the last baton | 321

⚠️ cw // sign of tipsy, insecurities, self doubt, scared with a reason* ⚠️ tw // family issues, neglected children*

ps. tolong bantu aku cari cw/tw yang sesuai untuk kata (*) diatas ya, terima kasih!


No wonder you asked me to open the door for you, Gregory,” ujar Vincent saat membuka pintu kamar tidurnya. Gregory, seorang pria yang baru beberapa hari menjadi kekasihnya itu, saat ini sedang berdiri di ambang pintu kamarnya dengan membawa banyak sekali barang.

Ia menggelengkan kepalanya heran, mencoba menghitung berapa banyak barang yang dibawa oleh kekasihnya itu.

Pria itu terlihat seperti seseorang yang sedang akan pindah rumah.

Gregory menjepit sebuah bantal tidur diketiaknya, dua gelas wine yang kakinya diselipkan pada jari tangannya, sedang tangan kanannya memegang satu botol wine serta handphonenya.

Sebenarnya, Vincent tadi sedikit berbohong saat menerima pesan dari kekasihnya itu. Ia tidak sedang membaca buku, melainkan sedang memandangi lembaran partitur miliknya yang akan dipakai saat konser orkestranya nanti.

Sejujurnya, ia sudah rindu mengayunkan baton stick dan memainkan biolanya di gedung pertunjukan yang megah—tempatnya dan klub orkestranya berlatih. Walaupun waktu breaknya akan berakhir dalam beberapa hari lagi, namun ia sudah tidak sabar untuk kembali “menenggelamkan diri” dalam rutinitasnya itu.

Ia rindu dengan kegiatan yang membuat dirinya selalu lupa dengan waktu. Ia merindukan adrenalin yang terpacu saat mengayunkan stiknya, mendengarkan lantunan melodi dan melebur menjadi satu.

Ia sangat merindukan sensasi itu.

Kenyataan bahwa konser orkestranya akan digelar lima bulan lagi, membuatnya seringkali merasa was-was setiap malam. Ia tidak bisa tidur, hanya karena memikirkan progress klubnya; apa yang harus ia lakukan saat kembali berlatih dengan klub orkestranya nanti?

Vincent merasa khawatir, apakah dengan beristirahat selama sepekan dan tidak menyentuh alat musik serta baton stick miliknya, akan membuatnya lupa dengan keahliannya? Apakah menghabiskan waktu dengan kekasihnya dan teman-temannya beberapa hari belakangan, akan membuatnya lupa dengan pieces yang akan ia mainkan saat konser nanti?

Sebuah pertanyaan lain yang tidak kalah penting pun selalu muncul dalam kepalanya, memaksa otaknya untuk berpikir dan menemukan solusinya sesegera mungkin.

Apakah ia mampu membagi waktunya antara orkestra dan Gregory?

Walaupun ia akui, semuanya berjalan persis seperti apa yang sudah ia pikirkan dan rencanakan dengan matang. Kebiasaan Vincent untuk mengatur apapun agar sesuai dengan keinginannya itu tidak serta merta bisa dihilangkan.

Selama beberapa hari belakangan, ia sibuk memikirkan bagaimana caranya agar dapat membagi waktu antara cita-cita dan cintanya.

Vincent bukannya tidak menikmati waktunya dengan Gregory akhir-akhir ini. Sama sekali tidak.

Ia hanya merasa takut, jika suatu saat nanti salah satu atau bahkan keduanya akan hancur berantakan, hanya karena ia tidak mampu membagi waktu untuk kedua hal terpenting dihidupnya saat ini.

Apakah ia mampu?

Ia lantas berdecak, berusaha menyingkirkan kegundahan hatinya dan rasa rindu pada ambisi nomor satunya itu. Vincent saat ini ingin memfokuskan perhatiannya pada pria yang ada di hadapannya itu.

Keinginannya untuk meneruskan kegiatannya dengan lembar partiturnya tadi pun hilang seketika, saat melihat Gregory menyunggingkan senyum lebarnya diambang pintu.

