the last baton | 284

Suasana hati Gregory pagi ini cukup baik. Ia tidur dengan nyenyak tadi malam, sama sekali tidak memimpikan apapun. Bahkan ia benar-benar langsung memejamkan matanya dan tertidur setelah membaca pesan balasan dari Vincent. Pria itu sempat mengucapkan selamat tidur dan mimpi indah untuknya.

Sepertinya Tuhan mengabulkan permintaan pria itu.

Ia lalu menyunggingkan senyumnya yang lebar dan sumringah, kemudian menarik bantal yang ada dibelakangnya dan membenamkan wajahnya dengan posisi bersimpuh. Ia setengah berteriak, saat mengingat bahwa semalam Vincent mengatakan akan mengajaknya pergi ke Istana Versailles hari ini.

Versailles, tempat yang selama ini ingin Gregory kunjungi karena keindahan dan kemegahannya. Namun selalu ia urungkan, mengingat waktu yang tidak mungkin ia habiskan dalam perjalanan sendirian dan harga tiket yang cukup membuat tabungannya berteriak. Ia lebih memilih untuk berhemat dan menunda keinginannya itu.

Toh Versailles tidak akan pernah pergi ke manapun, 'kan?

Namun saat Vincent mengatakan bahwa hari ini akan menjadi kencan pertama mereka, ia merasakan sekujur tubuhnya lemas. Ia sempat tertawa tidak percaya, pun merasakan dadanya berdegup sangat kencang. Ia gugup.

Hari ini adalah kencan pertama mereka, dan mereka akan mengunjungi Istana Versailles, tempat yang selama ini menduduki posisi paling atas bucket list-nya.

Saat Gregory melirik layar handphonenya, ia melihat waktu sudah menunjukkan pukul delapan lebih lima menit. Maka dengan gerakan cepat, ia menyibakkan selimut tebal yang dipakainya tadi malam, lalu menurunkan kedua kakinya dan berpijak pada lantai.

Dingin sekali, membuat sel-sel yang ada dalam tubuhnya seketika terbangun, seperti sehabis tersetrum. Namun ia tidak peduli. Ia langsung berdiri dan melangkahkan kakinya lebar-lebar ke arah kamar mandi dan akan bersiap.

Hari ini pasti akan sangat menyenangkan. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Vincent dan menikmati pemandangan serta keindahan Istana Versailles.

Lima belas menit telah berlalu, akhirnya Gregory menyelesaikan kegiatannya dan melangkah ke luar dari kamar mandi. Ia melilitkan sebuah handuk putih tebal pada pinggangnya, sambil kedua tangannya menyeka rambut hitamnya yang masih basah dengan handuk kecil.

Ia lantas melangkahkan kakinya ke arah sofa kecil yang terletak di sudut ruangan itu, mencoba membongkar isi tasnya yang cukup penuh karena membawa beberapa potong pakaian. Sebenarnya ia benar-benar harus kembali ke apartemennya sendiri untuk mengambil pakaiannya. Ia tidak mungkin mengenakannya berkali-kali, pun ia tidak mau membeli pakaian baru.

Gregory mendesah dan menghela napas, merasa beruntung Vincent dan kedua teman dekat pria itu mengizinkannya untuk tinggal di tempat ini selama beberapa hari ke depan. Ia masih takut dengan kemungkinan bahwa Warren bisa saja masih setia mengunjungi apartemennya, menunggunya muncul dan keluar dari sana.

Ia lalu menggelengkan kepalanya, tidak ingin memenuhi kepalanya dengan memikirkan pria berengsek itu.

Hari ini adalah kencan pertamanya dengan Vincent. Hari ini mereka akan ke Versailles. Hari ini mereka akan menghabiskan waktu bersama, rapalnya tanpa suara.

Saat Gregory membongkar isi tasnya yang tersusun sangat rapi, ia melihat kaos berwarna hitam pemberian Thomas, kado ulang tahun yang selalu dibawanya ke mana pun ia pergi. Ia lantas tersenyum, lalu menoleh ke arah gantungan pakaian di dekat pintu kamar mandi. Ia melihat kemeja dengan pola kotak-kotak miliknya yang berwarna putih hijau, dengan didominasi garis merah dan biru.

Otaknya seketika bekerja, berusaha memadukan kedua pakaiannya itu.

It's going to be a very long morning, I guess, batinnya.

