the last baton | 208

⚠️ cw // mention of insecure thoughts, self-doubt


Selama Gregory tinggal dan hidup di Paris, tidurnya tidak pernah terasa sedemikian nyaman dan nyenyak seperti tadi malam. Ini adalah pertama kalinya ia merasa sangat segar saat bangun dari tidurnya, pun ia tidak memimpikan hal apapun. Ia sendiri terheran saat dirinya sama sekali tidak bisa mengingat apa saja yang menjadi bunga tidurnya tadi malam.

Tirai kamar apartemennya masih terbuka, lampu tidur pada nakas masih menyala, dan tangan kanannya masih memegang handphonenya. Gregory tidak pernah pergi tidur dengan tidak menutup tirai jendela kamarnya, dengan lampu tidur yang menyala, dan dengan handphone yang masih dalam genggaman tangannya.

Gregory akhirnya menegakkan tubuhnya hingga terduduk sambil menyibakkan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Ia lalu mengucek kedua matanya sambil memutar lehernya dan meregangkan tubuhnya, mendengar bunyi gemeretak pada sendi-sendi punggungnya. Ia lalu menguap lebar, merasakan kantuk yang luar biasa masih menggelayut pada kedua kelopak matanya. Gregory berusaha menghalangi sinar matahari yang mengenai wajahnya dengan telapak tangannya, lalu menengok ke arah nakas, hendak melihat jam analog kuno miliknya yang sejak lama ia miliki saat masih tinggal di Indonesia.

Ia memicingkan mata, waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi, namun rasanya seperti sudah tidur lebih dari dua belas jam. Gregory merasa bahwa tidur tadi malam adalah tidur ternikmat selama ia tinggal dan hidup di Paris.

Apakah rekaman instrumen milik Vincent benar-benar menjadi pengantar tidurnya tadi malam? Mungkin saja.

Gregory belum pernah bangun dari tidur malamnya dengan wajah yang dihiasi senyum lebar seperti pagi ini. Ia pun menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia tersenyum kemudian, merasakan kedua pipinya menghangat dengan sendirinya, bukan karena sinar matahari pagi yang mengenai wajahnya. Sebuah rekaman yang dikirimkan oleh Vincent tadi malam masih terngiang jelas dalam kepalanya.

Tanpa sadar, Gregory pun merekam detik demi detik melodi yang dimainkan dengan indah oleh pria itu dalam kepalanya. Vincent menamai fail itu 'Gregory berceuse', yang artinya lullaby dalam bahasa Perancis. Semalam, rasa bahagia sekaligus terkejut membuat dadanya penuh sesak oleh letupan kembang api yang memeriahkan kesendiriannya di apartemen miliknya.

Saat dirinya sedang melamun memikirkan kejadian tadi malam, ia tiba-tiba dikagetkan dengan nada singkat dari handphonenya, tanda pesan masuk. Gregory lantas meraba kasur dan selimutnya untuk mengambil benda itu, dan tersenyum kemudian saat sudah menemukannya dan membaca pesan pada layar handphonenya.

Bonjour, Gregory. It seemed like you fell asleep last night. Did you sleep well? I hope you did. Saya mau tanya, jam berapa kita mau jalan hari ini? Apa kamu mau saya jemput, Gregory? Let me know, okay?

Pesan singkat dari Vincent membuatnya mengerang, merasakan bulu kuduknya meremang dan kedua telinganya menghangat. Ia yakin keduanya akan terlihat memerah jika ia berkaca.

Mengapa mereka terlihat seperti akan pergi kencan saja? Atau memang mereka berdua akan berkencan hari ini?

Ia lantas menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran dan imajinasi dari dalam kepalanya.

Tidak mungkin. Vincent berkali-kali menegaskan bahwa mereka berdua hanya teman. Ya, walaupun pria yang lebih tua darinya dua tahun itu pun berkali-kali melakukan sesuatu yang sepertinya tidak akan mungkin dilakukan seseorang untuk seorang temannya?