Raut wajah kekasihnya terlihat ceria dan bersemangat, membuat Vincent refleks menyunggingkan senyumnya. Sepertinya pria itu masih dalam suasana bahagia, mengingat bahwa ia sudah resmi menjadi bagian dari penyanyi di Caveau de la Huchette, sebuah bar yang ternyata merupakan tempat yang diimpikannya sejak lama.

Vincent pun merasa bahagia, melihat bagaimana Gregory perlahan-lahan memanjat tangga bahagianya sendiri dan mulai mencapai impiannya sedikit demi sedikit.

Menurutnya, pria yang lebih muda dua tahun darinya itu benar-benar layak mendapatkannya.

Gregory terlihat kesulitan membawa barang-barangnya, maka dengan sigap ia mendorong pintu kamarnya lebar-lebar dengan sikunya dan mengambil gelas wine yang terlihat sebentar lagi akan meluncur dari sela-sela jari kekasihnya itu.

I just want to celebrate the news with you again,” balas pria itu singkat sambil melangkah masuk dalam kamarnya. Ia lalu duduk dipinggir kasur, melepaskan sandal yang dikenakan dan mengangkat kakinya untuk bersila. “Besides, I can't drink my wine alone. I hope you like my cheap wine, Vin.”

Vincent yang sedang sibuk menaruh barang-barang bawaan kekasihnya itu hanya menggumam, lalu melirik ke arah jam yang terletak diatas nakas. Jam kesayangannya itu menunjukkan waktu pukul sepuluh malam. Ia bersyukur, setidaknya mereka berdua masih memiliki banyak waktu.

Ia lalu menengok, melihat Gregory sedang melirik ke arah sisi kasur sambil memiringkan kepalanya. Kekasihnya itu mengernyitkan dahinya saat melihat lembaran partitur yang berserakan di sana. “Aku mengganggumu, ya?”

Vincent menggelengkan kepala, ia lalu melangkahkan kakinya dan berdiri persis di depan kekasihnya yang sedang duduk dipinggir kasur. “Tidak sama sekali.” Ia menganjurkan tangannya dan menyisir surai hitam pria itu dengan lembut. Rambutnya terasa sedikit basah. “How can I help you, Beau?”

Sungguh, mengucapkan satu kata itu selalu membuat bibir Vincent berkedut. Seumur hidupnya, ia tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan memanggil seseorang dengan panggilan istimewa seperti ini. Menurutnya, panggilan itu adalah sesuatu yang berlebihan.

Untuk apa mempunyai panggilan istimewa yang dikhususkan untuk orang lain?

Ia tidak pernah menganggapnya sebagai hal yang penting. Ia justru membencinya, hingga akhirnya secara tidak langsung, Gregory mengubah cara berpikirnya itu semudah manusia membalikkan tangan.

Kekasihnya itu menghela napas berat, memajukan tubuhnya lalu menyandarkan kepalanya pada perutnya. Vincent merasakan kedua tangan Gregory dikalungkan pada pinggangnya.

Pria itu memeluknya dengan sangat erat, seperti tidak memperbolehkannya melangkah ke mana pun.

“Ngobrol aja, boleh, Vin?” Gregory lalu bertanya sambil mendongakkan kepalanya. Sepasang manik hazelnya bertemu dengan mata bulat yang sudah terlihat sayu itu. “Sambil minum wine. How does that sound to you?”

Ia menggumam sambil tangannya mengusap puncak kepala pria itu. “Of course, Gregory. Just open the bottle, I'm going to change my clothes, okay?”

Gregory mengangguk, melepaskan kedua tangannya lalu mengacungkan kedua ibu jarinya dan tersenyum lebar.

Senyum yang secara tidak sadar, adalah hal pertama yang membuat hati Vincent seketika melompat dari tempatnya, saat mereka bertemu di restoran Page 35.

Okay, thank you, sayang,” jawab Gregory sambil berdiri dari duduknya dan mendekatkan wajahnya. Pria itu mengecup bibirnya yang kering dengan cepat, membuat tubuh Vincent sedikit terhuyung ke belakang karena aksi spontan itu.

Satu kecupan mampu membangunkan seluruh sel dalam tubuhnya, membuatnya dengan cepat mengangkat tangannya dan menahan tubuh Gregory saat hendak melangkah mundur.

