the last baton | 172
Sebastian menawarkan diri untuk menyetir dari apartemen mereka sampai ke Les Disquaires, sebuah bar yang terletak di daerah Rue des Taillandiers. Perjalanan seharusnya hanya ditempuh dalam waktu lima belas menit dengan menggunakan mobil, dan jika lalu lintas lancar.
Pria yang lebih tua dua tahun dari Vincent itu merasa kasihan karena sang konduktor orkestra terlihat lelah sehabis melakukan latihan orkestra dengan klubnya selama lima jam. Vincent lantas mengiyakan tawaran temannya itu, karena ia merasa butuh untuk menggunakan waktu dalam perjalanan untuk memejamkan matanya dan beristirahat.
Sebenarnya, Vincent berniat untuk beristirahat dahulu sebelum mereka pergi. Namun niatnya itu terpaksa harus ia urungkan, lantaran latihan hari ini berlangsung lebih lama dari biasanya. Banyak sekali hal yang harus diurus dan dibenahi oleh Vincent siang tadi, yang menyebabkan dirinya harus mampir ke beberapa tempat sebelum akhirnya pulang ke apartemennya.
Ia pun tidak mengerti akan keputusannya bepergian menggunakan metro hari ini, padahal bawaannya hari ini cukup banyak; tas biola dan tas jinjingnya berisi baton stick dan puluhan lembar partitur untuk digunakan saat latihan hari ini.
Vincent hanya bisa merutuki dirinya sendiri hari ini. Rencananya dari pagi hingga sore ini sudah cukup membuatnya hampir naik darah, ia tidak ingin mengacaukan rencana besarnya hari ini untuk hadir saat Gregory bekerja.
Selama perjalanan menuju Les Disquaires, lalu lintas terlihat cukup lancar, tidak sepadat biasanya. Tobias duduk di samping Sebastian yang sedang mengemudi, mengobrolkan segala macam hal yang menurut Vincent tidak menarik.
Atau sebenarnya bukan tidak menarik, hanya saja, ia sedang fokus memikirkan hal lain?
Sepertinya benar. Ia sama sekali tidak mendengarkan, bahkan ikut menimpali pembicaraan kedua temannya itu, karena ia sedang memikirkan hal lain.
Entah mengapa, Vincent merasakan dadanya berdegup dua kali lebih cepat, dan ajaibnya, benar-benar mengalahkan rasa kantuk dan lelah yang sedari tadi seperti menggelayut pada kedua matanya dan seluruh tubuhnya.
Rasa itu perlahan menggerayangi dadanya sejak ia membuka pintu mobil Sebastian dan duduk pada sisi kanan belakang kursi penumpang. Vincent sempat berpikir, tidak mungkin rasa itu muncul hanya karena dirinya sebentar lagi akan bertemu dengan Gregory dan untuk pertama kalinya, akan mendengar pria itu bernyanyi, 'kan?
Tidak mungkin, yang benar saja.
Maka dengan cepat ia memasang earbuds pada kedua telinganya, sambil tangannya mengambil handphone yang sedari tadi ia letakkan disampingnya. Vincent lalu mencari instrumen musik klasik yang ada didalam handphonenya, yang biasanya ia dengarkan saat merasa gugup.
Mungkin aksi diam Vincent membuat Sebastian dan Tobias bertanya-tanya. Ia akhirnya menangkap dengan ekor matanya, Sebastian sedang menatapnya lewat kaca spion tengah. Ia hanya membalas dengan menyunggingkan senyum tipis, lalu membetulkan letak kacamatanya dengan ujung jarinya dan kembali menolehkan kepalanya ke arah jendela, menikmati lalu lintas kota Paris yang ramai lancar.
Ia berharap, rasa gugupnya akan hilang dengan sendirinya, seiring dengan instrumen musik klasik favoritnya yang mulai melantun lembut pada kedua telinganya.
Vincent merasa beruntung mengenakan pakaian yang tepat malam ini; turtleneck berwarna putih gading dan coat coklat muda berbahan suede miliknya. Ia tidak menyangka akan disambut dengan dinginnya angin malam yang berhembus cukup kencang dan menusuk tulangnya saat melangkahkan kakinya keluar dari mobil.