Gregory sedang bercermin pada standing mirror yang tertanam pada pintu lemari pakaian kamar itu, sambil menyemprotkan parfum miliknya pada ceruk leher dan nadinya, saat ia mendengar bunyi ketukan pada pintu kamarnya tiga kali.

Seketika, senyum sumringah tersungging diwajahnya. Itu pasti Vincent, pikirnya. Pria itu benar-benar “menjemput”nya ke kamar tamu ini, seakan-akan mereka berdua sedang tidak dalam satu apartemen. Gregory menggelengkan kepalanya sambil merapikan kerah jaket dan memasukkan kaos hitamnya kedalam celana joggernya.

Ia lalu berdecak pada pantulan dirinya dan berbisik, meyakinkan dirinya sendiri bahwa harinya akan menyenangkan dengan Vincent.

You got this, bro. Good luck.

Gregory lalu menyambar tas selempangnya yang berwarna hitam dan melangkah ke arah pintu kamar dan membukanya.

Ia akhirnya bertemu mata dengan Vincent.

Pria itu terlihat sangat tampan, dan oh tentunya, sangat wangi. Pria itu mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih polos, dengan celana jins berwarna biru gelap. Rambut hitamnya yang panjang sebahu dikuncir setengah, membuat Gregory rasanya ingin sekali menganjurkan tangannya untuk menyisir surai pria itu.

Ah, mungkin nanti.

Bonjour, Gregory,” sapa pria yang ada di hadapannya itu tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya. “Ready to go? Lebih baik kita sarapan dulu di kafe Au Coeur Couronné, setelah itu kita berangkat ke Versailles dengan mobil. Bagaimana?”

Gregory menganggukkan kepalanya mantap sambil melangkah keluar dari kamar. Ia lalu menutup pintu ruangan itu dan menoleh ke arah Vincent setelahnya. “Boleh, Vin. Lo pasti sudah merencanakan segalanya, jadi gue ikut saja,” jawabnya sambil melempar senyum.

“Ya, begitulah. Tidak mau mengacaukan kencan pertama,” sambung Vincent lagi sambil mengusap tengkuknya sendiri. Ia terlihat kikuk, Gregory rasanya ingin memeluk pria itu saat ini juga.

Pria itu lucu sekali.

Ia lalu memperhatikan gerak-gerik Vincent. Pria itu terlihat mengusap kedua tangannya pada celananya sambil mendongak.

Sepertinya ia gugup? Gregory tidak tahu.

Namun gerakan matanya berhenti memperhatikan pria itu saat ia mendengarnya berbicara. “You look nice by the way.”

Gregory hanya bisa tersenyum sambil memiringkan kepalanya. “Thank you, Vin. I want to dress up a little bit since it's our first date,” katanya sambil mengerlingkan matanya. “You don't look so bad yourself! Eh, lo sih selalu terlihat tampan, ya, jadi, baiklah statement gue barusan mungkin tidak berlaku,” lanjutnya sambil berdecak mengangkat alisnya sebelah.

Vincent lalu tertawa dengan suaranya yang khas, membuat Gregory merasa senang karena pagi ini setidaknya ia sudah menjadi sumber kebahagiaan orang lain hanya dengan pujiannya. “Well, thank you for the compliment, Beau,” balas pria itu sambil menyeringai.

Mendengar jawaban pria itu barusan, Gregory hanya bisa memutar kedua bola matanya sambil menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan kedua pipinya yang pasti saat ini sudah terlihat memerah. Pun kedua telinganya sudah terasa menghangat.

Ia lalu berpikir, sebaiknya ia harus segera membiasakan diri mendengar panggilan dari pria itu untuknya. Ia tidak bisa terus-terusan terlihat seperti anak remaja sedang jatuh cinta, 'kan? Kedua pipi dan telinga memerah, bulu kuduk meremang, dan merasa seperti ada kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya terbang ke sana kemari untuk menggelitik dadanya.

Vincent sekilas melirik jam tangan yang dipakai dipergelangan tangan kirinya sambil tangan satunya memasukkan handphonenya kedalam saku celana jinsnya itu.

“Yuk. Kamu sudah siap? Kita harus segera berangkat karena mengejar jadwal masuk area palace,” kata pria itu sambil mengisyaratkan padanya untuk melangkah ke arah pintu apartemen. “Saya baca informasi di internet, katanya antrean akan cukup panjang kalau kita sampai di sana agak siang.”