Kekasihnya itu terdengar melenguh, napasnya memburu saat Vincent membalas ciumannya lebih lama. Bibir mereka beradu, bergesekan layaknya dua medan magnet yang menempel, enggan untuk dipisahkan. Ia lantas menyelipkan kedua tangannya kedalam kaus tipis pria itu, telapak tangannya bersentuhan dengan hangat tubuh Gregory.

“Vin, sayang,” bisik kekasihnya pelan, membuat Vincent tidak bisa menahan senyumnya sendiri.

Ia hanya membalasnya dengan tawa renyah. “Yes, my love?”

Ngh,” keluhnya disela-sela ciuman mereka. Vincent menggerakan lidahnya dengan hati-hati, seperti sedang menjilat es krim mahal yang meleleh. Gregory mendesah pelan. Vincent melihat kekasihnya itu mengernyitkan dahinya, kedua mata bulatnya terpejam.

Pria itu lalu meresponnya dengan sebuah kalimat yang terdengar jelas. “Sayang, once we go, I don't want to stop.”

Mendengarnya, Vincent hanya bisa terkekeh, menggigit bibir bawah Gregory dengan sangat pelan, lalu mengulumnya dengan lembut, sebelum akhirnya menarik bibirnya sendiri. “Ya sudah kalau begitu, make outnya dilanjutkan nanti saja ya, saat mau tidur,” usulnya sambil menangkup wajah kekasihnya itu dan mengecup keningnya.

Gregory menggumam, lalu memiringkan kepalanya sedikit dan mengecup bahu kirinya. “Alright then, though bibir kamu terlihat jauh lebih menarik, Vin,” bisik pria lembut, sambil ibu jarinya mengusap bibir bawah Vincent.

Sepasang mata bulatnya menatap manik hazel dan bibirnya bergantian.

Pria itu tengah menghela napas berat, membuat Vincent merasakan aroma mint pasta gigi menyusup kedalam indra penciumannya. Mata bulat Gregory yang biasanya mengerling, saat ini terlihat sayu.

“Jadi mau ngobrol,” balas Vincent sambil menaikkan satu alisnya, “atau mau make out, sayang?”

Kekasihnya itu berdecak sambil mengangkat kaus oblongnya sedikit, memperlihatkan perutnya yang berbentuk seperti roti sobek. “Ngobrol saja deh, Vin. Selagi aku ingin. Ya?”

Vincent lantas mengangguk, lalu mengusap lengan Gregory dan akhirnya menggenggam tangannya. Ibu jarinya bermain pada punggung tangan kekasihnya itu.

Okay, ayo kita pindah ke sofa.”


Selama kurang lebih satu jam mereka habiskan dengan membicarakan banyak hal, terutama tentang rencana Gregory setelah mendengar kabar gembira dari Alex beberapa saat lalu.

Kekasih Vincent itu menceritakan bahwa sepertinya, ia akan meminta kompensasi pada pemilik Les Disquaires untuk memiliki pekerjaan di dua tempat yang berbeda. Walaupun sebenarnya, pria itu tahu bahwa dirinya pasti suatu saat akan kesulitan, melihat jarak tempuh keduanya cukup jauh. Pun letak apartemennya yang menjadi faktor utama.

Vincent mendengarkan Gregory berbicara sambil tersenyum. Ia selalu memperhatikan kebiasaan pria itu, kerap menggerakkan kedua tangannya setiap menjelaskan sesuatu. Ia memandangi pria yang duduk di hadapannya itu sambil menopang dagunya, tangan kirinya memegang kaki gelas wine dan membuat gerakan memutar searah jarum jam.

Satu hal yang baru disadari oleh Vincent, adalah bagaimana Gregory selalu menggigit bibir bawahnya sendiri kala sedang berpikir, sambil mata bulatnya memandang ke arah lain.

Pria itu lucu sekali, membuatnya ingin segera berdiri dan pindah duduk di sampingnya.

Namun Vincent perlahan menyadari, bahwa kekasihnya itu sudah beberapa kali menguap, matanya terlihat lelah. Ia tidak tahu apakah Gregory sudah agak mabuk karena mereka berdua benar-benar menghabiskan satu botol wine hingga tandas, atau memang pria itu sudah mengantuk.

