the last baton | 233

⚠️ cw // slightly mention tipsy


Setelah Vincent memberitahu para anggota klubnya via pesan malam itu, ia mulai merencanakan segala sesuatu yang dapat dilakukan selama sepekan kedepan. Membereskan lemari koleksi piringan hitamnya menduduki posisi to-do-listnya paling atas, disusul dengan rencananya mencari beberapa piringan hitam yang sudah ia incar sejak beberapa bulan lalu, dan akan pergi ke toko musik untuk membeli baton stick dan bow baru untuk biolanya.

Ia merasa dirinya berhak mendapatkan waktu luang untuk dirinya sendiri, setelah hampir setiap hari menghabiskan waktu dengan klub orkestranya, minimal tujuh jam, selama sebulan penuh.

Maka pada malam yang sama, Vincent langsung mengusulkan ide pada Sebastian dan Tobias untuk mengadakan pesta barbekyu sederhana di apartemen mereka. Beruntung keduanya setuju akan rencananya itu dan memutuskan untuk mengundang teman-temannya makan malam dalam pesta barbekyu keesokan harinya.


Vincent baru saja selesai mandi dan mengganti pakaiannya, setelah seharian menghabiskan waktu di toko musik untuk membeli beberapa keping piringan hitam baru. Ia lalu melangkah keluar dari kamarnya, hendak membantu Sebastian yang sedang sibuk membereskan barang-barang di dapur.

All set, Bas?”

Vincent bertanya pada temannya itu sambil berjalan ke arah tangga apartemen mereka. Pria yang lebih tua tiga tahun darinya itu terlihat sedang tergopoh-gopoh menaiki anak tangga menuju rooftop dengan kedua tangannya memegang grill pan yang ia tahu cukup berat.

Sebastian terdengar menghela napas kasar sambil menyeka peluh pada dahinya dengan lengan bajunya. “Ya, semua sudah gue siapkan. Tobi sedang beli keperluan lainnya di market dengan Warren.”

Lengan pakaian pria itu tergulung, terlihat kusut dan sedikit kotor karena sejak tadi memindahkan dan membereskan banyak barang. Maka dengan sigap Vincent menghampiri pria itu dan mengambil salah satu grill pan dari genggamannya. “Let me help you, Bas. Kalau terlalu seperti ini, 'kan lo bisa minta tolong gue?”

Sebastian hanya memutar kedua bola matanya sambil tertawa renyah. “Nggak perlu, Vin,” jawabnya singkat sebelum menyambung lagi. “Sudah sana, lanjutkan kegiatan lo lagi.”

Mendengar temannya berkata demikian, Vincent hanya membalas dengan mendengus. Ia tahu, Sebastian memang sosok yang sangat keras kepala. Pria itu tidak terlalu suka menerima bantuan orang lain, padahal segala sesuatu akan lebih cepat selesai jika dikerjakan oleh dua orang atau lebih.

Sifatnya dan Sebastian sebenarnya sama saja; keras kepala dan terlihat cuek, namun pada dasarnya, mereka peduli dengan sekitarnya. Hal yang membedakan adalah Sebastian selalu mengutarakannya, namun tidak dengan Vincent. Ia lebih memilih diam dan mengamati, menyimpan semuanya dalam hati.

Vincent lalu meletakkan grill pan itu pada anak tangga. Ia menyugar surai hitamnya, menyisir dengan jemari tangannya, lalu menarik ikat rambut dari pergelangan tangannya untuk mengikatnya.

Setelahnya, ia mengangkat benda yang cukup berat itu dan menaiki anak tangga, mendahului Sebastian sambil terkekeh.

Saat dirinya dan Sebastian sampai di rooftop apartemen, mereka berdua akhirnya meletakkan grill pan dekat alat panggang yang sudah disiapkan oleh Sebastian. Keduanya melenguh, merasakan kedua lengan mereka pegal dan kencang karena membawa barang seberat dua kilogram itu.

Vincent lalu mengambil selembar tisu basah diatas meja makan untuk membersihkan tangannya, sambil mengedarkan pandangannya. Terlihat langit sore kota Paris yang indah luas membentang, membuatnya lantas mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia jarang sekali meluangkan waktu untuk sekedar duduk santai dan menikmati sore hari di rooftop gedung itu. Ia lebih senang menghabiskan waktu di kamar tidur dan ruang tengah apartemennya.

