magnolia ; i got you • 574
cw ⚠️ internal family problems, misunderstandings, mention of wine, being underestimated, dirty work in business
Taehyung menghela napas berat sambil melirik penunjuk jam yang tertanam dalam dasbor mobil Jeongguk, masih ada lima belas menit menuju jam delapan malam. Sebentar lagi ia akan bertemu dan makan malam bersama kakak sulungnya, Seokjin.
Anak bungsu keluarga Kim itu sedikit bersyukur, setidaknya bukan ia yang berinisiatif lebih dulu mengajak kakak sulungnya bertemu.
Sebenarnya, Taehyung merasa sudah siap bertemu dengan Seokjin, namun ia merasakan adanya sedikit keraguan dalam hatinya.
Apa yang akan dibicarakan oleh kakaknya itu?
Seokjin mengapa seperti sedang mengejar sesuatu? Mereka baru saja bertemu minggu lalu, bukan?
Untuk apa mereka bertemu lagi dalam rentang waktu sedekat ini, kalau hanya untuk sekedar mengobrol biasa, 'kan?
Entah apa yang direncanakan atau ingin dibicarakan oleh kakaknya itu, namun dalam hati Taehyung, ia merasa sudah cukup dewasa untuk menghadapi apapun itu seorang diri. Taehyung merasa mampu untuk bertemu dengan kakak sulungnya tanpa perlu ditemani oleh siapapun, termasuk Namjoon.
Bagi Taehyung, saat ia hanya ingin penjelasan singkat, tidak lebih. Jika hal ini terjadi tidak lama setelah kakak sulungnya itu pergi ke luar negeri, mungkin Taehyung akan lebih reaktif saat menanggapi Seokjin? Atau bahkan benar-benar meminta penjelasan lengkap dari awal hingga akhir.
Saat itu.
Sekarang? Taehyung rasanya tidak ingin mempersoalkan hal itu lagi. Hampir lima tahun hal itu berlalu, apa ia harus tetap stuck pada masa lalunya? Taehyung rasa tidak. Ia tidak ingin lagi membuka memori lamanya.
Lagipula, untuk apa? Jika diingat-ingat, sebenarnya perginya kakak sulungnya itu adalah hal yang biasa? Akhirnya menjadi persoalan yang cukup serius untuk Taehyung lalui saat itu adalah karena selama ini, Seokjin lah yang menjadi 'teman' untuknya di rumah. Ibu dan Ayah mereka selalu sibuk dengan kerja, kerja, dan kerja. Sedangkan Namjoon menempuh pendidikan sarjananya di Bandung.
Segalanya terjadi begitu cepat untuk Taehyung. Ia yang tiba-tiba dipaksa oleh keadaan untuk terbiasa tinggal seorang diri, ia yang tiba-tiba merasa kesepian, dan ia yang tiba-tiba harus terbiasa untuk pulang pada keheningan.
Segala sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba terkadang akan meninggalkan bekas dalam pikiran dan hatimu, 'kan?
Belum lagi dengan datangnya sosok Seojoon di kehidupan Taehyung secara tiba-tiba, alih-alih menjadi teman untuk menggantikan sosok Seokjin.
Taehyung tidak habis pikir dengan jalan pikiran kakak sulungnya itu. Memangnya ia anak kecil? Mengapa kakaknya sampai meminta pria itu untuk menjadi teman dalam kata lain?
Hell, Taehyung tidak butuh.
Tetapi, semua sudah terlambat. Taehyung hanya bisa menertawakan hal konyol itu sekarang. Ia sudah tidak peduli, bahkan tidak memikirkannya, jika boleh jujur.
Sejak Jeongguk masuk ke kehidupannya, seluruh ruangan dalam kepala dan hatinya berhasil diokupansi oleh pria itu.
Dering handphone Taehyung membuyarkan lamunannya, menariknya kembali ke realita. Ia lantas mengambil benda itu dari jok di sampingnya dan melihat pesan singkat dari Seokjin. Kakaknya itu memberitahu bahwa ia sudah sampai di restoran tempat mereka akan bertemu.
