the last baton | 245

⚠️ cw // slightly mention of stalking behavior, insecurities, overthinking thoughts tw // anxiety attack


Gregory baru saja melangkahkan kaki keluar dari gerbong kereta di stasiun Daumesnil, saat handphone yang ada dalam saku celananya, berdenting berkali-kali. Ia lantas berlari-lari kecil ke arah salah satu bangku yang menempel pada tembok peron stasiun itu. Ia lalu duduk di sana dan melepas tasnya, merogoh saku celananya kemudian sambil melihat ke sekeliling.

Suasana peron masih terlihat ramai, banyak sekali orang yang berlalu-lalang dan berdiri di sana untuk menunggu kereta berikutnya. Jam digital yang tergantung tepat diatasnya menunjukkan pukul tujuh malam. Gregory menghela napas berat. Perjalanannya dari stasiun Châtelet ditempuh dalam waktu tiga puluh lima menit, sedikit lebih lama bila dibandingkan dengan waktu yang harus ditempuh saat melakukan perjalanan pada malam hari.

Well, memutuskan untuk pulang ke apartemennya saat rush hour seperti ini memang membutuhkan kesabaran luar biasa, terutama jika Gregory menggunakan metro.

Vincent sempat menawarinya untuk menginap satu malam lagi di apartemennya, bahkan menawarkan untuk mengantarnya pulang dengan menggunakan mobil. Ia tentu langsung menolaknya tanpa basa-basi, tidak ingin merepotkan pria itu. Sama sekali tidak.

Huh, tidak ingin merepotkannya sama sekali, Gregory? Omong kosong.

Ia hanya terkekeh dan menggelengkan kepala, tidak mempedulikan tatapan beberapa orang yang sedang berdiri di dekatnya. Apa yang baru saja dipikirkannya benar-benar bertolak belakang dengan permintaannya pada Vincent untuk menemaninya berjalan kaki menuju stasiun Châtelet sore tadi.

Walaupun sebenarnya selama mereka berdua berjalan ke arah stasiun, tidak ada satu patah kata pun keluar dari mulutnya ataupun Vincent.

Gregory menikmati keheningan saat melangkah bersisian dengan pria yang lebih tua darinya itu, hanya ditemani suara keramaian orang-orang dan kendaraan yang berlalu-lalang di sekitar Rue de la Ferronnerie.

Ia sangat menikmati keheningan diantara mereka, seperti tadi malam saat pria itu memainkan salah satu piece favoritnya, katanya. Melodi itu indah, membuat Gregory tersenyum lebar dan sempat menitikkan air mata.

Entahlah, hal-hal sederhana yang Vincent lakukan untuknya, sangat mudah membuatnya merasa terenyuh.

Tentu, tadi malam saat Gregory hendak beristirahat diatas sofa bed yang terletak di sisi kanan kamar tidur Vincent, ia tidak lupa menyimpan kejadian hari ini pada aplikasi kalender yang ada dihandphonenya. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat melakukannya, berkali-kali menggigit bibir bawahnya sendiri, kedua pipinya pun terasa menghangat.

Gregory lantas meringis, seketika teringat bahwa tadi malam ia mengecup bahu Vincent dua kali.

Dua kali. Ia sendiri pun tidak tahu darimana keberanian itu muncul, dan untuk apa ia melakukannya.

Namun semalam, rasa terima kasih yang ingin Gregory ucapkan berhenti diujung lidahnya. Ia hanya dapat mengutarakan perasaannya dengan kecupan.

Hal-hal sederhana itu membuatnya merasakan bagaimana rasanya dicintai dan diperhatikan.

Berbagai perhatian kecil yang diberikan oleh pria itu seringkali membuat bulu kuduknya meremang, kedua lututnya lemas, dan dadanya berdegup kencang. Sekedar menanyakan kabar, atau bahkan menanyakan apakah ia sudah sampai tujuan dengan selamat, selalu membuat Gregory merasakan letupan kembang api dalam kepala dan dadanya.

Perhatian itu, selalu membuatnya ingin berteriak layaknya baru saja mendapat undian dua milyar.

Semuanya itu, membuat Gregory dengan mudahnya jatuh cinta dengan seseorang yang berbanding terbalik dengannya, memiliki sifat dan kebiasaan yang jauh berbeda dengan dirinya.

