan membuat bulu kuduknya meremang. Setelah dirasa cukup, ia lalu mengirimkan beberapa foto pada Vincent sambil mengetik pesan untuk kekasihnya itu: Bonsoir Vin sayang, look at this view! It's so beautiful, no? Wish you were here, though. I love you!
Gregory lalu memencet tombol send, tidak memerlukan waktu lama hingga akhirnya ia mendengar nada dari benda itu, tanda Vincent sudah membalas pesannya. Ia lantas tersenyum lebar saat membuka pesan pria yang dicintainya itu: Bonsoir, my love. It is, indeed. Do you love it? I will book a room for us though, with a much better view, if you do. Kamu mau, Gregory? Kabari aku ya. Have fun, Beau.
Ya, Gregory benar-benar mencintai pria itu.
“Jadi, gimana perkembangan lo di Paris, Gre?”
Thomas bertanya padanya sambil memegang segelas wine pada tangan kirinya. Saat ini mereka berdua tengah duduk santai di balkon kamar hotel sambil menikmati makanan yang tadi dipesan oleh Gregory. Beruntunglah servis hotel ini sangat bagus, tidak membutuhkan waktu lama sampai akhirnya seorang karyawan restoran hotel mengetuk pintu kamar Thomas dan mengantarkan pesanan mereka.
“Ya begitu saja, Thom, nothing special,” jawabnya singkat sambil meminum birnya. “Hanya sekarang gue benar-benar melepaskan pekerjaan gue di Les Disquaires dan mau fokus di de la Huchette saja.”
Ia mendengar sahabatnya itu menggumam, lalu menoleh ke arahnya sambil mengernyitkan dahi, seperti bisa membaca pikirannya hanya dari nada jawabannya barusan. “Lo jadi pindah apartemen, Gre?”
Gregory meletakkan botol bir yang dipegangnya diatas meja, lalu mengangkat kedua tangannya untuk mengusap wajahnya kasar. Mendengar pertanyaan Thomas membuatnya lantas mendengus. “Jadi, tapi ya begitulah. Gue tidak ada cukup uang untuk sewa apartemen lagi untuk sekarang ini. Sedangkan landlord di apartemen gue sekarang sudah menagih uang sewa annually this time.” Ia menjelaskan hal yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya panjang lebar pada Thomas. “Apa nggak pusing jadi gue?”
Thomas menghela napas berat, meminta maaf padanya karena telah menanyakan hal yang cukup sensitif untuknya. Gregory hanya menggumam sambil kedua mata bulatnya memandangi Menara Eiffel yang lampunya terlihat berkelap-kelip.
“Do you even know I still have a debt, Thom?” Ia bertanya tiba-tiba pada sahabatnya, membuat pria yang sedang duduk di sampingnya itu lantas menegakkan tubuhnya.
Kedua mata mereka akhirnya bertemu. Gregory dengan sorot matanya yang teduh, dengan kedua mata Thomas yang terbelalak, seperti terkejut.
“Masih?” Ia melihat Thomas mengernyitkan dahi kebingungan, pria itu terdengar khawatir. Gregory hanya bisa mengangguk lemah, sambil menggigit kukunya sendiri. “I thought it's already done few years ago?”
Ia lantas menghela napas kasar sambil menggeleng, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Recently, nyokap telepon gue. Tanya keadaan gue bagaimana. After all these years, aneh banget, 'kan?”
Gregory dapat mendengar napas sahabatnya itu tercekat saat mendengar jawabannya barusan.
“Akhirnya kita ngobrol, lumayan lama lah. Tapi ya begitu, ternyata ujung-ujungnya minta gue kirim uang ke Indonesia.”
Thomas lantas menjawab dengan cepat. “Lo serius?” Ia hanya bisa mengangguk, masih menutup wajahnya malu dan lelah. Mengapa masalah tidak berhenti menyerang dirinya? “What the hell, Gre. Kok lo nggak pernah bilang gue?”
Ia menggeleng sambil menarik telapak tangannya, menyugar rambutnya yang gondrong kemudian, lalu tersenyum ke arah sahabatnya. “Buat apa? Toh, gue nggak akan minta tolong bantuan lo juga, Thom. I can do it on my own, hopefully.
“That's why, gue ngoyo banget mau pindah ke de la Huchette as soon as possible,” jawabnya singkat, sambil mencoba mencairkan suasana dengan mengambil sumpit, membukanya dan mengambil sepotong salmon sashimi yang dipesannya tadi.
Thomas menegakkan tubuhnya, kembali mengernyitkan dahinya sambil meraih sumpit miliknya untuk mengambil sepotong sushi. “Does your boyfriend know any of this?”
Mendengar pertanyaan sahabatnya itu, ia hanya bisa tertawa disela-sela mengunyah makanannya. “Of course not. Dia hanya tahu itu bar impian gue, which is true. Selebihnya ya, baru kali ini gue cerita ke lo.