Maka ia akhirnya mengusulkan untuk menyudahi pembicaraan malam ini dan mengajaknya pindah ke kasur untuk berbaring.

Gregory langsung mengiyakan ajakannya itu tanpa suara. Pria itu hanya mengangguk lalu menegakkan tubuhnya dan berdiri. Vincent lantas mengurai rambutnya yang terikat dan menyugarnya, lalu melepaskan kacamata bulatnya dan menaruhnya disamping gelas wine miliknya. Ia lalu berdiri dan melangkahkan kakinya ke arah Gregory yang sudah terlihat mengantuk.

Vincent menganjurkan kedua tangannya untuk menarik tangan Gregory, lalu merangkul kekasihnya itu sambil mengecup pipi kirinya. “Let's go to sleep, okay? You look tired, Gregory.”

Pria itu menggumam lalu mengecup bibirnya singkat. “I guess I drank a lot, Vin. Makanya aku ngantuk. I'm sorry for ruining the night,” kata pria itu meminta maaf, sambil menarik tangannya untuk melangkah ke arah kasur.

It's okay, Beau. We talked all night and you drank a lot, indeed. Pantas kalau kamu sudah mengantuk.”

Gregory terkekeh. Sepertinya pria itu sudah mabuk, pipinya terlihat memerah dan terasa hangat saat ia mengecup pipinya tadi. “You know me so well Vincentius.”

Of course I do, sayang.”

Setelah mengganti pakaiannya dengan kaus longgar favoritnya, Vincent lalu melangkah ke arah kasur dan menyibak selimut tebal miliknya. Gregory sudah lebih dulu memilih sisi kasur dan merebahkan dirinya di sana. Pria itu sudah melepas kausnya, lebih memilih tidur tanpa menggunakan atasan, alasannya karena kegerahan.

Vincent lalu melepaskan sandalnya, ia memanjat kasurnya dan sedikit merangkak mendekati Gregory. Pria itu terlihat memandangi dirinya dengan sorot mata yang sayu, sambil melipat tangannya dibawah bantal yang dibawanya dari kamar tamu.

Ia tersenyum saat Gregory menganjurkan tangannya dan mengalungkan keduanya pada ceruk lehernya. Kekasihnya itu memeluknya dengan sangat erat, hampir membuatnya sedikit tidak bisa bernapas.

Ia lalu menaruh kepalanya pada bantal empuk miliknya, lalu melipat tangannya dibelakang kepala, menyediakan lengannya sendiri untuk digunakan oleh Gregory sebagai bantal.

Saat ini kamarnya terasa hening, hanya terdengar suara hela napas masing-masing. Lampu ruangan sudah dimatikan oleh Vincent, digantikan dengan lampu tidur dengan cahaya minim yang terletak pada nakas.

Sepertinya akan tidur nyenyak malam ini. Ia yakin pengaruh alkohol dan Gregory yang saat ini ada dalam pelukannya akan mempermudah prosesnya.

“Sayang,” kata Gregory tiba-tiba, memecah keheningan diantara mereka.

“Ya, Gregory?”

Pria itu bertanya dengan hati-hati. “Aku... boleh tanya sesuatu?”

Vincent mengernyit. Tentu boleh. “Boleh, Beau. Apa yang ingin kamu tanyakan?”

Speaking of dreams, Vin,” ujar pria itu sambil menyandarkan kepala diatas dadanya. Tangan kanan kekasihnya itu memeluk pinggangnya, pun kakinya diletakkan diatasnya. Kedua kaki mereka tumpang tindih, hangat tubuh Gregory selalu membuat Vincent merasa nyaman. “Is there anything else you want to achieve? Your short-term dream or bucket list, perhaps.”

Vincent terdiam, saat mendengar pertanyaan itu terlontar dari bibir kekasihnya. Ia belum pernah menceritakannya pada siapapun, tidak ada yang tahu mengenai mimpi terbesarnya selain orang tuanya dan Timothy.

Apakah ini adalah saat yang tepat untuk membuka rahasia terbesarnya, menceritakan ambisinya pada orang lain? Kepada Gregory, seseorang yang saat ini sebenarnya menduduki posisi kedua setelah mimpinya?