Ia merasakan bulu kuduknya meremang, memperparah rasa gugup yang sejak tadi membuatnya tidak nyaman, seperti ada firasat bahwa sesuatu akan terjadi sebentar lagi. Instrumen musik klasik yang ia dengarkan selama lima belas menit perjalanan ternyata tidak memberikan efek yang signifikan.
Ia lalu menghela napas, sambil memasukkan kedua tangannya pada saku coatnya.
Sepertinya udara dingin malam ini tidak mengurungkan niat orang-orang yang terlihat berkumpul di sepanjang jalan kecil Rue des Taillandiers. Suasana di beberapa toko dan restoran tergolong cukup ramai; Vincent dan kedua temannya harus ekstra hati-hati dengan barang bawaan mereka saat melawan arus lalu lalang orang yang memenuhi gang itu.
Tak membutuhkan waktu lama hingga akhirnya mereka sampai di depan bar Les Disquaires yang terlihat ramai. Tidak terlihat lagi sofa dan bar stool berwarna turquoise yang biasanya kosong saat siang hari dari luar. Sebaliknya, Vincent sudah melihat kumpulan orang sudah memenuhi bar itu hingga sesak, seperti tidak ada lagi area kosong untuk mereka berdiri dan bersantai sambil menonton Gregory tampil sebentar lagi.
Seketika terlintas pertanyaan dalam kepala Vincent. Apakah ini benar-benar tempat Gregory bekerja? Apakah pria itu harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dari Rue de Meuniers sampai tempat ini dengan menggunakan metro, setiap hari? Belum lagi jika pria itu harus pulang larut malam sambil membawa gitar dan tas ranselnya yang berisi banyak barang.
Vincent lalu menghela napas berat dan menggelengkan kepala, tidak ingin membiarkan pikiran dan rasa khawatir yang berlebihan memenuhi kepalanya dan membuatnya menjadi memikirkan hal-hal yang negatif.
Ia tidak sadar sedang melamun saat dikagetkan dengan suara Tobias yang sedikit berteriak, memanggilnya dan Sebastian. “Bas, Vin, kalian masuk duluan, ya. Gue mau ambil jaket dimobil. Dingin banget, gue takut masuk angin.” Tobias berkata sambil menjulurkan tangannya pada Sebastian, bermaksud meminta kunci mobil mereka yang dipegang oleh kekasihnya itu.
Vincent lalu melepaskan coatnya karena merasa tidak memerlukannya saat mereka masuk ke dalam bar, dan menyampirkan coatnya pada lengan kirinya.
“I don't think you need your jacket,” balas Vincent santai, lalu menunjukkan senyum tipisnya. “Di dalam sepertinya akan penuh sekali? Gue juga ingin lihat Gregory perform dari dekat. Jadi sepertinya kita benar-benar akan masuk ke dalam dan akan kegerahan.”
Mendengar Vincent berkata demikian, Sebastian akhirnya mengalihkan pandangan matanya ke arah bar yang terlihat sudah penuh dari luar. Kedua matanya mengerjap, sambil memasukkan kunci mobilnya lagi pada kantong bagian dalam jaket kulit hitam yang ia kenakan.
“Ah, iya tuh, Bi, kelihatan sudah sumpek. Menurutku juga nggak perlu ambil jaket,” kata Sebastian sambil menunjuk ke arah bar dengan memajukan dagunya.
Tobias lantas menggumam, menangkap maksud kedua temannya dan akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran mereka. “Oh, alright, then.”
Mereka bertiga akhirnya memasuki Les Disquaires dan disambut dengan suara musik slow yang tidak memekakkan telinga. Cahaya dalam ruangan sudah temaram, menyesuaikan suasana bar malam itu.
Vincent lantas melangkahkan kakinya cepat, mengekor di belakang kedua temannya yang sudah masuk lebih dulu. Ia mengedarkan pandangan matanya, terlihat area sofa dan kursi sudah penuh terisi oleh orang. Luas ruangan yang sepertinya berkisar sepuluh kali sepuluh meter itu menjadi terlihat lebih sempit. Ia melihat beberapa pajangan piringan hitam polos yang tergantung pada dinding ruangan yang berwarna turquoise itu.
