the last baton | 338
⚠️ cw // insecurities, self-doubt, overthinking ⚠️ tw // implied anxiety, unconsciousness, freezing*
ps. tolong bantu aku cari cw/tw yang sesuai untuk kata (*) diatas ya, terima kasih!
Gregory menghabiskan waktu sepuluh menit untuk berbicara dengan Thomas lewat telepon. Ia menceritakan kejadian malam ini secara lengkap pada sahabatnya itu dengan suara terbata-bata, giginya bergemeletuk karena menahan udara dingin kota Paris yang kerap menusuk tulangnya.
Saat ini ia sedang duduk di atap apartemen Vincent. Ia menyandarkan tubuhnya lemas pada kursi yang menjadi saksi bisu saat kekasihnya itu menjadi tuan rumah pesta barbekyu beberapa waktu lalu.
Jujur, ia hampir menangis saat menceritakan rentetan kejadian itu secara lengkap. Ia menghabiskan waktu selama enam menit untuk mencurahkan isi hatinya, sambil berusaha menahan emosinya sendiri. Selebihnya digunakan oleh sahabatnya itu untuk menasihatinya panjang lebar tanpa henti.
Ia bergeming, diam seribu bahasa saat mendengarkan kata demi kata yang Thomas ucapkan sambil meringkuk, seperti seekor kucing kurus yang sedang kedinginan. Ia menjepit handphonenya dengan bahunya, menempelkannya pada telinga sambil menelengkan kepalanya.
Seketika kedua matanya yang bulat menangkap deretan cahaya lampu berwarna kuning yang menghiasi Menara Eiffel dari kejauhan. Indah sekali, persis seperti apa yang dilihatnya malam itu dengan Vincent.
Gregory lantas mengingat betapa kekasihnya itu dengan penuh kasih sayang menyisipkan jemarinya diantara surai hitamnya yang gondrong, menyisir helai rambutnya yang pendek dan menyelipkannya dibelakang telinganya.
Mengingat satu diantara kumpulan memori yang istimewa dengan Vincent membuat Gregory meringis, sambil kedua tangannya mengeratkan pelukan pada tubuhnya sendiri. Ia menghela napas berat, merasakan kedua matanya perih karena udara yang dingin sekaligus menahan tangis. Ia lantas menyudahi pembicaraannya dengan Thomas dan memutuskan sambungan telepon, menaruh handphonenya kemudian diatas meja dengan asal.
Pakaian yang ia kenakan saat ini sangat tipis, hanya kaus oblong tanpa lengan dengan lubang yang cukup besar pada bagian ketiak dan celana pendek yang biasa dikenakan saat tidur. Gregory merasakan jemarinya tangan dan kakinya sudah mulai kaku. Ia sangat kedinginan, tidak peduli jika esok hari akan masuk angin atau jatuh sakit.
Sebenarnya ia bisa saja kembali ke kamar tamu sambil menunggu Vincent yang sedang menghilang entah ke mana. Kekasihnya itu memberitahunya bahwa ia sedang ke luar apartemen untuk mencari udara segar.
Ia mendengus sambil merasakan bibirnya sendiri bergetar. Tidak mungkin. Pria itu pasti sedang merasa kecewa dan marah padanya, 'kan?
Gregory rasanya ingin berteriak sekencang mungkin hingga suaranya serak, seperti orang yang sedang kesetanan. Ia merasa bertanggung jawab atas pertanyaan Vincent yang dilontarkan padanya beberapa saat lalu. Pria itu meragukan dirinya sendiri, karena respon yang ia berikan saat melihat kekasihnya memberikan sebuah gitar sebagai hadiah untuknya.
Saya sepertinya salah terus ya, Gregory?
Ia lantas memejamkan mata, menekannya dengan kedua telapak tangannya. Ia menggigit bibirnya terlalu dalam, merasakan permukaannya yang kering karena dinginnya udara kota Paris malam ini perlahan mulai lecet.
Gregory menengadahkan kepalanya, melihat langit yang gelap berwarna hitam pekat, membuatnya mengernyitkan dahi sambil menahan rasa nyeri yang muncul dalam dadanya.
Mengapa ia begitu bodoh? Hubungannya dengan Vincent yang baru seumur jagung tidak akan terus-menerus seperti ini, 'kan?
Mereka berdua... hanya memiliki masalah komunikasi, 'kan? Ia dan Vincent hanya belum begitu mengenal satu sama lain dalam mengendalikan emosi saat bertengkar, 'kan?
