the last baton | 257
⚠️ cw // harsh words, coping mechanism, mention of stalking behavior, financial problems, insecurities ⚠️ tw // implied anxiety attack
Vincent meletakkan handphonenya asal pada stand partitur yang ada di hadapannya. Ia menggelengkan kepalanya tidak percaya, cukup heran dengan dirinya sendiri saat ini. Ia mengulum senyumnya kemudian, menarik napas panjang. Ia lalu menyandarkan tubuhnya pada sofa, berusaha mengatur ritme detak jantungnya yang saat ini berdegup dua kali lebih cepat.
Gregory baru saja memuji permainan biolanya. Sesederhana itu, namun cukup membuat sekujur tubuhnya seperti mati rasa sepersekian detik. Ia sama sekali tidak tahu, bahwa pria yang sedang tidur di kamarnya itu diam-diam sedang mendengar dirinya memainkan salah satu piece favoritnya di ruang tengah.
Ia bingung akan perasaannya sendiri. Vincent tidak pernah bereaksi seperti ini saat teman-temannya yang memuji dirinya. Biasanya ia hanya menyunggingkan senyum dan mengucapkan terima kasih, bahkan saat Timothy, sahabatnya sendiri, yang melakukannya.
Hanya itu responnya, tidak lebih. Namun mengapa hal itu terasa berbeda saat Gregory yang melakukannya? Ia merasa ada seseorang yang sedang menabuh drum dalam dadanya saat membaca respon pria itu. Padahal Vincent memainkan biolanya hanya untuk menghibur dirinya sendiri, bukan untuk mempersembahkannya pada orang lain.
Ia menarik napas, membetulkan letak kacamatanya saat mengetik pesan balasan pada pria itu untuk mengucapkan terima kasih. Vincent pun mengakhiri kalimatnya dengan menambahkan sebuah kata, yang menurut dirinya benar-benar menggambarkan sosok Gregory.
Vincent menggigit bibirnya dan tersenyum, menegakkan tubuhnya kembali sambil menunggu respon Gregory. Ia ingin tahu reaksi pria yang lebih muda dua tahun darinya itu saat membaca pesannya.
Tidak membutuhkan waktu lama sampai akhirnya Vincent menolehkan kepalanya ke arah kamar tidurnya, mendengar suara seorang pria sedang mengerang keras. Ia lantas tersenyum lebar.
Apakah Gregory menyukai panggilan darinya itu? Apakah ia harus melakukannya lagi, untuk ya, setidaknya membuat suasana hati pria itu menjadi lebih baik hari ini?
Ia memutuskan untuk menyudahi permainan biolanya, membereskan alat musik itu dan bownya, lalu memasukkannya kedalam tas, saat ia mendengar pintu kamarnya terbuka. Vincent lalu mengangkat kepalanya, ia dan Gregory bertemu mata. Seketika ia merasakan sekujur tubuhnya seperti tersetrum gelombang aneh.
Gregory melangkah ke arahnya dengan tersenyum kikuk. Pria itu terlihat mengenakan kaos berwarna abu tanpa lengan, surai hitamnya basah sehabis keramas; menetes, membuat kaos bagian bahunya itu terlihat basah. Aroma tubuh pria dan wangi sabun cair milik Vincent melebur jadi satu, menyapa indra penciuman Vincent.
Ia merasa mabuk karenanya.
“Hei, Vin,” sapa pria itu sambil mengacak-acak rambutnya sendiri yang masih terlihat basah dengan tangan kanannya.
Sepasang mata Vincent menyorot tajam saat melihat Gregory mengangkat tangannya, membuat deretan tato pada lengan kanannya terlihat jelas.
Okay, he doesn't know Gregory would be this hot and gorgeous after showering? Manik hazelnya memperhatikan gerak gerik Gregory, sambil terus memperhatikan beberapa tato pada lengan kanan pria itu. The tattoos are so sexy and unique, so beautiful I really want to trace my index finger there—
“—llo? Earth to Vincent?”
Merde.
Ia mengerjapkan kedua matanya saat mendengar Gregory memanggilnya lagi. Vincent tidak sadar bahwa dirinya tadi sempat melamun.
Oh mon Dieu, apakah barusan dirinya terlihat seperti orang aneh?
