the last baton | 582
Setelah Gregory menaruh kopernya yang cukup besar pada check-in counter salah satu maskapai penerbangan asing yang akan membawanya terbang ke Jakarta, ia dan Vincent lantas memutuskan untuk mampir ke salah satu restoran untuk mengisi perut mereka. Keduanya sudah merasa lapar karena pagi tadi, mereka hanya menyantap setangkup roti panggang seadanya sebelum akhirnya berangkat menuju bandara.
Ini adalah pertama kalinya Gregory menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle (CDG) untuk terbang ke luar dari kota Paris. Sebelumnya, ia mengunjungi tempat ini hanya untuk menjemput Thomas beberapa bulan yang lalu. Selain itu, tidak pernah sama sekali, sejak delapan tahun yang lalu ia berada di ruang kedatangan dengan muka pucat sehabis memuntahkan seluruh isi perutnya.
Sejak delapan tahun lalu kedua orang tuanya membiarkan dirinya berkelana sendirian di kota Paris.
Ia lantas menggelengkan kepalanya, tidak ingin memikirkan memori buruk yang sudah lama tidak muncul ke permukaan, berusaha fokus untuk mencari restoran yang tersedia di public area Terminal 2E bandara ini.
Matanya menangkap tiga nama restoran pada papan penunjuk, dan satu-satunya yang familiar untuknya—dan cocok untuk lidahnya, tentunya—adalah restoran cepat saji yang terletak tidak jauh dari tempatnya berdiri. Vincent yang jarang sekali mengonsumsi junkfood—kecuali Shiso Burger—pun hanya menurut, lalu menggandeng tangannya sambil melangkah masuk ke restoran.
Keduanya hanya menunggu selama lima menit saat mengantre, beruntung restoran sedang tidak terlalu ramai oleh pengunjung. Mereka akhirnya memesan dua paket burger dan kentang, lengkap dengan dua gelas minuman bersoda. Gregory lalu menyeret koper kecilnya yang berisi sebuah laptop, kamera, dan beberapa kabel charger miliknya yang akan disimpan dalam kabin pesawat ke arah meja yang kosong. Sedang Vincent berjalan mengekor dibelakangnya dengan membawa baki pesanan mereka.
Sejak tadi, Gregory berulang kali mengecek penunjuk jam pada layar ponselnya, menyadari bahwa ia hanya memiliki sisa waktu satu jam untuk mengobrol dengan Vincent sebelum akhirnya masuk ke ruang keberangkatan. Dan sejak keduanya tadi memasuki public area dan berjalan menuju check-in counter, Vincent lebih banyak diam. Pria itu memilih untuk “berbicara” lewat gestur yang membuatnya hatinya seketika menghangat; menggandeng tangannya begitu erat, memeluk tubuhnya dari belakang dan menyandarkan wajahnya pada pelipisnya saat keduanya tengah mengantre untuk menaruh koper miliknya.
Vincent tidak menghiraukan lirikan beberapa calon penumpang—sepertinya akan terbang satu pesawat dengannya dengan tujuan yang sama—yang tertuju pada mereka, membuatnya hanya menggelengkan kepala sambil mengulum senyumnya. Pelukan kekasihnya itu terasa berbeda dari biasanya. Kali ini pria itu memeluknya dengan sangat erat, seperti takut jika Gregory tiba-tiba akan hilang dari dekapannya dan tidak akan kembali.
Raut wajah Vincent pun tak terbaca, membuatnya kerap kali melirik ke arah pria itu sambil mengernyitkan dahi saat mereka bertemu mata. Manik hazel kekasihnya menatap mata bulatnya bergantian, seperti sedang mencari jawaban dan “kepastian” untuk dirinya sendiri. Gregory hanya dapat memberi “jawaban” lewat genggaman tangannya, ia berharap setidaknya gestur itu dapat menenangkan Vincent sejenak dari apapun yang sedang pria itu pikirkan.
Namun hingga akhirnya mereka duduk berhadapan saat ini pun, Vincent masih menatapnya, seperti ingin menyampaikan sesuatu padanya. Maka Gregory memberi pria itu waktu dengan menyantap burgernya sambil menunduk dan memperhatikan layar ponselnya, berharap kekasihnya itu pun menyantap makanannya juga, atau mungkin akan berbicara padanya nanti.
