the last baton | 209
⚠️ cw // mention of insecure thoughts
Gregory dan Vincent akhirnya sampai di Tuileries Garden setelah sepuluh menit menempuh perjalanan dari Caveau de la Huchette. Taman yang sangat luas itu tidak terlalu ramai sore ini, mungkin para pengunjung tersebar ke segala penjuru taman yang diketahui dua puluh dua hektar luasnya. Gregory sempat terbelalak dan menggelengkan kepalanya tidak percaya saat Vincent memberitahunya, menjelaskan padanya sejarah dibalik taman itu.
Mereka akhirnya memasuki kawasan taman melalui akses Quai des Tuileries beberapa saat lalu. Cuaca dan udara pun sepertinya sedang bersahabat dengan mereka hari ini; tidak terlalu panas, namun sinar matahari masih cukup untuk menghangatkan tubuh mereka.
Ia mengedarkan pandangannya, mengagumi betapa luasnya taman itu dengan kedua matanya. Seketika ia menyesal karena tidak membawa serta kameranya hari ini, maka dengan berat hati sepertinya ia akan mengabadikan keindahan taman itu dengan kamera handphonenya saja.
Gregory merasakan hembusan angin sore hari kota Paris menerpa rambutnya yang agak panjang, membuatnya beberapa kali harus menyelipkan rambutnya dibelakang telinganya. Ia mendengar Vincent yang sedang berdiri di sampingnya hanya terkekeh, membuatnya lalu menoleh dan melirik pria itu tajam. Sedang Vincent hanya tersenyum simpul sambil melepas kacamata bulatnya. Ia lalu memasukkan benda itu dalam saku celananya, memejamkan mata kemudian, merasakan hembusan angin yang mengenai wajahnya.
Sepasang matanya tidak bisa berpaling dari sebuah kesempurnaan yang sekarang berdiri tepat di sampingnya. Vincent terlihat sedang memejamkan kedua matanya, seperti menikmati suasana tenang taman itu sambil mendengarkan kicauan burung-burung di udara.
Vincent sepertinya tidak menyadari bahwa sedari tadi dirinya sedang memandangi pria itu lekat-lekat, ingin merekam momen itu dalam otaknya dan memutarnya berulang-ulang. Ia baru menyadari bahwa Vincent memiliki bulu mata yang lentik, lebat, dan panjang. Pun pria itu memiliki hidung yang mancung dan rahang yang tegas. Surai hitamnya yang panjang terkuncir membentuk bonggol, memperjelas bentuk wajahnya dari samping.
Gregory rasanya ingin sekali melukis wajah pria itu diatas kanvas suatu hari.
“—gory?” Panggil Vincent lembut, namun cukup untuk membuyarkan lamunannya. Ia lantas mengerjapkan matanya lalu menyunggingkan senyumnya. Mencoba agar tidak terlihat kikuk dan memalukan.
Ya Tuhan, apa Vincent akan melihatnya seperti orang aneh?
“Something on my face? Kok kamu sampai tidak berkedip begitu?” Pria itu bertanya sambil memiringkan kepalanya. Manik hazelnya menatap mata bulat Gregory teduh.
Ia hanya dapat menggelengkan kepalanya sambil tersenyum lebar.
Vincent hanya berdecak sambil tersenyum. “Okay.”
“Gue mau duduk di sana, dekat air mancur, Vin. Boleh?” Gregory bertanya, berusaha mengalihkan pembicaraan itu. Ia menunjuk ke arah kursi-kursi berwarna hijau muda yang berjejer mengelilingi sisi sebuah kolam air mancur yang cukup besar. Ia pun melihat patung-patung berdiri mengelilingi kolam itu.
Gregory berpikir, sepertinya mereka berdua bisa menikmati suasana taman sambil duduk-duduk santai di sana.
Vincent lantas melemparkan senyum simpul padanya dan mengangguk. “Ah, Grand Bassin Rond. Boleh. After you, Gregory. Pilih saja kamu ingin duduk di mana,” kata pria itu menjawabnya dengan lembut sambil mempersilahkannya untuk jalan ke arah kolam air mancur itu terlebih dahulu.
Gregory lantas membalasnya dengan anggukan antusias dan melangkahkan kakinya dua kali lebih cepat dari Vincent. Ia tidak sadar bahwa telah meninggalkan Vincent jauh di belakangnya. Ia hanya khawatir seseorang akan mengambil kursi incarannya jika ia tidak segera melangkah ke sana. Ia akhirnya memilih spot kursi kosong yang dapat diduduki olehnya dan Vincent.