“Ya?”
Ia menggerakkan matanya dan menatap mata bulat Gregory. Pria itu menyunggingkan senyum lebar sambil mengangkat satu alisnya, memiringkan kepalanya dan mengulum senyumnya.
Sial, sepertinya Gregory tahu apa yang sedang Vincent lakukan.
“What's wrong, Vin? Kok lo bengong begitu?”
Mendengar pertanyaan retoris itu, ia hanya bisa mendengus sambil menggelengkan kepalanya. “Nothing, Gregory,” jawabnya singkat sambil menarik kursi makan di hadapannya. “Ayo duduk, saya sudah pesan makan siang untuk kita berdua.”
Vincent menangkap sosok Gregory sedang memicingkan kedua matanya dengan ekor matanya. Sepertinya pria itu sedang berusaha mengetahui apa yang sedang ia pikirkan. Mereka berdua masih berdiri bersisian, Vincent masih sibuk dengan pikirannya sendiri, namun ia sama sekali tidak tahu apa yang sedang Gregory pikirkan.
“Lo benar-benar payah dalam hal berbohong, Vin,” balas pria itu terkekeh sambil menarik kursi tepat di sampingnya dan akhirnya duduk. Vincent pun mengikuti, mendaratkan pantatnya pada kursi itu sambil memutar kedua bola matanya.
Saat keduanya sudah duduk dengan nyaman, ia merasakan posisi tubuh Gregory menjadi lebih dekat. Pria itu mencondongkan tubuhnya ke arahnya sambil bertopang dagu dan tersenyum lebar.
Vincent lantas melepas kacamatanya dan meletakkan benda itu di sisi kirinya. Ia lalu menumpukan kedua sikunya diatas meja dan melirik ke arah pria itu. Ia berdeham, mencondongkan tubuhnya ke arah Gregory kemudian sambil menatap sepasang mata bulat pria itu lekat.
“Oh, really? Beau?” Vincent berbisik menekankan kata itu, mengikis jarak diantara mereka dengan mendekatkan wajahnya. Vincent dapat merasakan hangatnya napas pria itu, pun ia mencium aroma pasta gigi miliknya. Manik hazelnya menatap kedua mata dan bibir mungil pria itu bergantian. “Do you think I suck at lying, Gregory?”
Gregory membelalakkan kedua matanya. Pria itu bergeming, diam seribu bahasa dan tidak mengeluarkan sepatah katapun. Vincent lantas menyunggingkan senyum penuh kemenangan saat melihat pria itu menggigit bibir bawahnya.
“Uh, okay,” balas pria itu singkat sambil menarik tubuhnya. Ia melihat kedua pipi dan telinga Gregory memerah. “But yeah, I think you really suck at lying, Vin,” sambungnya sambil menyeringai.
Vincent tersenyum sambil menganjurkan tangannya. Jarinya menyisir rambut Gregory yang menutupi mata bulatnya, menyelipkannya dibelakang telinga pria itu kemudian.
Gestur favoritnya setiap kali sedang bersama dengan Gregory.
“You know what? I think I do. Beau.”
“Vin, apa gue boleh cerita tentang sesuatu?”
Ia mendengar Gregory berbicara, pria itu saat ini duduk bersila menghadap ke arahnya sambil memeluk sebuah bantal miliknya. Saat ini, mereka berdua sudah duduk santai pada sofa yang berdekatan dengan jendela apartemen Vincent. Keduanya cukup kelelahan setelah selesai makan siang dan membereskan sisa makanan di dapur. Masing-masing dari mereka pun sibuk dengan tugasnya; Gregory membersihkan meja makan dan Vincent mencuci piring serta alat makan yang telah dipakai. Setelahnya, Gregory memasukkannya pada mesin pengering dan menyetelnya. Ia sempat memberitahu pria itu bagaimana cara mengoperasikannya.
Vincent lantas menolehkan kepalanya ke samping sambil mengernyitkan dahinya. Ia lalu menganjurkan tangannya, menggunakan ibu jarinya untuk menyentuh lengan Gregory dan mengusapnya dengan lembut.