Beberapa menit berlalu, ia sekilas menangkap dengan ekor matanya, pria itu sedang termangu di hadapannya, menopang dagunya dengan telapak tangannya, tanpa menyentuh makanannya sama sekali.
Gregory lantas mendongak, bertemu mata dengan kekasihnya itu sambil tersenyum. Baiklah, jika Vincent tidak akan berbicara, Gregory yang akan berinisiatif untuk memecah keheningan diantara mereka.
Maka ia menelan makanannya lalu bertanya pada Vincent setelah meneguk minuman bersoda yang dipesannya tadi. “Vin, kok tidak dimakan? You really don't like it, do you?” Ia bertanya pada pria itu sambil menunjuk ke arah makanannya yang masih utuh.
Kekasihnya itu hanya berdecak lalu menggelengkan kepalanya tanpa suara. Pria itu hanya menghela napas panjang dan melipat kedua tangannya diatas meja, matanya menatap ke arah burger dan kentang di hadapannya yang masih utuh itu. “No, it's just...”
Gregory menyambung kalimat pria itu sambil mengernyit. “It's just...?”
Vincent seperti kesulitan mengutarakan isi hatinya saat ini, sangat kontras bila dibandingkan dengan saat mereka berdua menginap di Shangri-La hotel pada hari ulang tahunnya. Oh Tuhan, mereka bahkan tidak bisa berhenti membicarakan momen itu saat keduanya tiba di apartemen kekasihnya.
Vincent lalu mengangkat kepalanya dan menatap kedua matanya lekat. Pria itu tersenyum simpul sambil memiringkan kepalanya. “I'm going to miss you so much, Gregory,” ujarnya lirih, lalu menghela napas berat kemudian.
Oh.
Mendengar kekasihnya berkata demikian, Gregory lantas terkekeh. Ia membersihkan tangannya dengan tisu basah yang dibawanya, lalu menjulurkan tangannya dan meraih tangan Vincent. Kekasihnya itu dengan sigap menegakkan tubuhnya dan menggenggamnya dengan kedua tangannya.
“Aku juga pasti akan kangen kamu saat di Jakarta,” timpalnya sambil mengulas senyum. Vincent terlihat murung. Gregory tidak mungkin melewatkan kerutan pada dahi kekasihnya yang semakin lama terlihat semakin dalam itu.
“Don't worry, Vin. I won't be long,” jawabnya asal, tidak menyadari bahwa dirinya sedikit berbohong.
Ia bahkan belum merencanakan kapan akan kembali ke Paris. Entah seminggu kedepan, atau bahkan sebulan kedepan. Gregory hanya membeli tiket satu arah dan ia belum mau memberitahu Vincent kapan ia akan kembali.
Namun ia pun tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu lama. Alex, pemilik bar tempatnya bekerja hanya memberikan waktu selama dua minggu untuk mengambil cuti.
Ini adalah kedua kalinya mereka dipisahkan oleh jarak. Yang pertama adalah saat keduanya memutuskan untuk break beberapa waktu lalu. Namun saat itu, Gregory tidak merasa khawatir berlebihan, karena toh, mereka masih tinggal di kota yang sama. Sedangkan sekarang, mereka harus berpisah sejauh 14,424 km, dengan dirinya yang berada di benua yang berbeda dan waktu yang lebih cepat enam jam dari Paris.
Gregory belum pernah menjalin hubungan jarak jauh, apalagi ini adalah kali pertama Vincent menjalin hubungan serius dengan seseorang selama hidupnya.
Ia tidak ingin memberi “janji palsu” pada Vincent, pun tidak ingin merasa terbebani dengan janjinya pada pria itu.
Semua ini Gregory lakukan demi kebaikannya sendiri.
Mungkin saja, ia akan pulang lebih cepat dari perkiraannya, 'kan?
Ia belum memberitahu Vincent bahwa beberapa hari lalu, ia sempat merenungkan kembali keinginannya untuk terbang ke Jakarta, sesaat setelah Vincent membuat hatinya mencelos dan kepalanya berputar. Ia tidak bisa menahan air matanya yang sudah menggenang saat kekasihnya itu mengejutkannya dengan memberi sebuah gelang emas berwarna keemasan padanya sebagai hadiah ulang tahunnya.