Jujur, ia tidak ingin duduk terlalu berdekatan dengan para pengunjung lainnya. Ia ingin menghabiskan waktu sore ini dengan Vincent dengan leluasa, tanpa gangguan suara dari orang-orang yang juga sedang berdiri dan duduk-duduk di sekitar kolam itu.
Gregory lalu mengambil duduk, melepaskan tas ranselnya dari bahunya dan meletakkannya di samping tempatnya duduk. Vincent akhirnya mengikuti dan mengambil tempat di sebelahnya. Pria itu terdengar menghela napas lega, sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi. Ia lalu menyilangkan kakinya yang jenjang sambil melipat kedua tangannya didada.
“I love this spot. Great choice, Gregory,” kata Vincent sambil menoleh ke arahnya dan menunjukkan senyum kotaknya. Surai hitamnya terlihat tertiup angin, anak rambut pada dahi pria itu bergerak ke sana kemari.
Mendengarnya, Gregory hanya bisa memutar kedua bola matanya lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi, sambil menarik jaket kulitnya yang sedikit tertekuk pada bagian punggungnya. “My choice is always great, Vincent, what do you mean?” Gregory lantas tertawa geli saat mendengar pria yang lebih tua darinya dua tahun itu mendengus sambil menggelengkan kepalanya.
“Iya, saya tahu pilihan kamu selalu tepat,” pujinya sambil mengurai lipatan tangannya didada dan mengalihkan pandangannya ke sekeliling kolam air mancur di hadapan mereka itu. “Saya bingung mengapa saya baru sempat mengajak kamu ke taman ini sekarang. Padahal tempat ini terasa nyaman, don't you think?”
Gregory membalas pertanyaan pria itu dengan menggumam, sambil tetap memandangi wajah Vincent yang sedang duduk di sampingnya.
Ia baru menyadari bahwa rindu yang selama seminggu ini bercokol dalam dadanya masih terasa di sana, memenuhi seluruh rongga dadanya hingga terasa sesak.
Ia bingung, padahal pria yang menjadi sumber kerinduannya itu sekarang sudah duduk di sampingnya, berjarak kurang dari satu meter dengannya.
Namun mengapa rasa itu tidak juga hilang?
Sejujurnya, ia takut Vincent tiba-tiba akan hilang dari hidupnya dan pergi meninggalkannya. Hadirnya Vincent dalam hidupnya ibarat sebuah kejutan undian milyaran rupiah, yang hanya dapat terjadi sekali seumur hidupnya. Ia merasa tidak akan bertemu lagi dengan seseorang seperti Vincent; pria yang begitu sempurna dan berkharisma, walaupun ia akui, pria itu sangat misterius.
Gregory tiba-tiba teringat akan beberapa hal yang membuatnya bingung dan penasaran selama sepekan terakhir. Berhari-hari ia sibuk menerka-nerka sendiri jawaban atas pertanyaan itu.
“Vin, can I ask you something?” Gregory akhirnya memulai. Suaranya yang serak membuyarkan lamunan Vincent. Seketika pria itu menoleh dan menatap matanya. Ia lalu mengubah posisi tubuhnya dan duduk menghadap ke arah Vincent. Gregory duduk bersila, sambil kedua tangannya diletakkan pada pangkuannya.
Vincent menggumam sambil menghadapkan tubuhnya ke arahnya. Pria itu lalu menjulurkan tangan kirinya dan meletakkannya pada sandaran kursi. “Of course, Gregory. Apa yang ingin kamu tanyakan?” Ia mendengar pria itu bertanya sambil terlihat menyugar anak rambutnya yang sedari tadi ditiup angin dengan tangan kanannya.
Ia mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menanyakan hal pertama yang terlintas dalam pikirannya.
“About the last baton you tweeted a week ago... itu maksudnya apa, Vin?”
Gregory bertanya dengan hati-hati. Pria yang sedang duduk di sampingnya itu menatap kedua matanya lekat-lekat sambil tersenyum simpul. Hanya itu respon yang Vincent berikan.
Ia lantas mengernyitkan dahi dan memiringkan kepalanya.
Mengapa pria itu hanya tersenyum? Tolong jangan begitu!