Jujur, ia memiliki firasat sejak tadi malam bahwa Gregory sedang tidak baik-baik saja. Seumur hidupnya, Vincent tidak pernah secepat itu berlari ke arah garasi apartemen dan menghampiri mobil warna hitamnya untuk menjemput seseorang.
Pesan singkat dari Gregory sempat membuatnya panik dan sedikit gegabah saat menyetir. Ia hanya ingin mengejar waktu dan bertemu dengan pria itu secepatnya.
Vincent pun sudah merasakan keanehan sejak Gregory membalas pesannya dengan ketus. Perutnya mulas dan kepalanya seketika pusing saat membaca pesan pria itu: “tolong jemput saya sekarang di stasiun Daumesnil.”
Ia hanya ingin tahu apa alasan pria itu meminta dirinya untuk menjemputnya pada tengah malam, dan lokasi stasiun itu sangat dekat dengan letak apartemennya yang berada di daerah Rue de Meuniers.
Apakah Gregory sedang sakit? Atau, apakah ada orang yang mengganggunya saat perjalanan pulang menuju apartemennya? Memikirkan dua hal itu saja sudah membuat rahangnya mengeras. Ia mengepalkan tangannya dan memukul klakson mobilnya, meminta kendaraan yang ada di depannya untuk menyingkir.
Ia tahu bahwa tidak etis jika membunyikan klakson saat berkendara pada malam hari. Namun apa lagi yang dapat ia lakukan selain itu?
Sebenarnya, ia ingin sekali bertanya pada Gregory. Namun setelah dipikirkan, ia urungkan keinginannya itu. Pria itu terlihat tertidur pulas di sampingnya, tak lama setelah Vincent melajukan mobilnya dari stasiun Daumesnil kembali menuju ke apartemennya di daerah Rue de la Ferronnerie.
Ia pun tidak ingin memaksa Gregory sama sekali. Mungkin pria akan menceritakan apa yang terjadi padanya semalam kalau sudah merasa siap.
Mungkin juga tidak.
Vincent hanya ingin menunjukkan pada pria itu bahwa ia peduli dan akan selalu ada disampingnya kapanpun.
Ya, kapanpun.
“Tentu saja boleh, Gregory. Are you okay?” Vincent bertanya pada pria itu dengan nada lembut, masih mengusap lengannya pelan. Raut wajah Gregory saat ini terlihat lelah dan bingung, ia tidak dapat membedakan keduanya. “Kamu mau duduk di sini atau mau pindah ke kamar saya?”
Gregory tersenyum simpul sambil menganggukan kepalanya. “I'm fine, Vin, thanks to you,” kata pria itu lirih. “Di sini saja, nggak apa ya?” Gregory melanjutkan, mata bulatnya menatap Vincent sambil menggigit-gigit kuku ibu jarinya. “Cerita gue bakal lumayan panjang. Nggak apa?”
“I'm all yours today,” jawab Vincent mantap sambil mencolek dagu pria itu. Gregory tersenyum lalu mengangkat tangan kanannya untuk memegang pergelangan tangannya. Pria itu memain-mainkan ikat rambutnya dengan ibu jari dan jari telunjuknya. Vincent pun hanya melirik ke arah Gregory sambil bertanya. “But, do I really deserve to know?”
Pria itu berdecak. “Of course you do, setelah kemarin gue minta tolong lo untuk jemput gue di dekat apartemen, Vin,” mulainya lalu menggumam. “I think you deserve to know the behind story so you can back off or leave me while you still can.”
Back off and leave him? Apa maksud pria itu?
Vincent menarik tangannya sendiri dari genggaman Gregory, lalu meraih tangan pria itu kemudian. Ia mengusap telapak tangan pria yang duduk di hadapannya itu dengan ibu jarinya. “Jangan pernah menceritakan apapun pada orang lain kalau kamu tidak yakin,” kata Vincent tegas. “And I just want you to know that it's your life, okay? I don't want to know anything I shouldn't.”
Gregory mengangguk tanda mengerti. Pria itu terlihat memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ibu jari Vincent masih tetap mengusap telapak tangan pria itu.