Ia lantas menarik kursi besi berwarna hitam yang ada di sana dan duduk, mencondongkan tubuhnya sambil melepas kacamatanya. Ia kemudian menaruh benda itu disisi kanan, lalu menumpukan kedua sikunya pada meja berwarna coklat terang sambil memejamkan kedua matanya.

Sepertinya ia harus sering bersantai di rooftop apartemen mereka sendirian.

“Vin, jam berapa Gregory akan datang?” Sebastian bertanya padanya, membuatnya seketika membuka matanya dan menyandarkan tubuhnya doikursi. Pria itu sudah duduk di hadapannya sambil menyeka keringatnya dengan handuk kecil yang sedari tadi dibawanya ke sana kemari.

Vincent lalu merogoh saku celananya dan mengambil handphonenya. Ia mengecek penunjuk waktu yang tertera pada layar. Saat ini sudah pukul empat sore. Beberapa saat lalu, ia masih bertukar pesan dengan Gregory. Pria yang lebih muda darinya itu memberitahu bahwa dirinya akan tiba di daerah apartemen Vincent pukul setengah lima sore.

“Mungkin sebentar lagi. Sepuluh menit lalu dia sudah info kalau sedang berhenti di stasiun Reuilly-Diderot,” jawab Vincent sambil mematikan layar handphonenya, lalu meletakkan benda itu diatas meja.

“Ah, alright,” kata Sebastian menanggapi, sambil memandangnya lekat-lekat. Vincent lalu mengernyit, memikirkan apa yang akan temannya itu katakan. Walaupun ia dan Sebastian sudah mengenal satu sama lain cukup lama, namun mereka berdua jarang sekali bicara empat mata seperti ini.

Sebastian lalu tersenyum simpul sambil menyingkirkan rambutnya yang menempel pada dahinya karena keringat. “This is your first time inviting someone other than Timothy, Warren, and Max, right, Vin?”

Ia mengangguk bingung sambil memiringkan kepalanya. “Yeah. Why, Bas?”

Nope, just wondering, he really must be special,” balas pria itu singkat mengangkat bahu. Sebastian menyandarkan tubuhnya di kursi sebelum menyambung lagi. “Lo tidak pernah memberikan alamat tempat tinggal lo secara detail pada siapapun, 'kan? Even teman-teman anggota klub orkestra lo.”

Ah, right. Vincent tidak pernah memberikan informasi mengenai tempat tinggalnya pada siapapun, kecuali tiga teman dekat dan sahabatnya—Timothy, Maximillian, dan Warren—yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri. Bahkan teman-teman klub orkestranya hanya tahu bahwa ia tinggal di daerah Rue de la Ferronnerie, tidak lebih.

Ia lalu menghela napas dan mengangguk. “Even all of them, yes. Gue juga tidak merasa perlu untuk memberitahukannya pada siapapun. It's a privacy, Bas.”

Except Gregory, right?” Sebastian bertanya padanya tanpa tedeng aling-aling. Ia melihat pria itu menyunggingkan senyum simpul sambil menatap kedua matanya. “Gue lihat lo sekarang sedikit berubah, Vin. In a good way of course. Lo terlihat lebih happy,” katanya menyambung lagi sambil melipat kedua tangannya didada.

Vincent lantas diam seribu bahasa, memalingkan pandangannya ke arah lain untuk menghindari kontak mata dengan pria itu. Ia tahu betul, Sebastian adalah sosok yang jarang sekali mengomentari hidup orang lain. Teman satu apartemennya itu lebih memilih diam dan mengamati, berkomentar jika ia ingin dan merasa perlu.

Maka Vincent hanya dapat menanggapi statement temannya itu sambil menaikkan kedua alisnya dan tersenyum simpul. Ia menghela napas sebelum akhirnya berkata dengan mantap. “Thank you for saying it, Bas. And yeah, you're right. I am happy.”

Pria itu tertawa renyah, menunjukkan senyumnya yang lebar sambil mengibaskan tangannya. “Keep it that way, Vin. Gue lihat dia pria yang baik.”

Vincent pun hanya menggumam sambil mengangguk, sebelum akhirnya membalas singkat. “Yeah, thanks, Bas.”