Taehyung lantas memejamkan matanya, mengambil napas lalu membuka matanya. Ia berkaca pada spion tengah mobil itu.
You got this, Taehyung.
Ia lalu mematikan mesin mobil Jeongguk, mengambil tasnya dari jok belakang, lalu keluar dari mobil.
Yes, I got this, batin Taehyung.
;
Restoran ini menarik, batin Taehyung.
Saat Taehyung memasuki restoran itu, ia disapa oleh seorang waiter yang ramah. Sepasang manik hazelnya lantas berusaha untuk menyapu sekeliling ruangan. Pencahayaan pada dining area utama tidak terlalu terang, namun juga tidak temaram. Taehyung melihat beberapa bohlam kaca transparan berbentuk bulat dengan cahaya berwarna kuning digantung menjadi lampu ruangan, memberikan rasa hangat. Ia pun melihat beberapa hal yang menarik untuknya.
Insting desain Taehyung seketika bekerja, siapa tahu ia bisa mendapatkan satu atau dua inspirasi. Sepertinya ia harus mengajak Jeongguk untuk datang ke tempat ini lain kali.
Sang waiter lantas meminta Taehyung untuk mengikutinya, ke arah private room yang berada di sayap kanan restoran. Ia melewati area open kitchen yang menjadi pembatas antara main dining room dan ruangan itu.
Seokjin sepertinya benar-benar membeli privasi untuknya dan Taehyung. Kakak sulungnya itu membuat reservasi di private room yang seharusnya dapat diisi dengan kapasitas dua puluh orang. Taehyung hanya bisa menggelengkan kepalanya saat melihat Seokjin sudah duduk di salah satu meja, sedang memegang buku menu. Terlihat seorang waiter sudah berdiri tidak jauh darinya, siap sedia jika Seokjin dan Taehyung membutuhkan bantuan.
“Silahkan, Pak,” ujar waiter itu, menarik salah satu kursi yang berseberangan dengan Seokjin untuk Taehyung duduk.
Taehyung lantas tersenyum dan berkata sopan, lalu mengambil duduk di kursi itu. “Alright, thank you, Mas.”
Setelah membalas ucapan Taehyung, pria itu lantas berjalan menjauh dari meja mereka dan berdiri bersisian dengan rekannya yang juga sedang menunggu mereka.
Seokjin yang sedari tadi menatap Taehyung dan memperhatikan gerak-geriknya, lalu menyapanya dengan tersenyum lebar. “Hai, Tae, anyway, I already ordered two set menus of seven courses for us both. I hope that's okay.”
“Hai, kak,” balas Taehyung singkat dan tersenyum simpul, sambil menaruh dompet dan handphonenya di samping gelas air minumnya yang kosong. “Nggak apa. Gue baru pertama kali ke sini, though.”
“Okay, sambil kita makan saja ya nanti ngobrolnya?” Seokjin mengusulkan pada adik bungsunya itu, menatap dengan kedua matanya lekat-lekat.
Taehyung mengernyit. Kenapa Seokjin terdengar hati-hati sekali saat berbicara dengannya?
Ia lantas mengangguk untuk mengiyakan usulan kakak sulungnya itu.
Tak lama kemudian, seorang waiter berjalan ke arah meja mereka berdua dengan membawa dua gelas red wine dan satu botol wine yang Taehyung kenal betul.
Pria itu menaruh gelas yang ia bawa masing-masing di samping kanan Taehyung dan Seokjin, dan membuka wine tersebut dengan wine opener dengan lihai.
Seokjin menoleh ke arah Taehyung yang sudah lebih dulu memandangnya. Kakaknya itu lalu bertanya dengan semangat pada Taehyung. “I ordered this red wine for us, do you still remember?”
“Yeah, I remember. This Planeta is already ten years old, though. You still have a good taste, Kak,” balas Taehyung sekenanya. “Just like old times.” Taehyung menyambung, melihat isi botol red wine itu dituang oleh sang waiter pada gelas mereka masing-masing.