“Gue dulu benar-benar terhimpit saat pertama kali memutuskan untuk keluar dari kuliah magister gue, Vin. I had no one and no money, gue merasa kasihan dengan diri gue sendiri. Modal gue adalah skill, that's it.” Pria itu memulai ceritanya. Dahinya mengernyit dan Vincent mendengar pria itu meringis, seperti tidak ingin mengingat lagi memori yang akan ia beberkan padanya.
“Kuliah nggak selesai, nasib tidak baik sama sekali. Until that night, I met Hosea at a bar, di sekitar Rue de la Huchette. Bar nya biasa saja, gue di sana tujuannya hanya untuk minum, I just wanted to be wasted and pity myself.” Gregory mendengus, mendongakkan kepalanya. Ia melihat mata bulat pria itu berair.
Vincent memberanikan diri untuk bertanya, entahlah, mencoba mencairkan suasana yang kikuk dan tegang? “Hosea? “As in Warren Hosea?”
“Yeah, Vin, the one and only,” katanya sambil tersenyum, menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa. “Gue pikir, ah, dengan ilmu yang pas-pasan seperti ini, gue mau cari kerja di mana? So I went there, felt like I needed to let it all out. Gue stres, gue merasa sendirian. Tapi, mungkin Tuhan nggak ingin lihat gue mengasihani diri sendiri, ya? Because somehow, I met Hosea there, waktu gue lagi mau pesan botol kedua.
“Dia ada di sana dengan teman-temannya, not Timmy, though. Kita ngobrol santai di bar, lalu sampailah saat di mana gue tahu kalau dia juga dari Indonesia. He's a dancer, a singer, AND a vlogger. Gue waktu itu kayak, wah keren banget orang ini. And the rest with him is history.”
Vincent berusaha untuk tidak mengernyitkan dahinya. Sejujurnya, ia belum begitu memahami arah pembicaraan ini. “Okay... and then?”
“And then I met someone a year after, at the same club. Ternyata dia teman satu klub musiknya Hosea, sering nge-gig juga di bar itu,” jelas Gregory sambil menghela napas berat. Pria itu menutup kedua matanya dengan telapak tangannya. “Akhirnya, kita berteman.”
Vincent menggumam sambil mengangguk. Seketika sebuah pertanyaan terbesit dalam kepalanya. Ia terdiam sambil berpikir, berusaha mengatur kalimatnya agar tidak terdengar menuduh. “Were they nice?”
“Bisa dibilang begitu. Awalnya,” jawab pria itu sambil mendengus. “Sampai akhirnya gue dan pria ini berteman. He was so nice, he offered me to perform there, go show. Gue akhirnya nyanyi, Vin. Gratis aja, toh waktu itu gue masih menganggur. Hanya freelance fotografi, pasang iklan murah di Instagram, thank God selalu ada aja. But I couldn't depend on it forever, right?”
Ia mengangguk. “Yeah, I get your point, Gregory.”
“Lalu ya, akhirnya dia minta gue untuk bergabung diklub musiknya, diminta jadi vokalis,” katanya sambil tersenyum getir. “And of course, gue langsung mengiyakan saat itu, well because he said I would get paid more than he did.” Gregory menghentikan kalimatnya sebentar, mengambil napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. “Orientasi gue waktu itu adalah, bagaimana caranya gue dapat uang lagi untuk menyambung hidup. Because man, I struggled a lot. Orang tua gue seperti menelantarkan gue di Paris. Sejak mereka “membuang” gue di sini, they never called or even sent me any text. Never.”
Vincent masih mengusap pelan puncak kepala pria itu, masih bingung akan apa yang harus ia lakukan untuk menanggapi cerita Gregory. “Gue pun sudah mencoba menghubungi mereka, tapi nihil, Vin. It's like they didn't want me to reach them?”
Mendengar statement pria itu, ia lantas menanggapi dengan nada tegas. “Gregory, don't say that.”
“But it's the truth, Vin. Gue lama kelamaan ya akhirnya ikhlas. Satu-satunya orang yang bisa dihubungi di Indonesia, dan yang masih ingin berteman dengan gue adalah Thomas, my best friend. One of my support system.” Gregory tersenyum dan menatap kedua matanya.
Tatapan mereka akhirnya bersirobok, seperti sedang berbicara dengan telepati. Vincent hanya bisa membalas tatapan pria itu dengan sorot mata yang teduh.