Berbagai pertanyaan seketika muncul dalam kepalanya, membuat kepalanya terasa pusing dan berdentam. Gregory menggelengkan kepalanya kuat-kuat, tidak ingin memikirkan berbagai kemungkinan buruk yang membuat dadanya semakin sakit. Hatinya seperti dipukul oleh palu berulang kali, membuatnya retak sedikit demi sedikit.
Namun tidak, Gregory tidak ingin membiarkannya begitu saja sampai hatinya hancur berkeping-keping.
Pandangannya mulai buram, ia merasakan air mata sudah menggenang pada pelupuk matanya, hanya tinggal menunggu waktu untuk tumpah dan membasahi kedua pipinya lagi. Dari dalam kepalanya hanya terdengar suara Vincent saat mengatakan “Saya” berulang kali.
Ia merasa hubungannya dengan Vincent mundur seratus langkah.
Gregory tidak mau kembali ke awal, merasakan bagaimana seorang Vincent bersikap sangat kaku dan cuek. Ia tidak mau.
Apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus mengejar Vincent ke luar apartemen dan menghubunginya hingga pria itu mengangkat teleponnya? Atau apakah ia harus membanjiri kekasihnya dengan pesan bertubi-tubi sampai pria itu membaca dan membalasnya?
Ataukah... ia harus menunggu sampai emosinya dan Vincent mereda?
Gregory sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ini adalah kali pertama mereka bertengkar. Seketika ia menyesali perlakuannya pada Vincent tadi, saat pria itu menutup kedua mata bulatnya dengan telapak tangannya dan menuntunnya ke arah jendela kamar tidurnya.
Seketika ia menyesali respon yang ia berikan saat melihat sebuah gitar berwarna hitam pekat berdiri dengan cantik di hadapannya.
Ia mengingatnya dengan jelas dan merekam dalam otaknya, raut wajah Vincent saat mendengarnya menghela napas, menepis tangan pria itu dengan kasar sambil menggelengkan kepala. Kekasihnya itu terlihat bingung dan mengernyitkan dahi. Sorot kedua matanya terasa asing, membuat Gregory lantas membelalakan kedua matanya, saat menyadari bahwa ia sudah kelewatan.
Sejujurnya, kekesalannya pada Vincent karena pria itu benar-benar tidak memberinya kabar sama sekali masih membekas dihatinya. Rasa kesal itu dibiarkan menumpuk dan akhirnya meledak begitu saja. Ia lantas menghela napas, memijat batang hidungnya dan melangkah keluar dari kamar Vincent tanpa sepatah katapun, tidak menghiraukan kekasihnya yang memanggil namanya dengan nada khawatir.
Ia lalu meninggalkan Vincent di sana, sambil berulang kali merapalkan kata maaf dalam hati, tanpa menolehkan kepalanya sama sekali. Ia menyesal telah membanting pintu kamar Vincent cukup keras, membuat dirinya sendiri berjengit karena terkejut.
Gregory tahu, sangat tahu, tidak seharusnya ia dengan seenaknya “menolak” pemberian Vincent tanpa alasan, yang pada akhirnya membuat pria itu mempertanyakan dirinya sendiri.
Tidak seharusnya ia bersikap seperti orang berengsek dan melampiaskan kekesalannya pada kekasihnya sendiri. Padahal dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa Vincent hanya ingin memberikan hadiah kecil untuknya, memberikannya kejutan yang mungkin akan membuatnya senang dan bahagia.
Namun jika Gregory boleh jujur, ia tidak ingin perbedaan antara dirinya dan Vincent serta merta membuat kekasihnya itu menghujaninya dengan sesuatu yang mewah dan berlebihan. Bagaimana ia harus membalas pemberian kekasihnya itu? Bagaimana ia harus membalas segala perlakuan manis kekasihnya itu? Ia teringat bagaimana Vincent dengan mudahnya mengajaknya pergi ke Versailles tanpa beban, mengajaknya makan siang dan/atau makan malam di restoran mewah tanpa berpikir panjang?
Apa yang harus ia lakukan untuk membalas semuanya itu?
Waktu terus berlalu, malam semakin larut. Langit semakin terlihat pekat, tidak tedengar lagi suara obrolan orang yang ada di sekitar gedung apartemen Vincent. Gregory masih menengadahkan kepalanya ke langit, tidak peduli dengan rasa nyeri yang perlahan menjalar pada tubuhnya akibat udara yang terlalu dingin. Ia pun tidak peduli dengan rasa pegal luar biasa pada tengkuk lehernya karena menggantungkan kepalanya pada sandaran kursi tanpa bergerak sedikitpun.
Gregory lelah, ia hanya ingin tidur, memejamkan matanya dan beristirahat hingga esok hari. Rasa kantuk yang sedari tadi menggelayut pada kantung matanya pun sangat sulit untuk dilawan. Sekujur tubuhnya terasa lemas, tidak mampu untuk berdiri dan melangkah menuruni anak tangga dan kembali ke kamar tidurnya.