Gregory jatuh cinta dengan Vincent, pria dengan sifat kaku yang terlihat cuek, namun diam-diam mengamati, memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Belum pernah ada seorangpun yang berhasil membuat Gregory benar-benar penasaran, ingin selalu mengetahui apa isi kepala pria itu.

Vincent adalah sosok pertama yang membuatnya demikian.

Ia benar-benar jatuh cinta, di usianya yang sebentar lagi akan menginjak tiga puluh satu tahun.

Namun, ya, jatuh cinta memang tidak pernah memandang berapa usiamu sekarang, 'kan?

Pemberitahuan yang terdengar dari pengeras suara di peron lantas membuyarkan lamunannya. Ia lalu mengembalikan fokusnya pada layar handphone, berharap bahwa Vincent-lah yang mengirimkan pesan untuknya. Ia lalu mengetuk benda itu satu kali, sambil bergidik dan tersenyum lebar, merasa bersemangat untuk membalas pesan pria itu.

Sesaat sebelum senyumnya luntur, bersamaan dengan layar handphonenya yang perlahan meredup.

Disana terpampang jelas notifikasi pesan yang dikirim oleh Warren Mattheo, pria yang selama beberapa bulan terakhir dihindarinya.

Seketika Gregory merasa perutnya mulas.

Untuk apa pria itu menghubunginya lagi? Apakah peringatan yang telah ia berikan beberapa waktu lalu masih belum cukup?

Ia menghela napas kasar sambil menundukkan kepala, membuat orang yang sedang duduk di sampingnya lantas menoleh.

Ia memejamkan matanya, kedua tangannya mencengkram handphonenya terlalu erat.

Ia merasakan tangannya sendiri bergetar.

Entah karena rasa takut, marah, atau hanya karena udara dingin kota Paris malam ini yang menusuk hingga tulangnya.

Gregory tidak dapat membedakan ketiganya.

Kapan pria sialan itu akan berhenti mengganggu hidupnya?


Entah sudah berapa lama Gregory duduk di peron sambil menundukkan kepala dan memejamkan matanya. Ia sendiri pun tidak sadar apakah ia tadi sempat tertidur atau tidak.

Ia refleks mengangkat kepalanya dan meringis, merasakan lehernya benar-benar nyeri dan pegal karena terlalu lama menunduk. Ia memegang tengkuknya, memijat-mijat sendiri bagian lehernya saat menyadari bahwa peron sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa orang yang terlihat berdiri di sana, menunggu kereta terakhir datang.

Gregory lalu menegakkan tubuhnya, merasakan sendi-sendi pada punggungnya bergesekan satu sama lain. Kedua tangannya masih memegang handphonenya erat, membuat telapak tangannya terasa nyeri dan kaku.

Ia menggeram sambil mengusap wajahnya kasar, rasa marah itu kembali datang saat ia tidak sengaja membaca lagi pesan dari Warren.

What the fuck is he doing? What does he want from me? batin Gregory kesal.

Maka dengan emosinya yang masih bercokol didadanya, ia membalas pesan pria itu dengan kasar, sama sekali tidak ingin berbasa-basi. Ia mengetik dengan cepat, meluapkan emosinya sambil mengetuk layar handphonenya berkali-kali.

Jujur, saat Gregory membaca pesan dari Warren, ia sempat merasa takut. Apakah pria itu sekarang sedang menunggunya di depan gedung apartemennya? Mengingat bahwa Warren tahu di mana apartemennya berada.

Ada rasa khawatir yang menggerogoti kepala dan dadanya, walaupun sebenarnya, ia masih berharap bahwa pria itu sudah berubah.

Warren Mattheo membuat hidupnya sama sekali tidak tenang, dipenuhi dengan kekhawatiran dan rasa was-was.

Ia sempat menghubungi Thomas, menceritakan padanya dengan singkat mengenai situasinya saat ini. Sahabatnya itu adalah satu-satunya orang yang mengetahui masalah antara dirinya dengan pria brengsek itu secara detail.

Thomas pun pada akhirnya mengusulkan untuk menghubungi Warren Hosea atau Timothy.

Sebenarnya, ia bisa saja menghubungi kedua teman dekatnya itu, meminta izin untuk menumpang istirahat malam ini. Ia yakin bahwa mereka berdua akan langsung mengiyakan permintaannya, dan menawarkan diri untuk menjemputnya di stasiun ini.