Ia menanggapi pria itu dengan menggumam. “Oke. Tapi kalau begitu, apa makannya boleh sambil di perjalanan saja? Supaya kita bisa menghemat waktu, Vin.”

“Boleh,” kata Vincent sambil tersenyum, lalu mengenakan loafersnya yang berwarna hitam dihiasi gold hardware dengan huruf G ditengahnya, melengkapi outfit pria itu hari ini dan terlihat sangat elegan.

Gregory lalu mengambil sepatu boots miliknya yang berwarna hitam dan mengenakannya, sambil membungkuk untuk mengikat talinya.

“Yuk, I'm ready!” Serunya sambil menjentikkan jarinya ke arah Vincent dan mengedipkan mata kirinya.

Ia terlalu bersemangat hari ini, sudah tidak sabar!

Vincent yang sedang berdiri di sampingnya hanya terkekeh, lalu menganjurkan tangan kanannya ke arah wajahnya. Ia lalu merasakan jari telunjuk pria itu mencolek dagunya pelan. “Let's go, Gregory.”

Oh mon Dieu.


Setelah ia dan Vincent membeli sarapan yang sekiranya praktis untuk dinikmati saat di perjalanan, mereka kembali ke apartemen Vincent untuk mengambil mobil dan berangkat menuju Versailles.

Perjalanan menuju istana itu memakan waktu sekitar tiga puluh hingga empat puluh menit dengan menggunakan mobil. Walaupun hari ini adalah hari biasa, tapi ia berdoa agar setidaknya mereka tidak akan terjebak dalam kemacetan.

Ini adalah kali pertama mereka berdua pergi ke daerah yang cukup jauh dari kota Paris. Biasanya Vincent hanya mengajaknya untuk pergi di sekitaran kota, yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau menggunakan metro.

Sebenarnya, mereka bisa saja pergi ke sana dengan menggunakan RER* C dari stasiun Saint-Michel Notre-Dame. Ia pun sempat bertanya pada Vincent mengenai alternatif itu. Namun pria yang sedang mengendarai mobil sambil mengetuk-ngetukkan jemarinya pada setir itu hanya mengatakan bahwa perjalanannya akan lebih lama, kurang lebih akan ditempuh dalam waktu lebih dari satu jam.

“Nanti waktu kita terbuang cukup banyak. Saya tidak mau membuat kamu merasa bosan di perjalanan,” jelas pria itu tadi sambil menganjurkan tangan kirinya untuk menggenggam tangannya dan menautkan jari mereka.

Vincent melirik ke arahnya sekilas sambil tersenyum simpul, saat mendengarnya mendengus keras. Ia berusaha untuk terbiasa dengan perlakuan pria itu yang cukup spontan dan membuat jantungnya seperti akan lepas dari tempatnya.

Pria itu menyambung lagi, menjelaskan padanya untuk kesekian kalinya bahwa ini adalah hal baru untuknya. “This is my first time asking someone out, so I apologize if it seems too well-planned.”

Ia hanya terkekeh sambil menggenggam tangan Vincent lebih erat dan membolak-balikkan tangan mereka. “Gue paham kok, Vin, and it shows. And it's okay, gue malah sudah senang. Jadi, terima kasih, ya?”

Vincent menggumam dan menyunggingkan senyum kotaknya. “Terima kasih kembali, Gregory. Semoga hari ini menyenangkan.”

Mereka berdua lalu menghabiskan waktu selama di perjalanan dengan membicarakan banyak hal. Gregory sempat teringat dan akhirnya memberitahu Vincent bahwa pemilik bar Caveau de la Huchette rencananya akan memberi kabar tentang interviewnya beberapa waktu lalu dalam minggu ini. Jika ia tidak mendapat kabar sama sekali, maka kesempatannya untuk bekerja di sana akan hilang.

Vincent mendengarkannya berbicara dengan sangat serius, sambil tetap fokus dengan jalanan di depan. Pria itu pun sempat memberikan sudut pandang lain, kemungkinan yang akan terjadi jika dirinya berhasil diterima di bar itu atau tidak. Selain itu, Vincent mengatakan, mungkin saja ia harus fokus dalam pekerjaannya di Les Disquaires, toh ia baru bekerja di bar itu cukup sebentar.

Namun Gregory hanya menanggapi dengan menggumam. Ia akhirnya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri.

Ia memikirkan bahwa saat ini bukan hal yang tepat untuk memberitahu apa alasannya mengapa ia ingin pindah ke bar lain, yang prospek kariernya terlihat lebih menjanjikan.