Mereka berdua akhirnya menghabiskan waktu di sana sambil membicarakan banyak hal, termasuk membahas perkembangan bisnis Sebastian dan Tobias akhir-akhir ini. Ia pun memberitahu keputusannya untuk mengambil istirahat dari kegiatan latihan orkestra dengan klubnya.

Jika diingat-ingat, memang lucu dan unik hubungannya dengan Sebastian. Mereka membicarakan banyak hal setiap hari, namun belum pernah melakukan deep talk seperti saat ini.

Vincent dalam hati bersyukur, setidaknya rencananya mengajak teman-temannya makan malam bersama membuahkan hasil yang lain.

Tiba-tiba handphonenya berbunyi satu kali, menandakan sebuah pesan masuk untuknya. Ia lantas mengambil kacamatanya dan mengenakannya. Setelahnya, ia mengetuk layar benda itu untuk membaca notifikasinya.

Hei, Vin. Gue baru saja sampai di Au Coeur Couronne. Maaf gue terlambat. Apa boleh jemput gue di sini? Thank you!

Ia lantas menyunggingkan senyumnya saat membaca pesan dari Gregory, lengkap dengan sebuah emoji khas pria itu sebagai penutup kalimat. Ia menangkap sosok Sebastian dari ekor matanya, sedang menggelengkan kepalanya sambil terkekeh.

Vincent lantas mengangkat kepalanya, menatap pria itu sambil tersenyum lebar.

Pria itu seperti sedang membaca pikirannya.

Go get him, Vin. I'll prepare the rest. Sebentar lagi mungkin Timmy dan Max akan datang, jadi lebih baik gue segera siap-siap.”

Vincent pun mengangguk lalu berdiri dari duduknya. Ia merapikan kembali kursinya dan melangkah menuruni anak tangga untuk keluar dari apartemennya dan menjemput Gregory.

Ini adalah kali pertama dirinya mengundang orang asing datang mengunjungi apartemennya. Sebenarnya Vincent adalah orang yang sangat tertutup. Ia tidak ingin ada siapapun selain teman dekatnya memasuki apartemennya sendiri.

Tempat tinggalnya ini adalah “dunianya” dan “tempat teraman” untuknya.

Namun Gregory adalah pengecualian. Ia mempersilakan dirinya sendiri memberi celah hanya untuk pria itu, walaupun sebenarnya hanya sedikit.

Jika perumpamaan Gregory adalah benar adanya, sepertinya Vincent saat ini sudah terjun dari tempatnya berdiri hanya untuk meraih tangan pria itu dan menemaninya menaiki anak tangga menuju titik bahagianya.

Klise? Mungkin saja. Namun itulah yang dirasakan olehnya akhir-akhir ini. Puncaknya adalah saat malam itu, untuk pertama kalinya ia mendengar suara Gregory yang lembut nan indah menyapa kedua telinganya dari earbuds miliknya. Suara pria itu membuatnya tertidur pulas, mendengarkan kata demi kata yang dinyanyikan hanya untuknya.

Pria itu seperti mengutarakan isi hatinya untuk kedua kalinya, sejak pria itu berdiri diatas podium kecil di Les Disquaires dan menyanyikan lagu itu dengan suara yang indah.

Apakah firasatnya benar? Apakah Gregory juga menyukainya?

Ia lantas menggelengkan kepalanya sendiri, berusaha mengenyahkan memori itu sambil membuka pintu utama gedung apartemennya. Sore ini terlihat banyak sekali orang yang berlalu-lalang di depan gedung apartemennya. Beberapa kafe yang terletak tidak jauh dengan gedung apartemennya pun terlihat ramai pengunjung.

Vincent lalu berlari-lari kecil ke arah kafe yang dimaksud oleh Gregory.

Ia akhirnya melihat sosok pria itu dari kejauhan, sedang menunduk dan tatapannya terpaku pada layar handphonenya. Gregory mengenakan turtleneck berwarna putih gading, dibalut dengan jaket jins dan celana yang sepadan. Surai hitam yang menutupi matanya tertiup angin. Ia lalu melihat pria yang lebih muda darinya itu merapikan rambutnya dan menyelipkannya dibelakang telinganya.

Vincent berjalan mendekat sebelum akhirnya menyapa pria itu.

“Hai, Gregory.”