Dan yang lebih membuatnya menangis meraung-raung, adalah saat Vincent meminta pada dirinya untuk tinggal bersama. Setelah sekian lama, kekasihnya itu akhirnya mengajaknya untuk tinggal bersama. Ia merasa seperti semua masalah dan keraguan masa lalunya dengan hubungan mereka dan dirinya sendiri perlahan runtuh.
Gregory pun bersyukur, mungkin jalan cerita cinta mereka akan berbeda jika Vincent menanyakan hal yang sama beberapa bulan lalu, saat keduanya masih diikat kesalahpahaman dan masalah yang selalu menghambat komunikasi dan kelancaran hubungan mereka.
Menurutnya, Tuhan pasti akan memberikan waktu yang terbaik untuk mereka berdua.
Saat Vincent tengah mengurus check-out hotel dengan Mathias dua hari lalu, kejutan dan kado istimewa yang diberikan oleh Vincent di hari istimewanya lantas membuatnya berpikir. Apa yang sebenarnya akan Gregory lakukan di Jakarta? Apakah ia hanya akan pulang ke rumahnya dan memperhatikan dari kejauhan? Ataukah ia akan mengetuk pintu rumahnya dan bertemu dengan orang tuanya yang bahkan ia sama sekali tidak tahu bagaimana kabarnya lalu pergi? Ataukah ia akan mengkonfrontasi beliau berdua dan menumpahkan seluruh isi hatinya selama delapan tahun belakangan dan meminta penjelasan?
Pertanyaan demi pertanyaan sempat bermunculan dalam kepalanya, membuatnya bingung dan merasa terjebak dalam pikirannya sendiri. Bahkan ia sudah menjelaskan pada Vincent panjang lebar lewat surel yang dikirim olehnya bahwa, ya, tidak semua hal dapat diperbaiki! Dan ia tidak perlu memaafkan kedua orang tuanya yang bahkan mungkin, tidak menyadari bahwa selama delapan tahun ini adalah sebuah keanehan atau keputusan yang salah.
Namun tidak, Gregory tidak akan menyerah sampai ia mendapatkan semua jawaban atas benang kusut yang selama ini terputus. Ia ingin memuaskan dirinya sendiri, berusaha ingin membuktikan beberapa hipotesis yang selama ini ia simpan rapat-rapat dalam hatinya.
Gregory kembali pada realita saat merasakan genggaman yang begitu erat pada tangannya. Maka sepasang matanya kembali menatap Vincent yang tengah menggelengkan kepalanya, kali ini lebih mantap. Sorot matanya terlihat tajam, tak sesendu beberapa menit lalu. “No, take your time as long as you need, okay, baby?” Kekasihnya itu berbicara dengan nada tegas. “I just have to get used to it. Not having you in my arms, to hug or even kiss you for a week, maybe more, you know.
“Paris will be so boring without you.”
Kalimat Vincent yang sederhana seperti itu saja mampu melunturkan seluruh pikirannya, seperti ombak yang dengan kuat menghancurkan istana pasir di pesisir pantai. Gregory hanya memutar kedua bola matanya malas sambil mendengus, lalu menjulurkan tangannya untuk membetulkan letak kacamata Vincent yang terlihat sedikit turun. “Cheesy! Tapi, ya, menurutku, hitung-hitung mencoba untuk terbiasa kalau harus long distance relationship. Ya 'kan Vin?”
Ia merasakan sekujur tubuh Vincent menegang, pun genggaman tangannya yang terasa lebih kencang. Pria itu mengernyitkan dahi sambil memiringkan kepalanya. Rahangnya terlihat mengeras. “Memangnya kamu mau pergi ke mana, Gregory? Kok harus long distance relationship?”
Gregory bahkan tidak sadar kalimatnya barusan akan membuat kekasihnya itu salah paham dengan maksudnya.
Rasanya ia ingin memukul dahinya sendiri.
“What if, Vin sayang.” Gregory menjawab sekenanya sambil tertawa kikuk, tidak ingin membuat Vincent berpikiran macam-macam. Ia melanjutkan kalimatnya lagi, kali ini dengan tulus dan tanpa ada maksud yang terselubung. “I'm not going anywhere after this. Okay?”
Raut wajah Vincent berubah, perlahan pria itu meyunggingkan senyumnya lebar. “Oh,” ujarnya sambil mendengus dan menggelengkan kepala. “Thought you wanted to go somewhere and left me behind.”
Ia tidak akan pernah meninggalkan Vincent. Hanya pria itu satu-satunya orang yang inginkan sebagai pelabuhan terakhir hatinya.