Pria itu mengirimkan tiga, tiga rekaman untuk dirinya, mengatakan bahwa dirinya bersedia membimbing Gregory mencapai titik bahagianya, menawarkan diri untuk menggandeng tangannya sambil menaiki tangga cita-citanya, dan mengatakan bahwa pria itu merindukannya juga.

Tidak mungkin semua hal tersebut dilakukan oleh Vincent jika ia hanya menganggap Gregory sebagai seorang teman, 'kan?

Tidak mungkin. Para teman dekatnya, bahkan Thomas yang adalah sahabatnya sekalipun, tidak pernah melakukan semuanya itu.

Hanya seorang Vincentius. Hanya pria itu.

Gregory tahu, saat ini ia terdengar seperti ingin menyenangkan dirinya sendiri, memikirkan berbagai kemungkinan dan membayangkan jika semuanya itu memang hanya dilakukan untuk dirinya.

Ia lalu menghela napas berat, menyadari bahwa sedari tadi dirinya hanya berimajinasi dengan pikiran gilanya. Ia mendengus dan menggeleng sambil menepuk pelan kedua pipinya, berusaha menyadarkan dirinya sendiri.

Gregory lantas memfokuskan pikirannya kembali pada handphonenya, membalas pesan Vincent dengan senyum merekah pada wajahnya.

Hei, Vincent. I slept so well, thanks to you. I'm sorry I left you on read. Nggak perlu, nanti gue berangkat sendiri aja. Ketemu di Caveau de la Huchette jam dua siang, boleh, Vin? Nanti dari sana baru kita ke Tuileries Garden? Looking forward to meeting you soon, sudah kangen banget! Hehe.

Tak lupa ia menambahkan emoji khas miliknya sebagai pemanis.

Ia ingin segera bertemu dengan pria itu, setelah sekitar seminggu lamanya mereka berdua tenggelam dalam kesibukan masing-masing.

Seminggu lamanya, sejak Vincent secara gamblang dan yakin menawarkan dirinya sendiri sebagai baton terakhir dalam hidupnya.

Oh, Gregory benar-benar tidak sabar!


Gregory membutuhkan waktu sekitar empat puluh menit lamanya untuk menempuh perjalanan dari apartemennya yang terletak di daerah Rue des Meuniers hingga akhirnya sampai di stasiun Notre-Dame-Quai de Montebello. Hari ini ia melakukan perjalanan ke daerah Rue de la Huchette dengan menggunakan metro. Beruntung letak apartemennya tidak jauh dari stasiun metro terdekat, hanya berjarak sekitar dua ratus meter dengan berjalan kaki.

Cuaca siang ini tidak terlalu panas, pun udara tidak terlalu dingin. Pakaian yang dipilih oleh Gregory pun sepertinya cocok dikenakan untuk bertemu dengan pemilik bar beberapa saat lagi.

Ia lalu merapatkan bagian depan jaket kulitnya yang berwarna hijau army itu, lalu melipat kedua tangannya didada sambil melangkahkan kakinya cepat. Ia tidak ingin terlambat untuk memenuhi janji temu dengan seorang pria yang bertanggung jawab atas jazz bar yang sudah berdiri sejak tahun 1946 itu.

Alasan mengapa tiba-tiba Gregory secara impulsif mencari kontak pemilik bar terkenal itu, pertama adalah semata-mata ingin merealisasikan mimpinya yang ingin ia capai sejak lama. Ia ingin menjadi musisi dan solois terkenal yang bernyanyi dan menghibur para tamu di salah satu jazz bar ternama di Paris.

Namun akhirnya ia memutuskan untuk menunda rencananya mewujudkan impiannya itu, mengingat beberapa bulan lalu, ia baru saja diputus kontrak kerjanya secara sepihak oleh klub musiknya. Gregory tidak mungkin nekat dan langsung mencoba peruntungannya dan pindah ke bar yang jauh lebih besar dan terkenal saat itu juga.

Alasan kedua, ia mengingat bagaimana dirinya merasa insecure saat Vincent datang ke bar seminggu yang lalu saat dirinya bekerja, bagaimana ia merasa jauh “dibawah” Vincent dengan segala masalah dan baggage yang ia miliki. Walaupun akhirnya, ia memutuskan untuk terbuka dengan pria itu, menceritakan kekhawatirannya dan hal apa yang selalu mengusik pikirannya.

