the last baton | 576
Vincent memulai harinya dengan mengeluh. Sekujur tubuhnya terasa kaku, lehernya pun terasa nyeri saat ia mencoba menggerakkan tubuhnya dibalik selimut. Tenggorokannya terasa kering saat ia berdeham, sepertinya suaranya sebentar lagi akan habis. Mungkin ini akibat dirinya tidak mengubah posisinya selama beberapa jam saat ia dan Gregory bercinta semalam.
Namun seketika semua rasa sakit itu hilang kala kedua telinganya samar-samar menangkap suara dengkuran halus dari pria yang tengah tertidur pulas dalam dekapannya itu. Ia mengingat dengan jelas, semalam Gregory sempat merengek padanya untuk segera beristirahat karena sudah terlalu lelah. Saat itu keduanya baru saja selesai mandi dan akhirnya memutuskan untuk memesan kudapan lewat layanan kamar hotel terlebih dahulu untuk mengisi perut.
Ia mengangkat tangannya, tak bisa menahan senyumnya saat melihat bekas cakaran Gregory menghiasi lengannya. Vincent menghela napas panjang mengingat kegiatan mereka semalam. Ia dan kekasihnya itu begitu larut dalam gairah cinta mereka yang terasa manis dan lengket seperti madu, namun membuatnya ingin melakukannya lagi, lagi, dan lagi.
Semalam setelah Vincent membersihkan tubuhnya dan Gregory, kekasihnya itu lantas tertidur pulas dipelukannya. Keheningan seketika memenuhi seisi ruangan, namun ia tidak bisa tidur. Mesin dalam kepalanya bekerja, memutar kembali memori yang terekam seperti seseorang menorehkan tinta hitam diatas lembar partitur miliknya, meninggalkan bekas hingga menembus bagian belakang lembaran itu.
Vincent memikirkan betapa seks mereka kali ini terasa berbeda dari biasanya. Dan Gregory, oh Tuhan, pria itu benar-benar luar biasa; staminanya tetap terjaga sejak mereka berdua berendam didalam bathtub, hingga akhirnya terkulai dipangkuannya karena lelah bergerak.
Ia lalu meneliti wajah Gregory yang begitu tampan, walaupun rambut pria itu menutup dahi dan sebagian wajahnya yang lelah. Bibir mungilnya terlihat maju, hidung bangirnya sedikit mengkilap. Ia mengulas senyum, mengecup puncak kepala kekasihnya itu sambil menggumam. Jemari tangan kanannya menyisir rambut Gregory dengan hati-hati, tak ingin gerakannya lantas membangunkan pria itu dari tidurnya.
“Aku mencintaimu,” bisiknya lirih sambil membenamkan wajahnya pada puncak kepala Gregory, walaupun pria itu tidak bisa mendengar suaranya karena masih berada dialam mimpi.
Saat Vincent sedang mengecup puncak kepala Gregory, ia merasakan kaki pria itu bergerak, tidak sengaja menyentuh miliknya yang masih terasa sedikit sensitif. Rasa geli menjalar diatas kulitnya, membuat bulu kuduknya meremang, sebelum akhirnya meringis kala merasakan pelukan pada pinggangnya itu mengencang.
Ia lantas tersenyum simpul, menyapa pria itu kemudian sambil mengusap pelan lengannya dengan telapak tangannya yang dingin. Tangan kirinya bergerak naik turun pada punggung kekasihnya itu. “Bonjour, Beau,” bisiknya pelan, khawatir jika pria itu memang sedang mengigau dalam tidurnya.
Gregory terdengar menggeram menanggapi sapaannya, seperti enggan membuka mata untuk bangun dari tidurnya.
“What time is it?” Pria itu menggumam dan melenguh, lalu menggerak-gerakkan anggota tubuhnya yang lain dan menumpukan beban tubuhnya diatas tubuh Vincent. Ia terkekeh pelan, mengusap hidungnya dipuncak kepala Gregory sebelum akhirnya melirik ke arah ponselnya yang terletak diatas nakas.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi, mereka berdua masih memiliki kesempatan untuk menikmati fasilitas hotel selama enam jam, sebelum akhirnya check-out dari kamar hotel itu.