Ya, mungkin lain waktu ia akan memberanikan diri dan akhirnya memberitahu pria itu.

Tidak sekarang.

Ia masih punya banyak waktu. Ia akan menceritakannya pada Vincent saat ia sudah merasa siap.


Mereka berdua akhirnya sampai di area Istana Versailles dua puluh menit kemudian. Cuaca cukup cerah, namun tidak membuat mereka lantas patah semangat. Gregory sempat membawa sunglasses miliknya jika diperlukan. Area parkir istana itu pun tidak terlalu ramai, Vincent tidak perlu menghabiskan waktu yang lama untuk mencari satu slot parkir yang kosong.

Mereka akhirnya turun dari mobil dengan membawa barang-barang seperlunya. Vincent yang tidak membawa tas dari apartemennya akhirnya menitipkan dompet dan kunci mobilnya pada Gregory. Pria itu khawatir tempat wisata itu akan ramai dan dipadati oleh pengunjung. Ia lantas mengangguk dan mengambil dua benda itu dari tangan Vincent.

Gregory akhirnya melangkahkan kakinya mantap sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar istana yang terlihat sangat megah dan luas dari kejauhan. Ia merasa terharu, akhirnya ia dapat mengunjungi tempat ini dan tidak hanya seorang diri.

Ia sangat bersemangat, tidak sadar bahwa ia sudah meninggalkan Vincent yang berjalan dengan santai, mengekor di belakangnya. Gregory lalu membalikkan tubuhnya, melihat pria itu hanya tersenyum sambil menggerakkan kedua alisnya. Ia melihat Vincent mengangkat tangan kanannya, mempersilakan dirinya untuk berjalan lebih dulu dan meninggalkan pria itu di belakang.

Namun ia akhirnya menggeleng sambil menggigit bibir bawahnya, lalu berlari-lari kecil menghampiri Vincent yang berjarak tidak jauh dengan tempat dirinya berdiri.

Vincent menganjurkan tangan kanannya dan mengusap pelan belakang kepala Gregory. Pria itu tersenyum ke arahnya, sorot matanya teduh. “You look happy, Gregory,” katanya singkat sambil tangannya bergerak naik turun untuk menyisir rambutnya. “Saya senang melihatnya.”

Gregory lantas tersenyum lebar. “Tentu saja gue senang! Thank you so much, Vin. This means a lot to me.”

No worries, Gregory.” Pria itu tersenyum, membuat hatinya terenyuh. Vincent membuatnya sangat bahagia hari ini. “Ayo kita ke sana untuk mengantre,” ajak pria itu sambil menunjuk ke arah pintu masuk.

Hari ini area pintu masuk istana Versailles tidak terlihat ramai. Antrean pun tidak terlihat panjang dan mengular seperti biasanya.

Gregory lantas melirik ke arah jam tangan Vincent. Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas menit.

Yeah, let's go.”

Setelah mengantre dan menunjukkan tiket pada petugas, mereka berdua akhirnya memasuki halaman istana, melewati pagar yang panjang dan menjulang tinggi.

Gregory tidak sadar sudah menarik-narik pelan tangan Vincent untuk segera masuk ke dalam gedung yang beberapa pintunya terbuka itu. Pria itu hanya terdengar terkekeh sambil mengiyakan ajakannya, segera berlari-lari kecil dan berjalan bersisian dengannya. Gregory tersenyum lebar, meminta maaf karena sudah terlalu bersemangat. Vincent hanya mengangguk dan menarik tangan kanannya.

Ia sangat menyukai pria itu.

Tidak. Ia jatuh cinta.

Saat akhirnya masuk ke dalam gedung, terlihat dua patung yang berdiri menjulang tinggi pada kedua sisi ruangan menyambut mereka. Gregory lalu menundukkan kepalanya, menyadari bahwa lantai istana itu dilapisi marmer, yang dipastikan umurnya sudah ratusan tahun.

Ia lalu menengadahkan kepalanya, melihat beberapa lampu dengan cahaya kuning menggantung pada atapnya, membuat ruangan itu terasa lebih hangat. Di hadapannya, terlihat lorong panjang dengan dinding warna putih gading, pilar-pilar di sisi kanan kiri menjadi penopang. Ia sangat terpukau, tidak sadar sedari tadi hanya sibuk mengedarkan pandangannya ke kanan kiri ruangan sambil berseru “aah” dan “ooh” ria, tanpa mencari tahu di mana keberadaan Vincent.