Seseorang yang sebenarnya sedikit membuatnya takut dan ragu, apakah nantinya, pria itu akan melengserkan mimpinya sendiri dan mengalahkan cita-citanya karena cinta?

Apakah harus sekarang, selagi waktunya tepat?

Ia menghela napas, sambil tangannya menyisir surai hitam Gregory yang lebat. Ia berdeham, akhirnya menjawab pertanyaan kekasihnya itu. “Hanya ingin latihan berjalan lancar dan konser akan berakhir dengan sukses, Gregory.”

Singkat, padat, dan jelas.

Namun sepertinya otak dan mulutnya saat ini sedang tidak bisa diajak bekerja sama.

I also have a big dream, and I know I'm willing to do everything to achieve that, my love.”

Vincent menjawab, meloloskan kalimat itu dari bibirnya, membuat kekasihnya lantas mengangkat kepalanya dan mengerjapkan mata bulatnya. Gregory terlihat penasaran, senyumnya tersungging lebar pada wajahnya.

Sepertinya mendengar jawabannya membuat kantuk pria itu lantas pergi, tidak lagi menggelayuti matanya.

Dada Vincent sedikit nyeri melihatnya.

Oh? Everything?” What is it, Vin?” Kekasihnya itu bertanya, menuntut jawaban darinya dengan suara serak. Vincent lantas menghela napas pelan, lalu mengarahkan jari telunjuknya untuk mengusap alis kekasihnya itu.

Sekarang, atau tidak sama sekali, Vincentius.

To be the best orchestra conductor in the world, Beau,” jawabnya mantap sambil tetap memandangi mata Gregory lekat-lekat. Ia menggeser jari telunjuknya untuk menyentuh batang hidung pria itu. “Orang selalu meremehkan mimpiku. To be honest, I don't care. I know I'm capable, so yeah...,” katanya lagi sambil tersenyum simpul. “Aku pikir, orang lain saja bisa, mengapa aku tidak bisa?”

Seketika mata bulat pria itu terbelalak, telapak tangannya menutup mulutnya yang sedang menganga, membuat Vincent lantas mengernyitkan dahi.

“Ada apa, Gregory?”

“Tidak ada apa-apa, hanya ingin tahu saja,” balas kekasihnya sambil tersenyum. Pria itu tidak terlihat heran atau bingung sama sekali? “Kamu hebat. Aku bangga, Vin. Aku sampai sekarang belum tahu apa mimpiku sebenarnya. It's like, blurry. My life. Seperti tidak ada tujuan hidup, don't you think?

“Kamu, dengan segala ambisimu. Aku, dengan segala keinginanku untuk bahagia. Itu saja sudah cukup.”

Senyum Gregory membuat dadanya semakin terasa nyeri. Apakah ia mengambil keputusan yang salah?

Pria itu lalu menyambung lagi. “Apa aku terlalu santai, ya? I don't have any goals. Though I said that because I always compare myself with others.”

Vincent memejamkan matanya dan merutuk dalam hati.

Kalau saja ia tahu jawabannya tadi akan membuat kekasihnya tiba-tiba menyingkirkan rasa kantuknya, hanya untuk meragukan dirinya sendiri seperti ini.

Mengapa ia dengan santainya menceritakan ambisinya sendiri?

Bodoh sekali, Vincentius.

Ia lalu membuka matanya, tersadar bahwa kekasihnya sudah kembali menyandarkan kepalanya lagi diatas dadanya. Vincent memijat batang hidungnya dengan tangan kirinya, berusaha menenangkan hati dan pikirannya sebelum menanggapi kekasihnya itu.

“Menurutku, bahagia itu tidak ada ukurannya, Gregory, tidak tentu. Coba dimulai dari yang sederhana saja,” jelasnya sambil merengkuh tubuh kekasihnya itu. “Seperti tadi, saat kamu membaca pesan dari Alex. You cried, because you really wanted to work and sing at Caveau de la Huchette. And I knew well it's a happy tears. Bahagiamu tidak bisa dibandingkan dengan orang lain, Gregory. Begitupun sebaliknya.

“Seperti kata Ayahku dulu,” katanya untuk menutup kalimatnya barusan.