Beberapa dari pengunjung di ruangan itu ada yang berdiri sambil menari, diiringi background music yang Vincent yakin betul diputar oleh seorang DJ. Sedang pengunjung lainnya sudah menduduki kursi dan sofa yang tersedia sambil menikmati minuman dan makanan ringan yang mereka pesan.
Setelah berhasil menerobos beberapa orang yang sedang menikmati alunan musik, ia melihat di sisi kiri ruangan terdapat sepasang beer tap yang terletak diatas bar island. Drink corner itu terlihat kosong, tidak ada seorangpun yang berjaga di sana.
Di mana kah Gregory berada?
Sesaat, ia merasakan indra penciumannya disambut dengan bau asap rokok yang sedikit menyengat, membuatnya refleks menggosok hidungnya dengan punggung tangannya. Vincent tidak membenci bau asap rokok, tidak. Ia hanya terkadang merasa hidungnya gatal setiap kali mencium bau yang ia tahu akan sangat mudah menempel pada seluruh tubuh dan pakaiannya.
Ia benar-benar harus segera mandi dan keramas lagi malam nanti.
Vincent tidak sadar bahwa kedua temannya sudah meninggalkannya, melangkah menjauh dari ruangan itu dan masuk ke ruangan lain. Maka ia menyusul dengan berlari-lari kecil sambil memicingkan matanya. Pencahayaan yang minim membuatnya sedikit kehilangan fokus, beberapa kali ia harus membenahi letak kacamatanya untuk melihat apa dan siapa yang ada di hadapannya.
Ia akhirnya masuk ke ruangan utama, tempat di mana para penyanyi akan menghibur para pengunjung selama satu jam penuh bergantian. Gregory sempat memberitahu Vincent bahwa malam ini adalah giliran penyanyi jazz dan r&b yang akan “manggung”. Ruangan itu terlihat jauh lebih sempit dari ruangan sebelumnya. Cahaya pun terlihat lebih gelap, hanya ada beberapa lampu sorot warna-warni yang tertanam dalam lantai podium sebagai sumber penerangan.
Ia lantas mencari sosok Gregory diantara staf yang sedari tadi terlihat mondar-mandir sambil membawa makanan dan minuman dengan nampan. Sebaliknya, sepasang matanya menangkap sosok Sebastian dan Tobias yang terlihat sudah duduk diatas bar stool, sepertinya sedang memesan minuman untuk mereka berdua.
Vincent lalu menyugar rambutnya yang sudah panjang dan hampir menutupi matanya.
Panas sekali di sini. Sial, sepertinya salah memilih mengenakan turtleneck malam ini, umpatnya.
Ia lalu merogoh saku celananya untuk mengambil handphonenya dan mencoba menghubungi Gregory, sambil tangan kirinya tetap memegang coatnya.
Ia hendak mencari kontak Gregory pada layar saat ia mendengar suara seseorang memanggilnya dari belakang. Suara yang ia hafal betul siapa pemiliknya.
“Vin!”
Vincent lantas menolehkan kepalanya ke arah sumber suara, dan membalikkan tubuhnya. Ia tersenyum lebar, saat melihat sosok Gregory dengan surai hitamnya yang basah—entah karena keringat atau belum dikeringkan sehabis keramas—melambaikan tangannya dan menghampirinya.
Pria itu pun terlihat mengenakan jaket berwarna hitam yang sepertinya kebesaran, dengan celana jins senada, terlihat sangat pas memeluk kedua kakinya yang jenjang. Kedua matanya mengerling, senyumnya lebar menunjukkan gigi kelincinya. Pun pipinya terlihat menggendut karena tersenyum, membuat Vincent lantas terenyuh melihatnya.
Sepertinya pria yang sekarang sudah berdiri di hadapannya itu sedang senang saat ini. Vincent pun memanjatkan syukur pada Tuhan dalam hati.