Ia bersyukur masih ada sosok lain yang membuat Gregory merasa “didengarkan”, selain dirinya dan teman-temannya di Paris.
“Ah, okay, I'm glad you have him, though.”
“Yeah, me too,” jawabnya singkat sambil tersenyum. “But again_, kesenangan gue sepertinya nggak bisa bertahan lama, Vin. Sebenarnya, gue sempat meminjam uang pria pada itu cukup besar, and I promised I would pay the money back. But I couldn't, ya karena bayaran gue dari klub juga kecil. And that guy actually wanted something from me.”
Vincent hanya bisa mengernyitkan dahinya bingung. “Maksud kamu?”
“Dia bilang, uang yang gue dapatkan harus gue bagi juga dengan dia, karena dia yang “memberikan” gue akses untuk klub musiknya. I mean like, what kind of bullshit was that?”
Gregory terlihat berusaha mengatur ritme napasnya, sebelum akhirnya menyambung ceritanya lagi.
“Dia minta imbalan. Saat itu ya, gue butuh untuk memutar uang itu, dong? It was my only “big” income. But he insisted I had to give the money or yeah, I had to be his boyfriend. Of course I didn't do any of those. I didn't like him at all. So I said no.”
“Merde, so did he do anything uncomfortable?”
Mendengar pertanyaannya, Gregory menghela napas berat. “Dia hanya menguntit gue, ke tempat kerja, atau tiba-tiba sudah ada di depan apartemen gue. Sampai akhirnya gue memutuskan untuk pindah kerja dari klub ke klub, that's it. But it's been years, Vin, until last night, he—”
“He has been stalking you and you didn't say anything? Or even file a report?” Vincent memotong, melemparkan pertanyaan itu dengan nada tinggi, tidak bisa menyembunyikan nada terkejut dan rasa khawatirnya.
Mengapa pria itu tidak pernah menceritakannya pada siapapun? Termasuk Timothy, seseorang yang sudah dianggap oleh pria itu sebagai saudaranya sendiri. “Gregory, why—”
Pria itu balas memotong kalimat Vincent sambil menggeram. “Gue, Vin,” katanya sambil mengeraskan rahangnya, menusuk bantal yang sedari tadi dipegangnya dengan jari telunjuknya. “Tidak mau merepotkan orang lain. Selama orang itu nggak mengusik hidup gue sampai parah, gue lebih baik diam,” balasnya dengan tegas sambil menyalangkan matanya. “Masalah dihidup gue sudah banyak banget, Vincent. I have so much shit on my plate already. Gue nggak mau nambah masalah lagi.
“I'm so fucking tired, Vin,” katanya lirih sambil memeluk kedua kakinya yang terlipat, menumpu dahinya pada kedua lututnya. Tubuhnya bergetar seperti berusaha menahan tangisnya. “I just want to be free from him, living my life happily, without constant fear.”
Damn. Apa yang harus Vincent katakan? Apakah ia harus menenangkan Gregory dengan mengusap punggungnya? Atau ia cukup diam, menemani pria itu sampai selesai menangis?
Apa yang harus ia lakukan?
Namun melihat tubuh pria disampingnya itu semakin bergetar hebat. Pria itu terdengar menangis.
Maka dengan cepat ia menggeser duduknya, menganjurkan kedua tangannya untuk menarik tubuh Gregory. Vincent merengkuh pria itu, memeluknya erat. Gregory menggumam, ia tidak bisa mendengarnya dengan jelas.
Saat ini, dipelukannya, ia melihat sisi lain pria itu. Hilang sudah keceriaan dan senyum merekah yang selalu tercetak jelas diwajahnya. Pria yang ada didekapannya itu sedang menangis, mengasihani hidupnya sendiri.
Vincent menumpukan dagunya dipuncak kepala Gregory, berusaha menahan nyeri yang tiba-tiba menjalar dalam dadanya.
Pria itu tidak pantas untuk bersedih seperti ini. Gregory pantas untuk bahagia.
“You have me, Gregory,” kata Vincent lirih, membisikkannya berulang kali ditelinga pria itu, sambil mengusap belakang kepalanya. “You have me, don't worry. I won't back off or leave you. I promise.”
Hanya itu yang dapat Vincent ucapkan saat ini.