Vincent is the only one that can be his last baton of his life.
Gregory tidak akan pernah pergi dari “rumah”nya.
Ia menggeleng pelan. “I won't do that, ever,” sanggahnya cepat. “You're too much.”
Vincent mengangguk sambil tertawa. “Yet you love me, Beau,” balasnya sambil menatap kedua matanya lekat.
Ia benar-benar akan merindukan Vincent selama dirinya berada di Jakarta. Hanya pria itu yang mampu membuatnya nyaman dan merasa aman hanya dengan sorot matanya, hangat napasnya, dan sentuhan cinta pada kulitnya.
Hanya Vincent.
Gregory lantas menjawab dengan mantap sambil mencondongkan tubuhnya dan mendekatkan wajahnya.
Ia mencium bibir pria itu dan berbisik tanpa ragu. “Yet I love you so much, Vincent. Yes.”
“Sudah? Kamu tidak masuk? Ini sudah jam setengah sebelas, Gregory. Kamu harus melewati beberapa lapis keamanan di dalam, 'kan?”
Vincent bertanya padanya saat mereka tengah berdiri bersisian dekat pintu keberangkatan. Waktu telah menunjukkan pukul setengah sebelas siang dan Gregory harus melewati security check-in, bahkan bagian imigrasi yang antreannya pasti akan mengular.
Ia menangkap dengan mata bulatnya, terlihat banyak calon penumpang pesawat yang sedang berbaris rapi untuk masuk ke ruangan selanjutnya, membuatnya mual dan enggan untuk melangkahkan kaki dan menjauh dari kekasihnya.
Gregory hanya mengangguk dan menggumam. Ia benar-benar tidak mau pulang. Ia masih ingin memeluk Vincent dan merasakan hangat tubuh pria itu pada tubuhnya. Beruntung ia membawa beberapa pakaian Vincent yang disimpan dalam kopernya, dan kekasihnya itu tidak melarangnya sama sekali.
“I don't want to go,” katanya lirih sambil menaruh dagunya pada bahu Vincent, menggunakan sisa waktu yang ada untuk menghirup aroma tubuh pria itu kuat-kuat dan menyimpannya didalam paru-parunya. “I still want to talk to you and hug you,” bisiknya sambil menyentuh pipi Vincent yang dingin dengan bibirnya.
Seketika Vincent merengkuh tubuhnya, menggunakan tangan kirinya untuk mengusap punggungnya pelan. “Alright, let's hug for five minutes, Gregory. How does that sound?” Pria itu berbisik ditelinganya, lalu mengecup puncak kepalanya.
Kini kedua tangan Vincent memeluk tubuhnya erat, membuatnya lantas melepas tas ransel yang sedang dibawanya untuk membalas pelukan pria itu. Gregory mengalungkan kedua tangannya pada leher Vincent dan membenamkan wajahnya pada ceruk leher kekasihnya.
Ia menghirup aroma tubuh Vincent, mencoba membuka rongga dadanya selebar mungkin, sambil merasakan hangat napas pria itu pada pipinya.
Gregory sungguh ingin membatalkan rencananya untuk pulang ke Jakarta.
“Don't let me go, Vin,” bisiknya sambil mengeratkan pelukannya. Ia tidak sanggup memikirkan apa yang harus ia lakukan selama mereka berpisah. Apa yang harus ia lakukan jika ia merindukan pelukan Vincent?
Gregory bahkan membawa serta recorder berwarna abu gelap, pemberian kekasihnya itu. Walaupun ia tahu, benda itu tidak akan cukup untuk mengobati rasa rindunya.
Ia hanya tersenyum getir saat mendengar Vincent tertawa sambil mengusap belakang kepalanya. “Never in a million years, sayang.”
Keduanya berdiri tak jauh dari pintu keberangkatan sambil berpelukan, tidak ada satu patah kata pun keluar dari mulut mereka. Ia dan Vincent menikmati waktu, memanfaatkan kesempatan yang tersisa untuk mentransfer energi dan hangat tubuh masing-masing.
Gregory samar-samar mendengar suara orang berlalu lalang dan mengobrol, pun suara seorang wanita sedang mengumumkan jadwal keberangkatan dan panggilan terakhir untuk penumpang maskapai penerbangan lainnya dari pengeras suara.