Pria yang dipanggil namanya lantas mendongak dan bertemu mata dengannya. Gregory tersenyum lebar, memperlihatkan sederet giginya yang putih. Kedua mata bulatnya terlihat mengerling, membuat Vincent tersenyum karenanya. Pria itu lalu mematikan handphonenya dan memasukkannya kedalam saku jaket jinsnya, sedang tangan kirinya melambai ke arahnya.

“Vin, hai! Maaf ya harus repot jemput gue ke bawah. Gue nggak telat, 'kan?”

Ia menggeleng. “Tidak kok, Gregory. Kamu adalah orang pertama yang datang,” balas Vincent sambil tertawa renyah. “Timothy dan Maximillian masih dalam perjalanan. Warren dan Tobias masih di market, ada yang harus dibeli di sana.”

Gregory hanya mengangguk tanda mengerti. Vincent lalu mengajak pria itu melangkah ke arah apartemennya. Mereka berdua berjalan bersisian sambil tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Ia merutuk dalam hati, mengapa dirinya hanya diam saja dan tidak mengajak Gregory berbicara?

You look good today, Gregory. It suits you a lot,” ujarnya tiba-tiba, membuat Gregory lantas menoleh ke arahnya sambil tersenyum kikuk. “Kamu cocok sekali memakai pakaian ini, this is so you.”

Pria itu hanya mengernyitkan dahi sambil memiringkan kepalanya. “Okay...?” Ia tertawa renyah sambil mengucapkan terima kasih. “Vin, kenapa awkward sih, ada apa?” Gregory bertanya padanya, tanpa terdengar adanya nada mengejek di sana.

Vincent hanya bisa mendengus pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. God damn, yes, because he's nervous. Gregory adalah orang pertama yang ia perbolehkan datang dan mengunjungi tempat tinggalnya. Walaupun ia tahu, pria itu sudah pernah melihat apartemennya jauh sebelum akhirnya Vincent menempatinya.

“Tidak, saya hanya sedikit gugup. Kamu adalah orang pertama yang saya perbolehkan datang ke apartemen saya, setelah para sahabat saya tentunya.” Vincent menjelaskan sambil membuka pintu utama gedung itu, mempersilakan Gregory untuk masuk mendahuluinya.

Mendengarnya, pria lantas membalikkan tubuhnya. Kedua matanya membulat karena terkejut. “Oh, ya? Wah, gue orang yang cukup spesial dong, Vin?” Pria itu bertanya padanya sambil menggerakkan kedua alisnya naik turun, membuat Vincent sempat terdiam.

Ia hanya bisa memutar kedua bola matanya malas sambil tersenyum, menundukkan kepalanya untuk menghindari kontak mata dengan Gregory. “Ya, bisa dibilang begitu, Gregory.”

“Ck, lo ternyata sebenarnya soft juga ya, Vin. Gue terharu,” kata Gregory sambil meletakkan kedua telapak tangannya didada sambil memejamkan matanya.

Vincent lantas mendesis dan melirik pria itu tajam. Gregory sebentar lagi akan membuat kedua lututnya lemas seperti habis lari marathon berpuluh-puluh kilometer.

“Ayo, sudah, Gregory, kita naik saja,” balasnya singkat sambil menggelengkan kepalanya.

Pria itu hanya terkekeh sambil berjalan mengekor dibelakangnya dan menaiki anak tangga gedung itu.

Sejujurnya, ia sendiri pun tidak memahami mengapa dirinya bersikap kikuk, tidak tahu apa yang harus dilakukan dan dibicarakan.

Apakah ia terlihat seperti anak remaja yang sedang jatuh cinta?

Ah, jatuh cinta. Dua kata yang sejak kemarin melekat dalam pikirannya, membuatnya tersenyum seperti orang aneh dan memikirkannya sepanjang hari ini.

Bahkan saat Vincent bangun dari tidurnya pagi tadi, dua kata itu masih terngiang-ngiang dalam kepalanya.

Apa memang benar ia sedang jatuh cinta dengan Gregory, pria yang belum lama ini “masuk” dalam kehidupannya secara tiba-tiba?

Ah, entahlah, hal itu dapat dipikirkan nanti.

Welcome to my apartment, Gregory. Anggap saja rumah sendiri, I don't mind,” katanya menyambut pria itu saat berhasil membuka kunci pintu apartemen dan mempersilakannya masuk. Ia melepas sepatu slip on miliknya, menaruhnya pada rak sepatu, lalu menyelipkan kedua kakinya pada sandal yang selalu ia kenakan saat berada didalam apartemen.