“Setelah seminggu gue luangkan waktu untuk berpikir, akhirnya keputusan gue sudah bulat. Gue nggak akan pulang ke Indonesia sampai gue mampu membayar uang yang mereka keluarkan untuk membiayai pendidikan gue di Paris. Jujur gue lelah kalau harus dikejar oleh mereka terus, Thom,” jelasnya sambil meraih segelas air mineral dan meneguknya hingga habis. “Mereka sendiri yang melempar gue ke kota ini, kenapa mereka malah meminta gue kembalikan uang mereka?”
Sahabatnya itu bertanya sambil memiringkan kepalanya, melipat kedua kakinya untuk duduk bersila. “Memangnya lo mau pulang dalam waktu dekat, Gre?”
Gregory menggelengkan kepalanya sambil menggumam. “Tidak juga, sih. You know how much I despise them both.”
“Yeah, I remember. You remind me almost everyday, bro.” Sahabatnya itu terdiam, memberi jeda pada kata-katanya sendiri, seperti sedang berpikir keras. Thomas lalu bertanya padanya, seperti berhati-hati dengan kalimatnya sendiri. “Lo nggak mau minta tolong ke Vincent saja? I'm sure he'll help you.”
Ia menggigit bibir. Hell, apa yang dikatakan oleh sahabatnya barusan menempati posisi terakhir dalam pilihannya. Ia tidak akan pernah mau mengungkit dan membahas masalah ini dengan kekasihnya, karena ia tahu, Vincent akan bersedia membantunya tanpa berpikir dua kali. “Gue nggak mau ganggu privasi dia, lagipula gue pun masih ingin ada privasi.”
“Ya juga sih,” celetuk Thomas sambil terlihat menegak isi gelas winenya hingga tandas. Ia lalu meletakkan gelas itu diatas meja dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. “Terus, rencana lo apa, Gre?”
Rencana.
Sejujurnya, ia sama sekali belum memikirkan rencana apakah yang harus ia lakukan. Isi kepalanya masih dipenuhi dengan keinginannya untuk segera pulih dari sakitnya dan berlatih. Gregory tahu, ia tidak mungkin selamanya tinggal di apartemen Vincent.
Ia merasa malu dengan kekasihnya, dengan teman-teman dekat Vincent yang selama ini sudah membantunya. Ia tidak ingin terus-terusan merepotkan mereka.
Tidak. Ia harus segera memikirkan rencana selanjutnya.
Maka dengan spontan, Gregory berkata pada sahabatnya tanpa berpikir. “Gue kayaknya mau cari apartemen yang murah saja. Murah dalam artian tidak sampai dua juta per bulan deh. Sampai gue ada uang untuk sewa yang lebih layak.”
Tiba-tiba Thomas tersedak, membuatnya lantas dengan sigap mengambil beberapa helai tisu dan memberikannya pada sahabatnya itu. Wajahnya terlihat memerah, entah apa ada isi mulutnya yang dimuntahkan oleh sahabatnya itu barusan. “Hah? Lo yakin?” Pria itu bertanya sambil menyeka mulutnya. “Gue rasa Vincent nggak bakal membiarkan lo tinggal di tempat yang kurang layak deh, Gre.”
Ya, ia tahu, Vincent pasti tidak akan membiarkannya. Namun, ia tidak mungkin terus-terusan membiarkan dirinya sendiri dikasihani dan dibicarakan oleh orang lain, 'kan?
“Gue nggak mau orang-orang di luar sana melihat gue pacaran dengan dia hanya karena dia tajir, Thom. I don't want it,” jawabnya sambil menghela napas berat. Ia lalu mengangkat kedua kakinya, lalu mengulurkan kedua tangannya dan memeluk betisnya.
Thomas lalu mencolek lengannya, membuatnya lantas menolehkan kepalanya ke arah pria itu. “Menurut gue ya, Gre, lo pacarannya sama Vincent seorang, bukan sama “orang-orang di luar sana”, 'kan?” Sahabatnya itu bertanya padanya sambil menggerakkan kedua jari telunjuk dan tengahnya, membuat tanda kutip. “Kalau Vincent tidak pernah berpikir seperti apa yang lo pikirkan, ya sudah, lo nggak perlu terlalu memikirkan apa kata orang.”
Ya, ia tahu hal itu. “I know, but it's kinda hard, Thom.”
Thomas tersenyum ke arahnya dengan penuh arti. “Sekarang hanya ada dua, Gre. Lo itu merasa tidak bisa, atau memang tidak mau, maka lo bilang tidak bisa?” Sahabatnya itu bertanya tanpa basa-basi, membuatnya seketika berpikir.
“That's two different things. Tidak mau dan tidak bisa, adalah dua hal yang berbeda.”
Kata-kata sahabatnya itu membuatnya tertohok, menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh Thomas adalah benar adanya.
Jadi selama ini, ia tidak bisa, atau tidak mau?