Gregory tiba-tiba bertanya, ibu jari dan telunjuknya memilin-milin ujung kaus yang dikenakannya. “Do they contact you regularly, Vin?”

Vincent menggumam, tangannya masih mengusap belakang kepala kekasihnya itu. Ia sedikit kaget dengan pertanyaan Gregory yang mengalihkan pembicaraan sebelumnya. Ia merasa sedikit kewalahan dan bingung.

My parents?” Gregory menggerakkan kepalanya turun naik didadanya, ia mengangguk. Pria itu sedang membentuk lingkaran yang abstrak dengan ibu jarinya pada perutnya. “Rarely. I don't feel like talking to them sometimes. Why, Beau?”

Kekasihnya itu terdengar tertawa kecil sambil menggeleng. “Just curious. They must be amazing, to have you as their son.” Gregory berkata dengan lirih, entah karena mengantuk atau hal lain. “My parents never called or even text me. They didn't let me either, seperti yang pernah aku ceritakan waktu itu.”

Ia mendengar Gregory menghela napas berat, lalu menarik tangannya untuk mengusap kedua matanya.

Apakah kekasihnya itu sedang menangis?

I felt like shit at first,” tambahnya kemudian, lalu menghentikan kata-katanya dan mengangkat kepalanya lagi.

Gregory menatapnya dengan penuh arti sambil tersenyum sumringah.

But lately, I am happy.”

Tunggu sebentar.

Thanks to you and our friends,” kata kekasihnya itu sambil mengarahkan tangannya untuk menyentuh dagunya yang kasar karena janggutnya yang tipis.

But mostly, it's because of you, sayang,” jelasnya sambil memajukan wajahnya dan mengecup bibirnya singkat. “So, thank you so much.”

Ia melihat Gregory tersenyum simpul, membuat Vincent lantas mengangkat tangannya dan menahan kepala pria itu untuk membalas ciumannya.

No need to say thank you, Beau. You make me happy too.”

Pria itu membalas kata-katanya hanya dengan menggumam, terlihat mengerjap-ngerjapkan matanya perlahan sebelum akhirnya kembali menyandarkan kepalanya pada dadanya.

Gregory terlihat hampir tertidur dalam pelukannya dengan nyaman, meletakkan tangan kanannya pada pinggang Vincent.

I love you, Vin,” kata pria itu lirih, membuatnya refleks membelalakan matanya.

Sekujur tubuhnya terasa kaku saat mendengarnya, otaknya berhenti bekerja, pun gerakan tangannya yang sedari tadi mengusap kepala kekasihnya itu.

Tiga kata itu.

Akhirnya Vincent mendengarnya dari mulut kekasihnya. Ia sama sekali tidak tahu apakah pria itu mengatakannya dalam keadaan sadar atau tidak.

Namun mendengar pernyataan itu membuat dirinya menghela napas berat, merasakan dadanya berdegup lebih cepat.

Pria itu mencintainya?

Mereka berdua memang sama sekali belum mengutarakan kata cinta. Bagi Vincent, jatuh cinta berbeda dengan kata cinta itu sendiri. Baginya, menyukai dan mengagumi seseorang berbeda dengan mencintai seseorang.

Rasa takut kembali mencuat dari dalam dadanya, telinganya seperti mendengar pikirannya sendiri berteriak padanya. Kedua matanya seperti dipaksa melihat tulisan besar dan tebal yang dibentuk oleh imajinasinya sendiri.

Cita-cita nomor satu, cinta nomor sekian, Vincentius.

Ia tidak tahu, siapakah yang sedang berbicara dengannya saat ini?

Apakah hatinya, atau egonya sendiri?

Mungkin suatu saat nanti, ia akhirnya berani menyatakan perasaannya itu pada Gregory dengan mantap.

Suatu saat nanti.

Hanya dirinya, pikirannya, dan keheningan malam itu yang mengetahui isi hatinya saat ini.

Vincent akhirnya hanya membalas tiga kata itu dengan mengecup kening Gregory. Ia hanya bisa melafalkannya tanpa suara, membiarkan kata-katanya sendiri menguap di udara.

I guess I love you, too, Beau...

and it scares me.