Gregory pun melakukan hal yang sama; melepas sepatu bootsnya dan meletakkannya pada rak sepatu yang terletak tidak jauh dari pintu masuk apartemen, sambil membalas kalimat Vincent. “Ah, thank you, Vin. Gue senang karena lo memperbolehkan gue datang ke apartemen lo.”

Vincent lalu melangkah masuk, meminta pria itu berjalan mengikutinya. Ia mendengar samar-samar suara Timothy dan Maximillian yang sedang berbincang di ruang tengah. Saat kedua temannya itu menyadari kehadirannya dan Gregory, sahabatnya lantas berdiri dari duduknya dan berteriak.

“Grego!” Timothy memanggil nama pria itu dengan suara cukup nyaring sambil setengah berlari ke arahnya. Ia lalu menarik pria itu untuk memeluknya, sambil mengacak-acak rambut tebalnya yang sepertinya sudah di-styling sedemikian rupa dengan gel rambut.

Long time no see, bro. Lo keren banget hari ini!” Vincent melihat dengan mata kepalanya sendiri, sahabatnya itu memuji Gregory sambil terkekeh dan mengerlingkan matanya.

Sepertinya Timothy sedang meledek pria itu, membuat Gregory menundukkan kepalanya, telinga kanannya terlihat memerah.

Maximillian yang sedang duduk santai di ruang tengah apartemennya hanya menggelengkan kepalanya sambil tertawa. Vincent lalu melambaikan tangannya ke arah pria itu untuk menyapanya. Kekasih Timothy itu lantas melambaikan tangannya pula, lalu berdiri dari duduknya saat mendengar Sebastian memanggilnya dari arah dapur.

Ia lalu menoleh ke sampingnya, melihat raut wajah Gregory seperti hendak minta tolong karena pelukan sahabatnya itu terlalu kencang. Ia hanya tertawa saat mendengar Gregory menanggapi dengan sedikit malas. Pria itu memutar kedua bola matanya sambil mendesis.

“Gue selalu keren, Tim, what the hell?”

Timothy hanya terkekeh sambil melepaskan pelukannya. Sahabatnya itu mengenakan sweater agak tebal berwarna hitam putih dan celana jins hitam, lengkap dengan ikat pinggang berlogo “G” dibagian tengah. Ke manapun sahabatnya itu pergi, ia selalu terlihat modis.

Vincent hanya dapat menyunggingkan senyumnya sambil menggelengkan kepala.

Ekstra sekali dia hari ini, padahal mereka hanya akan pesta barbekyu dengan sederhana.

“Galak banget sih lo sekarang, Grego? Lo ketularan sahabat gue, ya?” Vincent mendengar Timothy berkata demikian, sambil melirik ke arahnya.

Ia lalu mendengar Gregory menjawab dengan spontan sambil menepuk lengannya pelan. “Dia itu kaku, Timmy, bukan galak.” Pria itu menyambung lagi saat melihat raut wajahnya yang datar. “Vin, gue hanya bercanda. Jangan kusut gitu mukanya!”

Vincent hanya berdecak sambil mengajak Gregory dan Timothy berjalan ke ruang tengah. “Iya, saya tahu. Yuk, kita ke atas.” Ia lalu mengedarkan pandangan matanya dan bertanya pada sahabatnya. “Warren dan Tobias sudah datang, Timothy?”

Pria itu hanya mengangguk sambil menyugar surai tebalnya. “Sudah di rooftop, Vin. Yuk naik, sebelum terlalu sore.”

Ia lantas mengiyakan ajakan Timothy dan mampir ke kamarnya sebentar untuk menutup pintu.

Your place is nice, Vin. Nyaman banget,” kata Gregory terkekeh sambil menaiki anak tangga apartemennya. “Gue ingat dulu benar-benar ingin tinggal di sini, tapi uangnya nggak ada.”

Apa ini terlalu cepat?

“Ah, thank you, Gregory. Kamu bisa datang ke sini kapanpun kamu mau,” katanya sambil menatap mata pria itu lekat. “I will always welcome you.”

Gregory lalu menoleh, kedua mata bulatnya balik menatapnya sambil menyeringai. Senyumnya terlihat tulus, membuat hatinya sendiri terenyuh dan ikut tersenyum. “Thank you, Vin. I will remember that.”