Ingatan Taehyung masih sangat tajam. Ini adalah minuman favorit mereka berdua dulu, menjadi pelengkap setiap kali Seokjin memasak steak untuk dirinya dan Taehyung di rumah.
Kedua pasang mata mereka pun bertemu. Taehyung tahu betul apa maksud Seokjin memesan minuman ini. Sepertinya kakak sulungnya itu memang benar-benar ingin membongkar memori masa lalu mereka berdua.
“Iya, gue ingat lo dulu selalu minta gue belikan wine ini, and it was our favorite back then.” Seokjin berkata lirih, menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dan menghela napas kasar.
“I know.” Taehyung menjawab seadanya. Tidak ada nada excited terselip di sana. Tidak ada.
Taehyung melihat sepasang mata kakaknya melihat ke arah gelas berisi cairan merah itu dengan tatapan nanar. Seokjin akhirnya memulai. “I don't know how to start this conversation, dek.”
Adik bungsu Seokjin itu lantas berdecak, mengumpulkan segala tenaga untuk menjaga emosinya sendiri agar tidak meledak. “A simple explanation why you left so soon would be nice. Or say sorry because you were literally out of radar, that's enough for me, Kak.”
Jujur, Taehyung tidak tahu harus memberi respon seperti apa untuk kakaknya. Ia sudah malas jika harus kembali membahas hal yang sebenarnya sudah hampir hilang dari ingatannya.
“Mungkin kalau lo minta maaf ke gue beberapa bulan setelah lo pergi, gue nggak akan merespon lo setenang ini, Kak,” mulai Taehyung dengan suaranya yang datar. “Pada akhirnya gue mikir, untuk apa gue memusingkan hal-hal yang membawa pengaruh negatif untuk gue? Tapi ya, lama-kelamaan gue akhirnya bisa beradaptasi sama perubahan drastis itu.”
Seokjin menggumam, masih menatap nanar gelas winenya yang masih terisi penuh. Ia menarik napas panjang, sebelum akhirnya menatap manik hazel adiknya itu lekat-lekat. Taehyung terlihat memiringkan kepalanya ke samping dan mengernyitkan dahinya. “Can I just pour it all out and you listen?”
Tangan kanan Taehyung mengambil gelas winenya, menyesap minuman itu sedikit, lalu menaruhnya lagi di meja. Ia lalu melipat kedua tangannya didada, lalu mengangguk sebagai responnya. “Alright, cerita saja.”
“Semua itu berawal dari ide Papa untuk mengajak gue pindah ke luar, following his step and his career.” Seokjin memulai ceritanya. “Jujur, pada awalnya gue nggak mau, tapi Papa menawarkan gue beberapa opsi yang membuat gue jadi yakin, kalau jalan gue memang di sana.
“Hal yang tidak gue sangka sama sekali adalah betapa cepat Papa mengatur semua hal, literally a week that's ridiculous. It was like, he already knew I'd say yes.”
Taehyung berusaha menyimak cerita yang kakaknya sampaikan padanya.
Ia masih tidak menangkap di manakah benang merahnya?
“Papa dan Mama bilang sama gue, Tae, kalau gue sudah bisa mengejar hidup gue sendiri ke level yang lebih tinggi. Mereka ingin gue yang meneruskan jejak Papa nanti, because they knew you were not into business.” Ia menghela napas, mengambil gelas winenya dan menegak isinya hingga hampir habis.
Mengapa Seokjin terlihat kesulitan sekali untuk menceritakan semuanya?
“Mereka berdua pun bilang, kalau lo itu sudah cukup besar untuk bisa menghadapi hidup sendiri. Mereka bilang, lo juga harus 'dilepas', cepat atau lambat. Caranya bagaimana, ya salah satunya dengan pindahnya gue ke luar negeri.”