Maka ia bertekad untuk mencari job baru jika ingin cepat mengejar karir dan mimpinya yang selama ini ia cita-citakan. Gregory tahu betul, bagaimana ia benar-benar harus membagi waktu jika nanti jazz bar impiannya akan menerima lamarannya.

Gregory berharap, dengan bermodalkan suaranya yang lebih dari cukup dan keahliannya bermain gitar, ia akan mendapatkan job impiannya itu.

Satu langkah menuju impiannya.

Satu langkah pada anak tangga yang akan ia lewati bersama dengan Vincent.

Setelah sekitar dua menit berlalu, akhirnya ia sampai di depan bar yang terlihat sedang kosong dan gelap dari luar. Gregory mendongak, memastikan bahwa ia sampai di lokasi tujuan yang benar. Ia melihat signage khas bar itu yang memakai lampu neon berwarna merah, yang berbunyi “Caveau de la Huchette”.

Ia menghela napas agak keras, memejamkan matanya barang sebentar, sambil kedua tangannya menggenggam erat tali ransel pada pundaknya.

Ia memanjatkan doa singkat agar interview hari ini berjalan dengan lancar, sebelum akhirnya melangkahkan kaki ke arah jazz bar itu dengan mantap.


Surprisingly, interview yang berlangsung sejak satu jam yang lalu berjalan dengan lancar. Bahkan tergolong sangat lancar. Sang manajer bar itu mengajak Gregory membicarakan banyak hal tentang musik dengan santai, layaknya sedang mengobrol dengan seorang teman. Pria itu humoris, tidak hanya sekali dua kali Gregory tertawa lepas sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia tidak merasa tegang sama sekali, justru merasa sangat nyaman saat bertukar pikiran dengan pria paruh baya yang bernama Alex itu.

Alex sempat memesankan segelas bir untuknya saat mereka sedang mengobrol tadi, namun Gregory hanya meneguk sepertiga isi gelas itu. Ia ingat bahwa sebentar lagi akan bertemu dengan Vincent. Ia tidak ingin kekenyangan karena minum bir pada siang hari.

Siapa tahu, Vincent akan mengajaknya makan siang atau makan malam, 'kan? Walaupun pria itu tidak menyinggung hal itu sama sekali, tapi sepertinya tidak ada salahnya berharap?

Sedari tadi dadanya berdegup kencang, kaki kanannya bergerak seperti sedang menjahit dengan mesin, dan jari tangan kirinya yang menarik kutikula pada kuku jemari tangan kanannya. Ketiganya adalah tanda setiap kali Gregory merasa gugup; Alex sepertinya tidak mengamatinya secara detail saat tadi mengobrol dengan Gregory.

Entah mengapa dirinya merasa gugup, atau mungkin ini adalah tanda-tanda bahwa ia sangat bersemangat akan bertemu dengan Vincent? Ia tidak tahu. Mungkin ini juga adalah rasa rindu yang sudah tidak terbendung selama seminggu penuh, sejak terakhir kali mereka berdua bertemu di Les Disquaires.

Waktu pada jam kuno yang tergantung pada dinding Caveau de la Huchette menunjukkan pukul dua siang tepat saat Gregory akhirnya pamit pada Alex setelah menjalani interview. Senyum lebar sama sekali tidak meninggalkan wajah pria paruh baya itu, membuat Gregory cukup yakin bahwa ia akan mendapatkan kesempatan untuk meramaikan bar dan menghibur para tamu dengan suaranya selama lima hari setiap minggunya.

Gregory lantas berdiri dari duduknya, membawa tas ranselnya serta sambil merogoh saku jaket kulitnya untuk mengambil handphonenya yang masih dalam mode sunyi. Seketika kedua matanya berbinar, senyumnya tersungging lebar saat melihat notifikasi pesan dari Vincent. Pria itu memberitahunya bahwa dirinya sudah sampai di depan bar dan menunggu Gregory di sana. Ia lantas melangkahkan kakinya lebar-lebar sambil merapikan kaos oblong putih yang dikenakan sambil memasukkannya kedalam celana jinsnya.