Ia melangkahkan kaki, menyusuri bagian dalam istana dan mengikuti arah petunjuk yang disediakan dengan jelas di setiap sudut. Gedung istana itu memiliki banyak sekali ruangan yang memiliki akses yang terhubung satu dengan yang lain. Banyak sekali lukisan yang digantung pada dinding, pun atap istana itu dilukis dengan sangat indah, terdapat cerita yang digambarkan dengan sangat apik di sana.

Gregory seperti berada di dunia berbeda, bukan lagi di Paris. Ia merasa dibawa ke suasana dan penggambaran keadaan ratusan tahun yang lalu.

Saat ia melangkahkan kaki dan berbelok dari ruangan sebelumnya, ia lantas terkejut dan ternganga.

Di hadapannya saat ini, terlihat satu area yang sangat terkenal dari sekian banyak area di Château Versailles ini. Gregory melihat lorong tersebut begitu luas dan megah, sisi kanan kirinya dilapisi kaca, memantulkan pemandangan taman di luar area gedung istana. Ia lantas menengadahkan kepalanya, melihat lukisan yang menceritakan tentang Raja Perancis Louis XIV, yang dipersembahkan oleh Charles Le Brun untuk raja itu.

“Vin! The Galerie des Glaces*!” Ia memanggil pria yang sedari tadi tidak terlihat batang hidungnya. Namun Gregory merasa pria itu berjalan mengekor di belakangnya. “Oh mon Dieu, it's so beautiful. Vin, lihat kaca dan atapnya!”

Ia sibuk mengedarkan pandangannya, terpukau dengan istana ini yang begitu luar biasa. Jujur, ia merasa tertipu dengan suasana di luar istana saat hendak masuk tadi. Saat ini terlihat beberapa rombongan pengunjung hampir memenuhi area ini untuk berfoto, mengagumi lukisan di atap ruangan itu, dan melihat ke area taman dari balik kaca. Walaupun tidak terlalu sesak, namun ia merasa harus ekstra hati-hati saat melangkah atau saat mengedarkan pandangannya. Ia tidak ingin tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan dengan tidak sengaja menabrak salah satu patung yang berdiri di kedua sisi lorong itu.

Gregory pun dengan sigap mengeluarkan handphonenya dan membuka aplikasi kameranya. Ia lalu sibuk mengambil foto ruangan itu dari berbagai angle, siapa tahu ia akan membutuhkannya suatu hari. Atau mungkin ia akan membongkar perlengkapan lukisnya dan melukisnya diatas kanvas? Ia juga tidak tahu. Yang pasti, ia merasa harus mengabadikan keindahan ini dengan kameranya.

Ia lalu menyadari, mengapa Vincent tidak menanggapi kalimatnya barusan?

Gregory lalu menoleh ke samping kanan dan kirinya, ia tidak menemukan sosok pria itu. Di mana Vincent berada?

Maka, dengan sedikit panik, ia hendak memutar tubuhnya, bermaksud untuk mencari sosok pria itu ditengah kerumunan. Namun gagal saat tiba-tiba ia merasakan kedua tangan seseorang menyentuh lekuk pinggangnya.

Oh. Ia tahu betul siapa sosok yang saat ini memegang pinggangnya itu.

“Tenang, tenang, Gregory,” bisik pria itu sambil melepas tangannya dari pinggangnya. “Saya sedari tadi berdiri di belakangmu, kok. Jangan khawatir.”

Gregory lalu membalikkan tubuhnya untuk mencari sosok pria itu. Ia melihat Vincent sudah menyunggingkan senyum sambil memiringkan kepalanya di belakangnya. Ia hanya dapat tersenyum kikuk. “I am just too excited, Vin. Maaf ya kalau gue jalannya terlalu cepat.”

“Tidak masalah. Crowdnya tidak terlalu ramai, kok.” Kata pria itu sambil melipat tangan didada. “Did you enjoy it?”

Ia mengangguk, membayangkan bagaimana pria itu mungkin sedari tadi kesusahan mencari sosok dirinya karena mobilitasnya yang terlalu cepat. Namun ia pun merasa senang karena Vincent tidak terlihat seperti merasa keberatan. Walaupun mungkin pria itu tidak se-ekspresif dirinya, namun ia tahu bahwa pria itu terlihat menikmati kunjungan mereka ke istana Versailles ini.