Vincent merasa hari ini adalah hari yang menyenangkan. Ia dan teman-temannya mengadakan pesta barbekyu sederhana sambil berbincang dan bersenda gurau. Ini adalah kali pertama mereka mengadakan acara makan malam seperti ini di apartemen, tidak perlu melakukan reservasi di sebuah restoran dan repot-repot melawan kemacetan.

Ia pun bersyukur, Sebastian dan Tobias yang juga pemilik salah satu restoran masakan Indonesia di Paris itu memang ahli memasak. Vincent akui, masakan kedua temannya itu memang patut diacungi jempol. Walaupun malam ini mereka hanya makan steak dan dilengkapi dengan various wines (pilihan Vincent, tentunya), namun baginya, malam ini terasa sangat istimewa.

Biasanya, mereka akan makan siang dan/atau makan malam di sebuah restoran, menghabiskan waktu dengan berbincang dan membicarakan banyak hal. Namun memang tidak pernah terasa begitu intim. Sebastian pun menyayangkan, mengapa rencana seperti ini baru terpikirkan oleh mereka.

Pemandangan dari rooftop apartemen mereka pun sangat indah, terlihat Menara Eiffel dari kejauhan, menjulang tinggi dihiasi cahaya lampu berwarna kuning. Hamparan langit biru gelap menemani mereka malam ini, memberikan rasa hangat yang luar biasa.

Saat ini mereka bertujuh tengah duduk berhadapan, hendak menyantap suap daging terakhir yang disajikan oleh Sebastian dan Tobias. Sedari tadi Vincent sudah membuka satu botol red wine, menuangkan isinya pada gelas masing-masing, termasuk milik Gregory. Pria yang duduk di sampingnya itu terlihat kekenyangan sambil memegangi perutnya dan menyandarkan tubuhnya pada kursi.

Vincent terkekeh dan menepuk bahu pria itu pelan, menggerakkan botol wine itu di depan wajah lelahnya. Gregory mengangguk sambil mengerjapkan matanya, mengucapkan terima kasih kemudian saat Vincent sudah mengisi setengah gelas winenya dengan minuman beralkohol itu.

Tak lama kemudian, ia pamit pada Gregory untuk turun dari rooftop. Ia hendak mengambil piringan hitam dan gramofonnya untuk menemani makan malam mereka. Sebastian dan Tobias masih sibuk memanggang daging diatas grill pan, sedang keempat temannya termasuk Gregory sedang membicarakan tempat wisata di kota Paris dan sekitarnya yang belum pernah mereka kunjungi.

Vincent lalu memilih beberapa koleksi musik jazz favoritnya yang tersimpan rapi pada lemari koleksinya, menghabiskan waktu sekitar lima menit di sana, lalu kembali ke rooftop dengan tergopoh-gopoh. Ia tidak tahu mengapa ia sama sekali tidak meminta bantuan temannya untuk membawa gramofon yang cukup berat. Bahkan ia mengapit beberapa koleksi piringan hitamnya di ketiak.

Saat Vincent sudah meletakkan alat pemutar piringan hitam miliknya itu diatas meja, ia lalu memilih salah satu koleksinya dan memutarnya. Setelah ia memastikan bahwa lagu pada piringan hitam itu terdengar, ia lantas mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah tempatnya duduk.

Ia melihat Gregory sedang bertopang dagu, memperhatikan kerlip lampu Menara Eiffel dari kejauhan dengan kedua mata bulatnya yang berbinar. Pria itu sudah melepaskan jaket jins yang tadi dikenakan, menyisakan turtleneck yang terbentuk mengikuti lekuk tubuhnya.

It's beautiful, isn't it, Gregory?” Vincent bertanya pada pria itu, sambil mengambil napkin berwarna putih yang diletakkan diatas kursinya tadi dan kembali duduk di sana.

Gregory terlihat terperanjat, sepertinya pria itu sedang larut dalam lamunannya sendiri. Ia lantas menoleh ke arahnya dan tersenyum simpul. “Yeah, it is, Vin. Gue baru tahu kalau dari apartemen lo, kita bisa melihat Menara Eiffel dari kejauhan seperti ini.”

Pria itu menumpu sikunya di meja, menggunakan telapak tangannya untuk menyanggah kepalanya. Surai hitamnya tertiup angin, menutup kedua mata bulatnya yang indah. “The owner didn't mention this spot on the website, no?”