Ia lalu mengangkat kepalanya, melihat siluet Vincent di luar, sedang menyandarkan tubuhnya pada pintu bar sambil menundukkan kepalanya, sepertinya sedang memainkan handphonenya. Dada Gregory berdegup sedikit lebih cepat dari sebelumnya, merasakan langkah kakinya semakin cepat menuju pintu untuk menghampiri Vincent yang terlihat sangat tampan dari tampak belakang.

Ia akhirnya sampai pada pintu masuk bar, lalu membukanya sedikit bersemangat, menyebabkan bunyi “kriet” terdengar cukup keras, membuat Vincent seketika terlihat terkejut dan menegakkan tubuhnya.

Sepasang mata bulat miliknya akhirnya bertemu dengan manik hazel yang sudah lama sekali Gregory rindukan. Beberapa panggilan video yang mereka lakukan tidak bisa mengobati rasa rindunya menatap sorot teduh pria itu.

“Vin!”

Gregory memanggil dengan riang, tidak peduli dengan orang-orang di sekitar bar yang sedang berlalu-lalang dan mendengar suaranya yang sedikit keras itu. Vincent terlihat tampan; pria itu mengenakan turtleneck berwarna abu gelap, dengan celana panjang berwarna senada. Rambutnya yang panjang terkuncir longgar, hampir mengenai lehernya.

Pria yang dipanggil olehnya itu akhirnya menoleh, menyunggingkan senyum kotaknya yang selalu berhasil membuat kedua lutut Gregory lemas.

“Hei, Grego—,” balas Vincent sedikit mengaduh sambil tertawa pelan. Suara berat pria itu terdengar jelas pada telinga Gregory. Ia seperti sedang mendengarkan suara pria itu dengan earbuds miliknya. “Aduh. What a nice welcome hug, Gregory. Bonjour.”

Gregory tersenyum lebar, setengah menyadari bahwa dirinya terlalu senang hingga akhirnya memberanikan diri untuk mengulurkan kedua tangannya dan mengalungkannya pada leher Vincent. Ia lantas menghirup aroma tubuh Vincent yang menguar dan menyapa indra penciumannya.

Rasanya Gregory ingin meninggalkan satu kecupan singkat pada ceruk leher pria itu. Namun tentu saja ia urungkan. Ia tidak ingin hubungannya dengan Vincent mundur seribu langkah hanya karena keinginan sesaatnya itu.

Saat Gregory merasa sudah cukup lama memeluk Vincent, ia lantas menarik tubuhnya dan hendak melepaskan kedua tangannya, sebelum ia merasakan kedua tangan memeluk tubuhnya. Ia merasakan hangatnya tubuh Vincent merengkuhnya, membuatnya ingin berteriak sekaligus membenamkan wajahnya pada ceruk leher pria itu lebih lama lagi.

“Pelukan kamu erat sekali, Gregory. Saya boleh balas pelukan kamu seperti ini, 'kan?” Ia mendengar Vincent berbisik tepat ditelinganya, membuat kedua lututnya terasa seperti jelly. Ia pun merasakan pelukan pria itu semakin erat pada punggungnya.

Gregory hanya bisa mengangguk pelan, menyunggingkan senyum simpulnya sambil menggigit bibir bawahnya. Kedua pipinya seketika memanas, membuatnya terasa seperti mie yang baru ditiriskan dari air mendidih.

Ia akhirnya menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Vincent, berusaha menjawab pertanyaan pria itu. “Boleh dong, karena gue sudah kangen banget, Vin.”

Ia mendengar pria yang sedang memeluk tubuhnya erat itu tertawa lebar, sambil menepuk-nepuk punggungnya dua kali. “Sama. Saya juga kangen dengan kamu. Tapi, apa kita berdua mau terus-terusan berpelukan seperti ini, Gregory?”

“Nyebelin banget lo ya,” desis Gregory sambil melepaskan kedua tangannya dari leher Vincent. Ia memutar kedua bola matanya malas saat melihat pria yang lebih tua dua tahun darinya itu menaikkan satu alisnya sambil menyunggingkan senyum kotaknya. “Yuk, Vin. Anyway, bonjour! Thank you so much ya, sudah mau jemput gue ke sini.”