Namun ia tahu, baik Warren Hosea dan/atau Timothy pasti akan menghujaninya dengan beberapa pertanyaan yang sama sekali tidak ingin ia jawab.

Ia tidak mau membahasnya dengan mereka sama sekali.

Maka dengan berat hati, ia mengirimkan pesan pada Vincent, meminta pria itu untuk menjemputnya di stasiun ini. Ia tidak sanggup jika harus menempuh perjalanan kembali menuju Rue de la Ferronnerie dengan menggunakan metro. Ia lelah, rasanya sekujur tubuhnya lemas. Ia sendiri khawatir bahwa dirinya tiba-tiba akan pingsan saat di perjalanan.

Ia hanya ingin segera mandi dan merebahkan tubuhnya diatas kasurnya yang keras, didalam kamar apartemennya yang kecil dan berantakan.

Ia hanya ingin itu, tidak lebih.

Gregory hanya ingin pergi beristirahat dan melupakan semuanya. Ia hanya ingin melewati malam ini dengan tenang, tanpa harus khawatir Warren akan datang ke apartemennya dan menagih apa yang seharusnya ia kembalikan pada pria itu beberapa bulan lalu.

Mengapa masalah yang terjadi beberapa tahun lalu itu terus menghantuinya hingga saat ini?

Ia bersyukur, tidak membutuhkan waktu yang lama sampai akhirnya ia merasakan benda yang sedari tadi dicengkramnya bergetar, menandakan telepon masuk.

Ia menghela napas lega, rasa berat didadanya terasa ringan saat ia melihat nama Vincent tertera pada layar.

Gregory menerima telepon pria itu pada dering kedua.

Bonsoir. Gregory?” Vincent menyapanya dengan lembut diujung telepon, terdengar nada khawatir di sana. “Kamu masih di sana, kan? Tunggu saya, ya?”

Gregory tertawa getir, ia menengadahkan kepalanya. Mengapa pria itu terdengar seperti khawatir? “Iya, Vin. Maaf gue minta lo jemput ke sini,” balasnya dengan suara sedikit bergetar. “But I just don't want to go back home. I'm kind of scared.”

Ia mendengar Vincent menggumam dan suara klakson kendaraan berbunyi nyaring. “I'll be there soon, okay?”

Vincent berjanji padanya. Ia tahu, pria itu pasti akan menepatinya.

I'll be there soon. Just keep talking to me, Gregory. I'll be there soon.”


Gregory langsung mematikan sambungan telepon, menyambar tas ranselnya, lalu beranjak dari tempat duduknya saat Vincent memberitahunya bahwa akan sampai di depan pintu stasiun Daumesnil dalam waktu dua menit.

Ia berlari-lari kecil ke arah pintu keluar yang sudah terlihat sepi. Hanya ada seorang penjaga stasiun yang terlihat sedang berjalan ke arah berlawanan.

Ia menaiki anak tangga sambil mengatur napasnya.

Sebentar lagi, Gregory. Beberapa langkah lagi.

Sesampainya ia di pintu keluar, ia menarik napas panjang, membiarkan udara dingin kota Paris masuk dalam tubuhnya melalui rongga hidungnya.

Gregory melangkah ke arah tiang penunjuk tempat sambil memejamkan matanya, kedua tangannya terlipat didada, berusaha menghangatkan dirinya sendiri. Ia berdiri dekat tiang lampu agar Vincent lebih mudah menemukan sosoknya nanti saat pria itu menjemputnya.

Ia sedang sibuk mengedarkan pandangannya ke sekitaran stasiun Daumesnil, menyadari bahwa daerah itu sudah semakin sepi, saat tiba-tiba suara klakson mobil mengagetkannya.

Ia lantas menoleh ke arah sumber suara, melihat sebuah mobil berwarna hitam berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri.

Vincent.

Pria itu membuka kaca jendela disisinya dan melemparkan senyum ramah, melambaikan tangannya untuk memintanya segera masuk kedalam mobil.

Gregory dengan cepat melangkahkan kakinya lebar-lebar ke arah mobil itu, dan berjalan ke sisi kanannya.

Ia lalu membuka pintunya dan melangkah masuk, mendaratkan pantatnya dan duduk bersebelahan dengan Vincent yang berada dibalik kemudi. Pria itu tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya. Gregory lalu membalas senyuman itu.