Vincent menggeleng sambil tersenyum, mendengar samar-samar lagu jazz favoritnya tumpang-tindih dengan suara tawa teman-temannya. Ia lalu mengangkat tangannya, menyentuh rambut Gregory dan menyisirnya pelan dengan jemarinya.

Ia melakukannya berulang-ulang sambil menatap kedua mata bulat pria itu dengan teduh. “No, Gregory. Do you like it?” Vincent bertanya sambil jemarinya bergerak ke arah belakang telinga pria itu untuk menyelipkan rambutnya.

I love it, it looks so pretty. Kapan waktu, kita ke sana yuk, Vin?”

Ia mengangguk sambil mengusap kepala pria itu pelan dengan ibu jari tangannya. “Boleh, Gregory. I'd love to.”


Udara kota Paris malam ini cukup dingin, membuat Sebastian akhirnya mengusulkan untuk melanjutkan perbincangan di ruang tengah apartemen saja.

Sekitar satu jam lamanya mereka habiskan untuk membersihkan sisa makanan dan mencuci peralatan makan yang telah digunakan saat pesta barbekyu tadi. Bahkan Gregory sempat membantu Vincent saat memindahkan gramofon dan beberapa keping piringan hitam yang dibawanya ke rooftop tadi untuk dikembalikan di tempatnya semula.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat mereka akhirnya memutuskan untuk menyudahi acara malam ini. Vincent mengucapkan terima kasih dan tentunya, mengusulkan pada teman-temannya agar menjadikan kegiatan itu sebagai ritual rutin setiap bulan.

Timothy adalah orang pertama yang melonjak dari duduknya sambil menari-nari kegirangan saat mendengarnya mengusulkan ide itu. Sahabat Vincent itu sudah terlihat agak mabuk karena menghabiskan hampir tiga gelas wine dalam waktu yang singkat. Maximillian lalu berdiri, menarik tangan kekasihnya itu pelan dan mengajaknya untuk kembali ke kamar tamu.

Keduanya sudah meminta izin padanya dan Sebastian serta Tobias untuk menginap malam ini. Mereka bertiga tentu langsung mengiyakan, toh apartemen mereka menyediakan empat kamar tidur yang cukup besar untuk ditempati oleh teman-temannya itu. Sedangkan Warren sudah sedari tadi pamit untuk beristirahat di kamar lainnya. Teman baik Gregory itu sepertinya terlalu lelah karena sebelum acara makan malam, ia sempat latihan di studio dengan klubnya.

Tak lama, Sebastian dan Tobias pun pamit pada Vincent dan Gregory untuk kembali ke kamar mereka, hendak mandi lalu istirahat karena kelelahan sehabis memasak untuk tujuh orang malam ini. Vincent yang sedari tadi sedang duduk diatas sofa sambil memperhatikan Gregory, hanya mengangguk sambil mengacungkan ibu jari tangannya.

Gregory sedang berdiri di depan lemari berwarna hitam yang berisi koleksi piringan hitamnya. Raut wajah pria itu terlihat serius membaca setiap koleksi miliknya sambil mengernyitkan dahinya.

Melihat pria itu sedang lengah, maka Vincent lantas berdiri dari duduknya dan melangkah ke arah piano yang terletak persis di sebelah lemari koleksinya. Ia mengeluarkan handphonenya dari saku celananya dan meletakkannya diatas piano. Menarik bangku kecil yang berada dekat pianonya kemudian untuk duduk.

Ia lalu membuka penutup pianonya, menyentuh satu tuts yang mengeluarkan denting nada tinggi. Seketika aksinya barusan mencuri perhatian Gregory, hingga akhirnya pria itu menoleh ke arahnya.

Gregory menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum sumringah. Vincent pun melemparkan senyumnya pada pria itu, kedua tangannya sudah siap diatas deretan tuts untuk memainkan sebuah piece dari Emile Pandolfi yang sejak lama ingin ia mainkan untuk Gregory.

Vincent berharap pria itu akan menyukainya.

Maka ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, sebelum akhirnya ia memainkan nada indah itu dengan kedua tangannya, sambil tetap menatap Gregory lekat-lekat.

Ia sudah hafal piece itu diluar kepala, merasa tidak perlu lagi memperhatikan setiap gerak jari-jemarinya di sana.