Kemarin, Mathias sempat menawarkan jika ia dan Gregory membutuhkan bantuan untuk memperpanjang rencana menginap mereka. Namun ia menolak tawaran pria itu dengan halus, mengingat bahwa kekasihnya ingin membereskan barang-barangnya untuk dibawanya serta ke Jakarta.
“Ten in the morning, Gregory,” jawabnya singkat, lalu mendengar kekasihnya itu menghela napas berat. Gregory bergerak, merebahkan tubuhnya yang semula menghadap kearahnya. Pria itu mengusap kedua matanya kasar dengan tangannya sambil menguap lebar.
Kali ini giliran Vincent yang memposisikan tubuhnya menyamping, melipat tangan kirinya dibawah kepalanya dan menyapa kekasihnya itu lagi. “Hey, baby.”
Gregory menggumam lalu menoleh ke arahnya dan tersenyum. Seketika bulu kuduknya meremang saat menatap kedua mata pria itu berbinar. Gregory sedang tersenyum dengan kedua mata bulatnya, mata yang sukses menghipnotisnya sejak pertama kali mereka bertemu mata enam bulan yang lalu.
Vincent lantas menyadari, betapa senyum dan raut wajah itu adalah satu-satunya ekspresi yang ingin menjadi sapaan untuknya dipagi hari dan menjadi pengantar tidurnya dimalam hari. “Hey, yourself. Good morning,” balasnya singkat sambil menjulurkan tangannya untuk menyisir rambut kekasihnya dengan jemarinya.
Pria itu menatap manik hazelnya lekat, lalu menyambung kalimatnya lagi. “Bagaimana tidurmu tadi malam, Vin?”
Ia berdecak sambil menyeringai. Tentu Gregory sudah tahu akan jawaban yang akan ia berikan. “The best so far. How about you?”
Vincent menatap sepasang mata bulat nan indah itu, yang selama beberapa bulan terakhir menjadi “rumah”nya, membuatnya ingin selalu pulang.
Ia begitu mencintai Gregory.
Siapa yang menyangka, berawal dari perkenalan singkat di sebuah restoran akan membawanya hingga saat ini? Gregory mampu membuatnya memiliki keinginan untuk mencintai orang lain, selain dirinya sendiri.
Gregory adalah “orang lain” itu. Gregory adalah seseorang yang tepat untuknya.
“It feels amazing, Vin.” Pria itu dengan mantap menanggapi pertanyaannya lalu mencondongkan wajahnya dan mencium bibirnya sekilas, sebelum akhirnya menghadapkan tubuhnya ke arah balkon dan memunggunginya.
This is the perfect time, batinnya.
Vincent merasa ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan kejutan sekaligus kado terakhirnya untuk pria itu. Ia lalu dengan hati-hati membalikkan tubuhnya, menjulurkan tangan kanannya untuk membuka laci teratas nakas yang terletak disebelah kasur mereka itu.
Ia tertawa dalam hati, mengingat kejadian saat pertanyaan yang ia lontarkan pada Gregory tak kunjung mendapat jawaban karena pria itu sudah tertidur pulas semalam.
Ini adalah waktu yang tepat.
Dadanya berdegup kencang saat mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah marun yang dihasi guratan berwarna emas yang mengelilingi bagian luarnya. Vincent tidak membutuhkan waktu lama untuk memilih kado yang pas untuk kekasihnya itu, membuat Timothy hanya merespon dengan memutar kedua bola matanya sekilas, lalu mengacungkan kedua ibu jarinya di udara dan memuji selerana.
Gregory terdengar sedang bersenandung sambil menggerak-gerakkan telapak kakinya. Tubuh indahnya itu masih menghadap ke arah balkon kamar mereka, sinar matahari membuat lekukan tubuh pria itu terlihat sempurna.
Vincent lalu menggeser tubuhnya, menggunakan kesempatan yang ada untuk menjulurkan tangannya dan meletakkan kotak itu tepat didepan dada Gregory.
Sesaat ia mendengar Gregory terkejut. Pria itu dengan cepat membalikkan badannya, mulutnya menganga sambil mengernyitkan dahinya. “Vin, what is this?” Kekasihnya bertanya padanya sambil menunjuk kotak itu, lalu menatap manik hazelnya bergantian.