“Kok lo senyum doang sih, Vin?”
“You're so straightforward sometimes, Gregory. I like it,” balas Vincent santai sambil menghela napas pelan. Pria itu menatap kedua mata bulatnya, seperti berusaha mentransfer jawabannya dengan manik hazelnya.
I like it, katanya. Tiga kata sederhana yang berhasil membuat kupu-kupu dalam dada dan perutnya menari-nari, bersamaan dengan kicau burung di udara.
Apa mereka semua bersekongkol?!
Ia lalu mendengus dan menggeram, berusaha menghindari sorot tajam sepasang mata pria itu dengan mengedarkan pandangannya ke arah lain. “Vincent, gue tanya serius! Ayo dijawab, nggak sabaran nih gue,” keluhnya sambil memutar kedua bola matanya.
Vincent lantas tertawa pelan lalu berusaha meminta maaf padanya. “Maaf, saya hanya iseng.” Gregory hanya menanggapi dengan berdecak, masih belum mau menatap manik hazel itu.
Namun ia lantas terpaku dan merasa panik saat Vincent berkata padanya dengan suaranya yang berat. “Gregory, look at me.”
Ia tidak pernah secepat itu menolehkan kepalanya, matanya bertemu dengan sorot mata Vincent yang sekarang terlihat teduh.
Pria itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke arah dahi Gregory. Sebentar, apa yang akan Vincent lakukan? “Saya hanya ingin kamu tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan dan memedulikanmu,” jelas pria itu lembut sambil menyisir rambutnya yang jatuh dan menutupi kedua matanya.
Ia terpaku, merasakan bulu kuduknya meremang secara tiba-tiba akibat aksi Vincent barusan. Jemari Vincent bersentuhan dengan dahinya saat pria itu menyisir rambutnya.
Gregory hanya diam, kedua matanya masih menatap manik hazel pria itu, merasakan jemari pria itu masih menyentuh rambutnya.
Pria itu lalu menyelipkan surai hitamnya dibelakang telinganya.
Oh.
“As simple as that. I hope you understand that I really found you interesting.” Vincent menyambung lagi sambil menarik tangannya, membuat Gregory sekilas merasa hampa. Ia merasa sudah rindu akan sentuhan sederhana itu. “But I won't force you if you don't want me to, okay, Gregory? Feel free to say no.”
Vincent lalu tersenyum sambil terus menatapnya.
“No, no,” jawab Gregory cepat. Ia ingin, ia benar-benar ingin mempersilakan Vincent untuk membantunya. Hell, ia ingin Vincent terus membantunya sampai kapanpun. Ia ingin pria itu terus berada dekat dengannya.
Apa ia egois?
“I really want you to, okay? Gue belum berterima kasih sama lo minggu lalu, so, thank you so much, Vin,” ucapnya sambil tersenyum lebar.
Gregory merasa sangat beruntung. Mungkin nanti malam ia akan mengirim pesan pada Timothy dan berterima kasih pada teman dekatnya itu. Lagipula, ia dan Vincent tidak akan pernah bertemu jika Timothy tidak mengirimkan foto sang konduktor orkestra itu padanya.
“My pleasure, bro.” Vincent membalasnya sambil terkekeh.
Mendengar kalimat pria itu barusan membuatnya mendelikkan kedua matanya dan mendesis kesal. Ia lalu menundukkan kepalanya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya, berusaha menyembunyikan rasa malu sehabis menjawab pertanyaan Vincent.
Apa mereka berdua baru saja terdengar seperti sedang menyatakan perasaan mereka masing-masing?
“Gregory?” Vincent memanggilnya lagi, membuatnya lantas mendongak dan menatap mata pria itu.
“Ya, Vin?”
Pria itu terlihat mengulurkan tangannya ke arah Gregory sambil tersenyum.
“Do you mind if I hold your hand?”
Gregory hanya tertawa sambil mengangguk, mengulurkan tangannya kemudian dan menautkannya dengan jemari pria itu.
“Of course I don't mind, Vin.”
Vincent lalu menggenggam tangannya erat. Ia merasakan hangatnya telapak tangan pria itu. Ibu jari Vincent bergerak-gerak, mengusap punggung tangannya dengan lembut.
“Thank you, for letting me be your last baton, Gregory. Saya akan berusaha membantumu mencapai titik bahagiamu, selama apapun prosesnya.”