Vincent melihat Gregory melangkah ke arahnya, lalu menyandarkan tubuhnya pada piano sambil melipat kedua tangannya didada. Pria itu tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya, kedua mata bulatnya terlihat mengerling.

Nada demi nada terdengar indah, bersamaan dengan jarinya yang memainkan lagu itu dengan lancar, tanpa cela sama sekali. Ia masih tetap menatap lekat-lekat sepasang mata indah dan bibir mungil itu bergantian. Vincent tidak dapat memalingkan pandangannya dari pria itu.

Akhirnya, ia bisa memainkan piece itu tanpa harus merekamnya dan mengirimkannya pada Gregory. Akhirnya ia memiliki waktu untuk memainkannya secara langsung dan mempersembahkannya untuk pria itu.

Is this for me?” Gregory bertanya sambil melangkahkan kakinya ke arah bangku yang sedang diduduki olehnya itu, memintanya untuk bergeser. Vincent lantas menggeser pantatnya dan mempersilahkan pria itu duduk di sampingnya.

Vincent merasakan tubuh mereka bersentuhan karena space bangku yang tidak terlalu panjang itu. “It is for you, yes, Gregory. Kamu suka?”

“Sangat suka, Vin. I feel like I'm about to cry. It's so beatiful. Apa judulnya?” Pria itu berbisik sambil menaruh kepalanya pada bahu Vincent yang masih memainkan piece itu lagi, mengulangnya dari awal.

So This Is Love. Emile Pandolfi's,” jawabnya sambil menumpukan kepalanya pada kepala pria itu. Posisi ini sebenarnya tidak terlalu nyaman, pergerakan tangan kanannya pada tuts piano sangat terbatas, namun Vincent tidak peduli.

Jika Gregory merasa nyaman duduk seperti ini, ia akan dengan senang hati melakukannya.

Momen seperti ini membuat dada Vincent berdegup lebih cepat dari biasanya, ia bisa merasakan hembusan napas hangat Gregory pada lengan kanannya.

Ia merasakan telapak tangan Gregory mengusap pelan lengannya turun naik, seiring jemarinya sendiri bergerak ke sana kemari memencet tuts pianonya.

Gregory lalu mengangkat kepalanya dan menoleh ke arahnya sambil tersenyum.

Jujur, Vincent sedikit panik saat ia mendengar pria itu mengeluarkan suara dari hidungnya seperti sedang menangis.

Ia lantas menghentikan gerakan jarinya saat melihat sepasang mata bulat pria itu berair. Ia dengan sigap mengangkat tangan kirinya untuk mengusap mata pria itu. Ia tidak bisa menahan nada khawatirnya saat bertanya pada pria itu.

“Ada apa, Gregory? Why are you crying? Does this piece remind you with something? Mon dieu, I'm sorry okay I will sto—

Pertanyaan demi pertanyaan yang bertubi-tubi ia ucapkan seketika berhenti keluar dari mulutnya saat ia merasakan dua kecupan mendarat dibahunya. Walaupun Vincent saat ini mengenakan pakaian yang cukup tebal, namun ia dapat merasakan betapa hangat bibir pria itu saat mengecup bahunya.

Gregory lalu meletakkan dagunya pada bahunya, menatap matanya lekat-lekat sambil berbisik. “This is happy tears, Vin. Thank you so much.”

Ia hanya dapat menghela napas pelan sambil tersenyum, merasakan hangatnya napas mereka melebur jadi satu. Vincent lalu mengangkat tangannya dan menyentuh pelan hidung pria itu dengan jari telunjuknya.

Ah, I'm glad, Gregory.”

I like you.

Vincent rasanya ingin sekali mengatakan tiga kata itu secara lantang, menyampaikan perasaannya pada Gregory saat ini juga. Namun ia tidak ingin merusak suasana. Ia merasa, lebih baik ia urungkan niatnya itu.

Ia tidak tahu apa yang sebenarnya pria itu rasakan. Sampai saat ini Vincent belum mampu membedakan apa keistimewaan dirinya sendiri dengan orang-orang terdekat Gregory.

Mungkin suatu hari nanti, ia akan berani mengatakannya secara langsung pada pria itu, saat dirinya benar-benar mantap dan merasa yakin bahwa Gregory merasakan hal yang sama.

Entah kapan, namun Vincent tahu, ia akan bersedia menunggu.