Vincent tersenyum, dadanya terasa hangat.
Now, bud.
“This is my last surprise,” bisiknya ditelinga pria itu sambil mencium pelipisnya yang terasa hangat pada bibirnya. Ia perlahan meraih kotak itu, lalu meletakkannya diatas dada Gregory dan membukanya, memberi pria itu waktu untuk memproses semuanya. “Happy birthday again, mon amour.”
Kedua mata pria itu membulat. Ia terbelalak, menatap gelang berwarna emas merah muda yang berbentuk seperti paku melingkar itu berkilau saat terkena pantulan sinar matahari pagi yang menembus masuk kedalam kamar tidur mereka.
Vincent hanya dapat tertawa kecil saat menyadari reaksi Gregory.
Kekasihnya itu tidak mengatakan satu patah kata pun, maka ia memberanikan diri untuk memulai pembicaraan diantara mereka, ingin mengutarakan apa yang tengah dirasakan pada pria yang begitu dicintainya itu.
“Sayang,” panggilnya sambil mengeluarkan gelang itu dari kotaknya, merasakan tangannya sedikit kaku. Ia sangat gugup, khawatir jika pria itu akan menolak pemberiannya. Ia lalu meraih tangan Gregory yang terlihat masih mematung sambil menatapnya.
“This is a promise bracelet, for you. I also bought for myself,” jelasnya sambil mendekatkan wajahnya dan mencium bibir pria itu pelan, kemudian menyambung lagi. “And this is me proposing to you, my love.”
Gregory berteriak, membuat dirinya tersentak. “Hah?” Hanya satu kata keluar dari mulut kekasihnya itu. “Proposing?” Pria itu menyambung lagi, bertanya padanya dengan nada bingung, heran, dan terkejut yang melebur jadi satu. “Vincent? Propo... proposing bagaimana maksud kamu!?”
Vincent menaruh gelang itu kembali dalam kotaknya. Ia menggenggam tangan pria itu erat sambil mengusap punggung tangannya yang terasa dingin dengan ibu jarinya.
Ia menyunggingkan senyum kotaknya, perlahan merasakan kekhawatirannya luntur bersamaan dengan hangat tubuh Gregory yang mengalir dalam tubuhnya. “I want you to move in with me,” katanya lirih, namun terdengar mantap. Vincent mengatakannya tanpa ragu, tak ada lagi kekhawatiran yang bercokol didadanya. Tidak ada. Kali ini ia hanya menaruh harapan di sana. “I want to live with you every single night and day, wake up to and sleep with that gorgeous smile until you finally get bored of me,” katanya panjang lebar. “Apakah kamu mau, Gregory?”
Senyumnya perlahan memudar kala melihat pria itu menitikkan air matanya sambil terisak, masih terdiam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Vincent dengan cepat menangkup wajah pria itu, lalu menghapus kantung mata yang sudah basah itu.
“Fuck.” Ia mendengar Gregory mengumpat. Vincent tersenyum, membiarkan pria yang sedang menangis itu mengambil waktu selama apapun yang ia butuhkan.
Gregory membuka mulutnya sambil menghela napas kasar, sesaat terdengar tertawa kecil disela-sela isak tangisnya.”Of course, Vin,” katanya lirih, menjawab pertanyaannya. Seketika dadanya bergemuruh, seperti ada yang sedang membakar kembang api di sana. “I'd love to move in with you. One hundred percent YES!” Gregory berseru sambil mengalungkan kedua tangannya pada lehernya lalu menariknya. “I love you, I love you, I love you,” katanya menyambung lagi kalimatnya sambil menempelkan dahi mereka berdua. Pria itu menjawab pertanyaannya dengan mantap dan bersemangat.
Ah, Vincent merasa bahagia. Kupu-kupu sedang mengepakkan sayapnya ke sana kemari didalam perut dan dadanya.
Ia begitu mencintai Gregory.
Vincent lantas mengungkung tubuh pria itu dan memeluknya erat. “Thank you for saying yes, Beau. I love you, more than anything.”
Ah. Finally.