“Bonsoir, Gregory,” sapa Vincent ramah sambil mengulurkan tangannya dan menepuk bahu pria itu.
Ia benar-benar tidak sadar bahwa baru saja, gesturnya terlihat hendak menarik tubuh Gregory untuk memeluknya.
Damn, I almost tried to hug him, umpat Vincent dalam hati.
Gregory sepertinya tidak sadar akan apa yang baru saja dilakukan oleh Vincent. Pria itu malah tersenyum lebar sambil menepuk lengan Vincent. “Hai. Gue kira lo nggak jadi datang. Dua puluh menit lagi gue mulai nyanyi.” Gregory membalas sapaannya, sambil mengusap pelan lengan Vincent yang terlihat sedang menatapnya.
Vincent tersenyum, mengangkat tangannya untuk membalas Gregory dengan mengusap lengan pria itu. “I'm sorry. Saya tidak terlambat, kan?”
Pria itu hanya menggeleng sambil tertawa. Beberapa anting yang Gregory kenakan pada kedua telinganya, bergerak ke sana kemari, mengikuti gerakan kepalanya. “Nope, actually, you're early.”
Ia menanggapi Gregory dengan menggumam sambil menatap kedua mata bulat pria itu dengan teduh. “You look happy today, I'm glad, Gregory.”
Keduanya seperti tenggelam dalam suasana. Mereka tidak menyadari bahwa sedari tadi Tobias dan Sebastian yang duduk tidak jauh dari tempat Vincent dan Gregory berdiri, sudah berdecak kagum melihat dua pria itu sedang beradu tatap.
“Of course I am happy, Vincent. Because you're here. That's why.”
Mendengarnya, Vincent hanya bisa membelalakan kedua manik hazelnya sambil tersenyum kikuk. Ia memperlihatkan sederet giginya yang putih dari balik bibirnya yang kering. Dadanya terasa berdegup dua kali lebih cepat, persis seperti saat dirinya masih dalam perjalanan tadi.
“Wow, okay?” Hanya itu yang dapat keluar dari mulut Vincent.
Gregory hanya memutar kedua bola matanya sambil mendengus, berusaha menyembunyikan senyumnya yang lebar. Kedua pipi dan telinganya terlihat memerah karena malu. “Memangnya hanya lo doang yang bisa make a bold move? Like you did days ago.”
“Gregory...” desis Vincent sambil menghela napas berat, berusaha protes karena pria yang lebih muda dua tahun darinya itu terdengar akan membahas kejadian beberapa hari lalu. Pria itu tidak tahu, dan sepertinya tidak akan pernah tahu, bahwa aksi yang Vincent lakukan itu sempat membuat wajahnya sendiri merah padam setelahnya.
“Sorry, Vin! I'm kidding!”
“Bonsoir. First of all, thank you so much for coming here. Let's have some fun, shall we?”
Gregory menyapa pengunjung Les Disquaires malam ini yang terlihat sudah memenuhi ruangan utama. Sapaannya dibalas dengan sorak-sorai serentak oleh pengunjung bar, tidak terkecuali Timothy. Sahabat Vincent itu bersorak menanggapi kata-kata Gregory layaknya sedang menonton konser akbar. Beruntung suaranya yang cukup keras itu dikalahkan dengan suara orang yang sedang duduk di ruangan itu. Mereka sepertinya adalah tamu bar reguler yang sudah pernah menonton Gregory beberapa kali.
Sebastian dan Tobias terlihat sedang mengobrol dengan Warren, entah membicarakan apa. Sepertinya mereka bertiga sudah terlalu fokus dan serius, sehingga tidak membalas sapaan Gregory yang suaranya cukup keras itu. Timothy dan Maximillian sedari tadi sibuk mengambil swafoto sambil melakukan beberapa gaya aneh, yang membuat Vincent hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Sedangkan Vincent? Ia sedari tadi menyandarkan tubuhnya pada tembok dekat ia dan teman-temannya berdiri. Ia memperhatikan setiap gerak gerik Gregory saat mempersiapkan dirinya diatas undakan podium yang tidak terlalu tinggi itu. Seringkali pria itu melirik ke arahnya, mungkin menganggap Vincent sedang melihat ke arah lain.