Vincent terlihat mengangguk, lalu mengajaknya melangkah ke arah stasiun metro terdekat. Saat mereka sudah berjalan bersisian, pria itu membuka suara sambil menoleh ke arahnya. “No worries, Gregory. How was the interview? Though I know you always did great.”

Ia lantas berdecak sambil menggeleng, menolehkan kepalanya dan memandang kedua mata Vincent lekat-lekat. “Nggak usah gombal gitu deh lo. The interview was okay! Gue seperti bukan wawancara deh, Vin. Habisnya hanya ngobrol saja begitu. Santai banget.” Gregory menjelaskan sambil tersenyum. “Doain aja ya, gue diterima. I really want to get the job. Saw the bar on La La Land years ago, though. Lo sudah pernah nonton, Vin?”

Mereka berdua menyusuri jalan Rue de la Huchette, melewati kedai gelato favorit Vincent, Amorino, sebelum akhirnya berbelok ke kanan dan menyusuri jalan Rue du Chat Qui Pêche. Ia mendengar Vincent di sampingnya menjawab dengan nada yang bersemangat. “Actually... that's my favorite movie, and also my favorite bar, Gregory.”

Jawaban Vincent lantas membuatnya menoleh cepat, membelalakkan kedua mata bulatnya. “Oh, really? Kok nggak bilang ke gue dari awal saat tadi pagi gue info lo, Vin?”

Gregory melihat pria di sampingnya itu mengangguk, membuat bonggol kuncirannya yang longgar mengikuti gerakan kepalanya turun naik. “Ah, just wanted to give you surprise, I guess? Saya berharap kamu lolos interview. I will have another reasons to go there, Gregory.”

Kalau saja mereka berdua sedang tidak di tempat terbuka seperti ini, mungkin Gregory akan berteriak dan memukul lengan Vincent yang terlihat mengucapkan kalimat barusan dengan santai dan tanpa beban.

Apa Vincent tidak bisa menginjak rem sedikit saja? Sebentar lagi pria itu akan membuatnya gila!

Maka Gregory hanya bisa menggeram sambil menggigit bibir bawahnya lagi. Tahi lalat kecil persis dibawah bibir Gregory terpampang jelas saat ini. Ia menundukkan kepalanya, menyembunyikan betapa hangat kedua pipinya. Gregory sadar betul bahwa saat ini ia pasti terlihat seperti kepiting rebus berjalan.

Ia lalu melirik ke arah Vincent yang sedang terlihat serius menatap bagian bawah wajahnya. Gregory lantas mengernyit sambil berpikir dan dengan spontan bertanya pada pria itu. “Kenapa, Vin? Something on my face?”

Vincent lalu menggumam sambil menggaruk tengkuknya kikuk, seperti tidak tahu apa yang harus ia jawab. Gregory lantas tertawa agak keras sambil menepuk lengan pria itu pelan. “Gue hanya bercanda. Jangan tegang gitu, Vin. Santai aja kenapa, sih? Jangan kaku kayak kawat gitu, deh.”

Pria di samping Gregory itu lantas mengernyit sambil memiringkan kepalanya. Ia seperti tidak terima saat Gregory menyebut bahwa dirinya kaku seperti kawat. “Kamu kenapa ikut-ikutan teman-teman saya seperti itu? Memangnya saya sekaku itu ya, Gregory?”

Gregory akhirnya tidak tahan dengan kata-kata Vincent, membuatnya menggeram sedikit kencang. Beberapa orang melihat ke arahnya dengan tatapan aneh, namun ia tidak peduli.

Bro.” Gregory berkata dengan suara lumayan keras agar terdengar oleh Vincent, membuat pria di sampingnya itu akhirnya menoleh ke arahnya sambil mendelik. “Tuh, gue panggil bro sedikit langsung mendelik. Nanti matanya keluar, Vin.”

Ia terkekeh melihat Vincent memutar kedua bola matanya dan mendengus. Ia lalu mendengar pria itu tertawa kemudian sambil menggeleng heran.

Whatever, Gregory.”