Indra penciumannya seketika disambut oleh wewangian mobil Vincent, melebur jadi satu dengan aroma khas tubuh pria itu. Ia menghirupnya dalam-dalam sambil menyandarkan punggungnya pada jok mobil yang empuk itu, lalu menarik dan menghembuskan napasnya perlahan.

Ia aman, ia sudah aman sekarang.

Gregory mengambil waktu untuk mengatur ritme napasnya, mengerjapkan matanya beberapa kali. Vincent bergeming, tidak mengucapkan satu patah katapun. Sepertinya pria itu mengerti bahwa ia saat ini membutuhkan waktu untuk menenangkan dirinya sendiri.

Tak lama setelah Gregory merasa sudah sedikit tenang dan membaik, ia lalu menyapa pria di sampingnya yang sedari tadi terlihat memperhatikan gerak-geriknya itu.

“Vin, bonsoir,” katanya lirih, tangan kanannya langsung meraih sabuk pengaman mobil dan mengenakannya. “Terima kasih banyak sudah menjemput gue di sini, maaf gue merepotkan lo.”

“Hei, you're welcome, Gregory. Kamu sama sekali tidak merepotkan saya. Tenang saja.” Vincent membalas sambil memencet tombol di sampingnya untuk mengunci mobil. Ia menyugar rambutnya yang dibiarkan terurai itu, lalu mengulurkan tangannya ke arah dasbor, mengambil ikat rambut miliknya yang berwarna hitam dan menguncir rambutnya asal.

Are you okay? You look pale. Apa kamu sudah makan?” Vincent bertanya padanya dalam sekali napas. “Sebentar,” jeda pria itu sambil menatapnya lekat-lekat dan memperhatikannya. Sorot manik hazel itu membuatnya merasa tenang dan aman. “Kamu kedinginan, ya?”

Gregory melihat pria itu menoleh ke belakang, berusaha mengambil sesuatu dari sana. Tak lama, Vincent memberinya sebuah selimut yang tebal dan lebar berwarna abu. “Kamu pakai saja, saya atur dulu pemanas ruangannya, lalu kita pergi.”

Saat ia melihat Vincent tidak lagi memusatkan perhatiannya padanya, ia mengenakan selimut yang tebal dan lembut itu untuk menutupi tubuhnya yang kedinginan. Aroma tubuh Vincent yang menempel pada kain itu pun menguar, membuatnya semakin menenggelamkan tubuhnya dibalik selimut, membayangkan seperti Vincent sendirilah yang sedang merengkuhnya saat ini.

Ia menyandarkan kepalanya pada sandaran jok sambil memperhatikan gerakan tangan Vincent yang sedang mengutak-atik pengatur suhu ruangan. Pria itu mengernyitkan dahi, terlihat sedang serius dengan kegiatannya. Kacamatanya yang bulat terlihat sedikit merosot dari batang hidungnya.

“Vin.”

Ia memanggil pria itu dengan berbisik, menaruh tangannya pada sandaran lengan dan menopang kepalanya dengan telapak tangannya. Pria yang dipanggilnya itu seketika menghentikan gerakan tangannya dan menoleh.

Vincent tersenyum, namun pria itu sepertinya tidak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. “Ya, Gregory? Ada apa?”

I want to hold your hand, Vincent. Please, teriaknya dalam hati.

Gregory lalu menegakkan tubuhnya, mengulurkan tangannya ke arah Vincent dan menatap lekat manik hazel itu kemudian. Ia berharap pria di sampingnya itu memahami maksudnya.

Vincent hanya melirik ke arah tangannya dan tersenyum. Pria itu lalu mengulurkan tangannya dan mengaitkannya dengan Gregory. Sorot manik hazel itu teduh, seperti sedang meneliti wajahnya.

Hangat telapak tangan pria itu seketika menjalar keseluruh anggota tubuh Gregory, membuatnya menghela napas.

Ia merasa tenang dan nyaman sekarang.

Ia merasa aman dengan adanya Vincent di sampingnya.

Ibu jari Vincent mengusap buku-buku jari dan punggung tangannya pelan, sambil tetap menatap kedua mata bulatnya dengan penuh perhatian.

I'll always hold your hand, whenever you need me to, Gregory. Don't worry, okay?”