Namun tidak, kedua mata mereka seakan medan magnet yang menarik satu sama lain. Vincent hanya tersenyum simpul dan menaikkan alisnya sebelah setiap kali manik hazelnya bersirobok dengan mata bulat pria itu.
Vincent sadar betul, sejak beberapa hari lalu ia memberanikan diri mengikuti arahan Tobias untuk meminta foto Gregory, dirinya lebih “berani” dari biasanya. Entah mengapa, ia sesekali bertukar pesan dengan Gregory dengan melontarkan kata-kata yang membuat pria itu membutuhkan waktu lama untuk memikirkan tanggapan apa yang harus ia berikan pada Vincent.
Ia merasakan dirinya benar-benar kelepasan; layaknya kendaraan bermotor yang remnya sudah tidak berfungsi dan layaknya iringan orkestra tanpa seorang konduktor.
Ia sempat menceritakan semua kejadian itu pada Timothy, yang membuat sahabatnya itu akhirnya mematikan sambungan telepon secara sepihak, dan tak lama kemudian tiba di apartemen Vincent sambil berteriak, memekik kegirangan.
Timothy saat itu mengatakan padanya, bahwa semua hal yang dilakukan oleh Vincent adalah tanda dirinya sedang merasakan fase awal jatuh cinta.
Vincent buru-buru mengelak sambil menggelengkan kepalanya, merasa bahwa dirinya hanya berusaha bersikap baik dan ingin membuat Gregory merasa nyaman saat dengannya.
Namun, apa benar? Mana mungkin ia bisa jatuh cinta begitu cepat dengan Gregory?
Tidak mungkin, 'kan? Bukankah mereka berdua hanya berteman?
Namun jika benar, apakah pria itu juga merasakan hal yang sama?
Ia tidak bisa berhenti memandangi Gregory dari balik kacamata bulatnya; dengan seksama memperhatikan raut wajah pria itu saat sedang serius, saat pria itu sedang mengatur tinggi tiang mikrofon untuknya bernyanyi, bahkan saat pria itu sedang fokus memutar alat pemutar pada kepala gitar, sambil sesekali mengencangkan dan memetik senar persis dilubang suara alat musik itu.
Vincent tidak sadar bahwa dirinya sudah melamun sedari tadi karena memikirkan kejadian beberapa hari lalu, saat tiba-tiba ia mendengar suara petikan gitar dari atas podium. Ia lantas mengerjapkan matanya, memfokuskan pandangannya pada Gregory, yang terlihat sedang menunduk.
Pria itu duduk tegak diatas kursi yang cukup tinggi, sambil memeluk gitarnya dan mulai memainkan instrumen sebuah lagu yang belum pernah Vincent dengar sebelumnya.
Don't worry if we fall in love We will never touch the ground Just fall into a dream
Vincent rasanya baru saja disiram dengan seember air dingin, tepat diatas kepalanya. Merasakan sekujur tubuhnya kaku, lidahnya kelu, kedua matanya tak bisa berkedip, mendengarkan suara Gregory yang lembut seperti butter yang meleleh karena panas.
Oh, mon Dieu, his voice!
Di atas podium itu, Gregory terlihat memejamkan kedua matanya, menghayati setiap petikan jarinya pada senar gitar yang sedang dipeluknya. Instrumen yang tidak pernah Vincent dengar sebelumnya rasanya terdengar indah, karena Gregory yang memainkannya.
They say If you live in a dream You're hopelessly lost Well, this ain't just any old dream For our paths have crossed And I may be hopelessly lost But somehow I've managed to find heaven
Pria itu akhirnya membuka kedua mata bulatnya perlahan dan menatap manik hazelnya lekat. Kedua matanya menatap Vincent sendu, sambil bibirnya bergerak, menyanyikan syair lagu yang ia bawakan tanpa melihat secarik kertas pun.
Gregory seperti sedang menceritakan sesuatu hanya padanya.
Ya, hanya pada Vincent.
Apakah... pria itu menyukainya...
...juga?