I enjoyed it, really. Akhirnya gue bisa ke tempat ini juga. Apa lo juga senang?”

Vincent membalasnya dengan nada yang tulus. “Iya, saya juga senang sekali, Gregory.”

It's very beautiful, I'm so happy,” tambahnya ceria sambil terkekeh.

Saat Gregory merasakan keheningan diantara mereka berdua, ia lantas menoleh ke samping, melihat Vincent sudah terlebih dahulu menatapnya.

Mata bulatnya seketika berbinar dan oh, Tuhan, ia tidak bisa menyembunyikan senyum sumringahnya, kala mendengar pemilik kedua manik hazel yang teduh itu berbisik dengan lembut.

Yes, it's beautiful, Gregory.”


Setelah mereka sudah merasa puas mengelilingi area dalam istana, akhirnya Vincent mengajaknya keluar dari sana dan berjalan ke arah air mancur. Gregory lantas mengiyakan, sudah tidak sabar melihat taman yang cukup luas dan indah, yang sempat menjadi latar dalam film 'Midnight in Paris' itu.

Sinar matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi saat mereka tiba di Versailles, menandakan bahwa mereka berdua sudah cukup lama berada di dalam.

What's with us and a fountain, ya, Vin? Waktu ke Tuileries juga kita duduk-duduk di pinggir air mancur,” tanyanya sambil terkekeh dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling air mancur itu.

Vincent sempat memberitahunya bahwa air mancur ini akan dinyalakan pada saat-saat tertentu saja. Ia sangat menyayangkan saat mengetahui bahwa air mancur itu tidak menyala hari ini, namun hal itu tidak membuatnya lantas murung. Justru ia merasa sangat senang dan bahagia hari ini, dapat menghabiskan waktu dengan Vincent.

Mungkin bagi orang lain pada umumnya, pergi ke museum pada kencan pertama adalah hal yang sangat dihindari. Bayangkan betapa kau akan mulai bosan karena minimnya pembicaraan yang akan kau miliki dengan pasangan kencanmu. Atau bagaimana kalian akan merasa bosan karena datang ke suatu tempat yang tidak istimewa.

Akan tetapi, Gregory tidak berpikir demikian. Ia yakin Vincent pun merasa senang hari ini.

Sebenarnya, saat mereka berdua masih di dalam gedung, ia sempat mencuri pandang ke arah pria itu, melihat bagaimana raut wajah Vincent yang terpukau saat melihat lukisan atau patung-patung yang ada.

Gregory sangat senang pergi ke Istana Versailles, keindahan yang benar-benar mencuri hatinya hanya dengan sekali pandang. Ia pun senang memiliki kesempatan untuk pergi dengan seseorang yang membuat dirinya jatuh hati.

Bagaimana caranya ia mengucapkan terima kasih pada pria itu, ya?

Apa yang harus ia lakukan?

I wonder as well, Gregory,” kata pria yang berdiri di sampingnya itu sambil tertawa kecil. “Tapi sepertinya air mancur akan jadi hal yang istimewa untuk kita berdua?”

Ia terkekeh sambil memutar kedua bola matanya. “Bisa aja lo, Vin.”

Sekitaran air mancur itu tidak begitu ramai, hanya ada beberapa orang yang sedang berfoto dengan pasangannya dan/atau keluarganya. Gregory lalu mengedarkan pandangannya dan melihat ke sekeliling, melihat dengan mata kepalanya sendiri, taman labirin istana itu dari kejauhan. Ia ingin sekali ke sana, namun merasa sudah agak lelah karena area gedung istana yang sesak, membuatnya seperti kehabisan oksigen.

Gregory lalu memejamkan matanya, menarik napas yang cukup panjang dan menghembuskannya perlahan. Indra pendengarannya menangkap suara burung-burung yang bertebangan di udara, pun suara orang-orang yang sedang mengobrol.

Ia menyunggingkan senyumnya, betul-betul menikmati saat-saat seperti ini. Keheningan yang membuatnya nyaman dan tenang.

“Gregory.”

Vincent memanggil namanya dengan suaranya yang berat. Ia lalu membuka matanya dan menoleh ke arah pria itu. Ia mengernyitkan dahi, melihat pria itu sedang menatapnya dengan sorot yang berbeda, tidak seperti biasanya.