Ia merindukan Vincent, di manakah pria itu saat ini?
Ia lalu tertawa getir, mengingat kejadian tadi malam saat ia mengutarakan isi hatinya pada Vincent secara tiba-tiba.
Gregory mengatakan bahwa ia mencintai kekasihnya itu saat mereka hendak pergi tidur.
Namun, rasa kecewa perlahan menggerogoti hati dan pikirannya, saat ia tidak kunjung mendengar jawaban apapun dari mulut Vincent. Ia hanya merasakan hangat tubuh kekasihnya itu saat merengkuhnya dengan erat dan satu kecupan yang cukup lama pada keningnya.
Apakah Vincent belum mencintainya?
Kekasihnya itu tidak mungkin tidak mendengar apa yang ia katakan malam itu. Mustahil.
Ia sepertinya harus berhenti menerka-nerka dan menyakiti hatinya sendiri.
Vincent... pasti mencintainya, 'kan?
Gregory masih fokus dengan pikiran buruk dan rasa sakit pada tubuhnya saat ia samar-samar menangkap suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Ia tidak sanggup menoleh, sekujur tubuhnya lemas, merasa tidak ada lagi tenaga untuk mencari tahu siapa yang sedang menaiki anak tangga dan hendak menghampirinya.
Ia merasa pusing, kepalanya berputar seperti sedang menaiki sebuah wahana di taman bermain. Perutnya mual, tenggorokannya pun terasa panas dan kering. Sekujur tubuhnya terasa terbakar ditengah dinginnya udara kota Paris, sepertinya ia benar-benar akan jatuh sakit dan terserang penyakit demam malam ini.
“—gory?” Suara itu terdengar khawatir. Siapakah orang itu? “Beau, are you okay?”
Sebentar, hanya ada satu orang di dunia ini yang memanggilnya dengan sayang seperti itu. Apakah Vincent benar-benar sudah kembali dan sekarang berada di sampingnya?
Apakah sumber suara itu berasal dari kekasihnya sendiri, atau semua ini hanya halusinasinya saja?
Ia tiba-tiba merasakan suhu tubuh yang hangat pada dahinya, sepertinya telapak tangan seseorang sedang menyentuhnya?
“Mon dieu, Gregory, you're burning,” ujar suara itu dengan nada khawatir. Pria itu menyebut namanya, lengkap dengan aksen bahasa Perancis yang khas.
Burning?
“Do you mind if I carry you? Gregory, kamu bisa dengar aku?”
Kamu. Aku... suara itu.
Gregory sebisa mungkin menganggukkan kepalanya. Ia tidak sanggup membuka matanya yang terasa berat. Namun ia dapat merasakan seseorang mengangkat kepalanya dengan hati-hati, lalu mengalungkan lengannya pada lehernya. Ia pun merasakan lengan lainnya berada dibelakang lututnya, seperti hendak menggendongnya.
“Beau,” bisik pria itu ditelinganya. Gregory merasakan hembusan napas yang hangat menyapu lembut pipi kanannya. Ia lalu merasakan seseorang mengecup pelipisnya. Bibir pria itu kering, membuatnya merasa geli. Namun suara pria itu terdengar khawatir. Ada apa? “Please answer me. Please nod or anything, Gregory. Please.”
Ia mengernyitkan dahi saat mendengar suara pria asing itu meminta. Ia lalu menganggukkan kepalanya pelan sambil meringis, merasakan nyeri luar biasa pada tengkuk lehernya.
Gregory mendengar pria itu merutuk pelan sambil menggeram. “Thank fuck.” Ia lalu merasakan tubuhnya terangkat, tidak lagi terkulai diatas kursi besi yang membuat sekujur tubuhnya sakit.
Ia merasakan pria itu menggendongnya dengan kuat, tubuhnya seperti terbang melayang-layang. Ia berusaha menelan air liurnya namun tenggorokannya terasa kering dan sakit.
Ia mencoba membuka mulutnya, berusaha mengatakan satu kata pada pria itu.
“V... Vin,” ucapnya pada pria itu sambil berbisik, nyaris tanpa suara. Ia dengan susah payah membuka mulutnya lagi, ingin bertanya untuk mendengar suara pria itu lagi. “S... s-sayang?”
“Yes, Beau,” jawab pria itu cepat sambil mengecup dahinya. “This is Vincent. This is me, don't worry.”
Ia mendengar suara kekasihnya itu menggema ditelinganya berulang kali, hingga akhirnya suara itu hilang dan ia tertidur.