Namun ia menghiraukannya, berharap dalam hati agar Tuhan memperlambat waktu yang semakin menipis.
“Mesdames et messieurs, votre attention s'il vous plaît. Ceci est le tout dernier appel avant la fermeture des portes du vol Singapore Airlines...“
Vincent lantas melepas pelukannya saat ia mendengar pengumuman dari pengeras suara, bahwa penumpang yang akan terbang ke Singapura dengan maskapai penerbangan yang sama dengan pilihannya diminta untuk segera naik ke pesawat. Itu adalah tanda bagi Gregory untuk segera masuk dan melewati konter imigrasi, karena ia akan terbang ke Jakarta satu jam setelah pesawat dengan tujuan ke negara tetangga Indonesia itu lepas landas.
Ia hanya bisa menghela napas kasar dan menatap manik hazel yang akan sangat ia rindukan itu.
“Take care, my love. I'm going to miss you so much,” bisik Vincent sambil mencium dahinya dua kali, lalu menggerakkan bibirnya turun untuk mencium kedua matanya yang terpejam. Pria itu lalu mengecup hidungnya dan kedua pipinya, hingga akhirnya pria itu berbisik tepat dibibirnya.
Vincent terdengar menghela napas panjang. “I love you, so much. Have a safe flight, okay, Gregory?”
Gregory memagut bibir kekasihnya lebih lama sampai ia merasa puas dan cukup untuk membawanya hingga ke Jakarta. “Thanks, Vin sayang. Kamu jangan kecapekan latihan, ya? Makan yang teratur. Jangan sampai sakit. Take care,” bisiknya sebelum menyudahi ciuman mereka. “I love you so much.”
Vincent mengangguk, lalu merengkuh tubuhnya lagi sebagai pelukan terakhir. Ia tersenyum sambil mengusap punggung kekasihnya itu. “Kabari aku kalau sudah naik pesawat. Ya?”
Ia mengacungkan ibu jarinya, sambil tangannya mengangkat tas ranselnya untuk diletakkan diatas koper kecil miliknya. Ia lalu melirik ke arah pintu masuk keberangkatan yang terlihat sepi.
Gregory lalu menghela napas panjang dan kembali menatap kedua mata Vincent yang teduh.
“Aku berangkat ya, sayang? Tidak perlu menunggu sampai aku take off,” katanya lalu menjulurkan tangannya dan menangkup wajah Vincent yang terlihat murung.
Pria itu hanya menggeleng. “I want to.”
Gregory menggeram. Vincent dengan egonya, tidak bisa diganggu gugat.
Akhirnya ia menyerah. “Ya sudah, oke,” katanya sambil mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Vincent untuk terakhir kali. “Nanti aku kabari ya, Vin,” ujarnya lagi lalu tertawa, kala Vincent menahan belakang kepalanya untuk membalas ciumannya.
Ia lalu menarik wajahnya, menempelkan dahinya dengan Vincent sambil merasakan napas yang hangat menyapu bibir dan hidungnya. Pria itu berdeham. “Go. Nanti kamu terlambat, Beau.”
Ia mengangguk dan berdecak. “Alright,” jawabnya tersenyum sambil menarik gagang kopernya.
Gregory akhirnya melangkah ke arah seorang petugas dan menunjukkan tiketnya, lalu memasukkan kopernya dalam mesin x-ray dan melewati walk through metal detector. Ia lalu berterima kasih pada petugas yang berdiri di sana, sebelum akhirnya mengambil kopernya dna membalikkan tubuhnya, melihat Vincent masih berdiri di tempat yang sama.
Ia lantas tersenyum, lalu melambaikan tangan ke arah pria itu dan mengucapkan tiga kata tanpa suara, berharap Vincent dapat membaca gerak bibirnya. “I love you, Vin.”
Dari kejauhan, kekasihnya itu tersenyum lebar, lalu melambaikan tangannya tinggi sambil menggerakkan bibirnya tanpa suara.
Gregory mampu membacanya walaupun ia tidak dapat mendengarnya. “I love you.”
Ia tak menyadari kedua matanya sudah terasa panas. Ia ingin menangis.
Maka dengan cepat ia membalikkan tubuhnya dan melangkah menjauh, tidak ingin Vincent melihat air matanya yang sudah menetes membasahi kedua pipinya.
Here we go, batinnya dalam hati sambil menarik kopernya cepat.