“Ya, Vin?” Gregory bertanya pada pria itu sambil menghadapkan tubuhnya ke samping. Ia memiringkan kepalanya. “Kenapa lo memandangi gue seperti itu?”

Vincent terlihat... entahlah, gugup?

“Gregory, saya tahu ini mungkin terlalu cepat,” kata pria itu meraih tangannya. Ia lalu menggenggam tangannya erat. “Saya tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Garis bawahi, tidak pernah.”

Apa yang terlalu cepat? Apa yang pria itu sedang rasakan?

“Oke...,” balasnya bingung. “Ada apa, Vin?”

Pria yang di hadapannya itu tersenyum kemudian.

I know maybe it's too fast, I don't know, but I just want to say that,” jawab pria itu kemudian, menghentikan kata-katanya sebentar, sebelum akhirnya menyambung lagi. “I like you, and I really want to make you happy.

I like you, Gregory, to the point where I want to spend my time with you more than we already did.”

Hah? Apa ia tidak salah dengar?

Ia hanya dapat mengerjapkan mata bulatnya berkali-kali.

Jujur saja, walaupun Gregory tahu dan merasakan bahwa Vincent pun menyukainya, namun ia tidak pernah menyangka akan mendengar pria itu mengutarakan perasaannya padanya.

Vincent, pribadi yang begitu kaku dan misterius, pun terasa sulit untuk digapai, baru saja mengatakan padanya bahwa pria itu menyukainya.

Apakah ia sedang bermimpi?

“Kamu tidak perlu membalas perasaan saya, kok. Saya hanya ingin kamu tahu bahwa saya menyukaimu. Itu saja...”

Gregory dengan sigap menaruh jari telunjuknya pada bibir Vincent, memotong kata-kata pria itu dan memintanya untuk berhenti berbicara.

Ia lalu memberanikan diri mengutarakan apa yang saat ini ada dalam kepalanya. Masa bodoh dengan respon pria itu nanti.

“Lo boleh cepetan cium gue aja nggak, Vin?”

Oh mon Dieu,” kata pria itu spontan. Gregory tertawa keras karenanya. “Of course,” balasnya kemudian. “Been waiting for so long, you know.”

Vincent lalu mengecupnya singkat, tepat dibibirnya. Ia merasakan lengan pria itu melingkar pada pinggangnya, memeluknya dengan sangat hati-hati. Bibir pria itu manis, sepertinya rasa permen stroberi yang tadi dimakannya masih tertinggal di sana. Kedua telinganya seperti tertutup, ia sama sekali tidak mendengar suara apapun selain degup jantungnya sendiri.

Gregory rasanya ingin berteriak sekaligus menangis, merasakan betapa tulus perasaan Vincent padanya.

Beberapa pria pernah singgah dihatinya, datang dan pergi. Namun semuanya berbeda dengan Vincent.

Bagaimana pria itu menghargainya, bagaimana pria itu melakukan hal-hal kecil yang selalu membuatnya merasa istimewa dan disayangi. Gregory tidak akan pernah lupa saat Vincent mengatakan bahwa pria itu ingin membuatnya bahagia, ingin menjadi baton terakhir dalam hidupnya.

Ia ingat semuanya itu. Ia merasa dihargai, ia merasa disayangi, ia merasa istimewa.

Semua itu hanya Vincent yang dapat melakukannya.

Pria itu mencium bibirnya beberapa detik, sampai akhirnya menarik wajahnya sendiri. Gregory tidak ingin kehilangan kesempatan itu, maka dengan cepat ia mengalungkan kedua tangannya dan menarik leher pria itu untuk balas menciumnya.

I like you too, Vin. I like you so much,” balasnya sambil menyandarkan dahinya pada dahi Vincent.

Napasnya memburu, dadanya sesak dipenuhi oleh rasa bahagia.

Gregory benar-benar bahagia hari ini.

Vincent lalu mengecup bibirnya lagi, kali ini lebih lama. Ia merasakan pelukan pria itu lebih erat pada lekuk pinggangnya. Pria itu lalu menarik wajahnya dan berbisik, terlihat menyunggingkan senyumnya sambil kedua tangannya tetap mengusap lembut punggungnya.

Glad to know that, Gregory.”


RER: The Réseau Express Régional (English: Regional Express Network), komuter kereta di Paris yang menyediakan rute perjalanan dari kota Paris ke wilayah pinggiran kota (dan sebaliknya)

The Galerie des Glaces: The Hall of Mirrors di dalam Istana Versailles