Cerita Seokjin terpotong saat dua waiters datang dengan membawa dua piring main course untuk mereka berdua. Tidak terasa sudah hampir satu jam berlalu sejak mereka tiba di restoran itu. Seokjin dan Taehyung lantas mengucapkan terima kasih pada kedua pria itu kemudian.
Ini adalah saat yang tepat bagi Taehyung untuk setidaknya, entahlah, berpikir? Taehyung sama sekali tidak tahu tentang masalah ini
Memangnya ada apa dengan dirinya saat itu sehingga kedua orang tuanya menegaskan demikian pada kakak sulungnya? Aneh. Tanpa dijelaskan pun, ia sendiri sudah tahu.
Apa karena pilihan hidupnya untuk tidak mengikuti jejak ayahnya?
Taehyung sedang fokus tenggelam dalam pikirannya sambil menyantap makanan pembuka itu saat ia mendengar Seokjin berbicara. “Anyway, waktu itu Namjoon marah ke kita semua, terutama Papa. Menurut dia, rencana keluarga ini benar-benar masih mentah, nggak ada fondasi yang kuat, terkesan buru-buru. Well akhirnya terbukti juga kata-kata Namjoon saat bisnis Papa setahun kemudian rugi puluhan miliar.”
Anak bungsu keluarga Kim itu lantas memotong Seokjin untuk menimpali kemudian. “Maybe his luck was running out back then?”
Seokjin hanya tersenyum simpul dan menggeleng. “Nggak. Memang pada dasarnya Papa dan partnernya saat itu salah ambil langkah, Tae. Tapi toh, setelah itu mereka sudah tidak kerja sama lagi.”
Saat Taehyung sedang sibuk ber-oh-ria dan hendak mengambil gelas air putih di sampingnya, kakaknya lalu mengatakan sesuatu yang membuatnya tersedak makanannya sendiri.
“Saat itulah gue ketemu dengan Anggia, Tae. Dia kerja di perusahaan partner Papa yang dulu. Lucu, ya? Gue kira gue saat ketemu dia akan jadi kayak rival karena urusan Papa dengan bosnya? Ternyata kita jadi lovers. Hahaha,” tambah Seokjin sambil tertawa terbahak-bahak.
Kebiasaan kakak sulungnya membuat dad jokes sepertinya belum juga hilang sedari dulu. Sedangkan Taehyung masih sibuk terbatuk-batuk karena tersedak akibat mendengar fakta yang baru saja Seokjin beberkan.
Dunia sempit sekali, betul kata Jeongguk, pikirnya.
Taehyung akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, ingin menghilangkan rasa penasarannya.
Rumit sekali sepertinya hubungan internal keluarganya dan tentang Anggia. Layaknya benang kusut.
“Oh jadi lo malah ada love affair lintas entitas gitu?”
Kakak sulung Taehyung hanya mengangguk sambil menggaruk tengkuknya. “Ya, bisa dibilang begitu. Sampai akhirnya dia harus pindah ke Indonesia, keluarganya kembali ke sini for good. Jadi, ya, kita long distance relationship sudah beberapa tahun ini.
“Lalu, ya, dia kerja dulu setahun di perusahaan kompetitornya Jo & Ste Group. Long story short, dia bilang nggak betah sama sekali di sana karena banyak hal. Salah satunya, menurut dia, jenjang karirnya kurang. Nggak sebanding dengan skill yang sudah dia punya. Akhirnya gue saranin dia pindah ke tempat lo kerja, Tae. Because I know her potential.”
Demi Tuhan, Taehyung tidak bisa menahan reaksinya, yang ia tahu akan membuat kakak sulungnya tersinggung karenanya.
Namun ya, bagaimana? Bisa saja Seokjin bias karena Anggia adalah kekasihnya, 'kan?
“Huh? Potential? Lo yakin, kak?” Taehyung mendengus, tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang kesal sekaligus malas. “Your so-called girlfriend once threw me and my team under the bus, though. Used my name to make herself look great or shit.”
Seokjin tersenyum lebar. Tersenyum?! Apa kakaknya ini sudah akan mabuk karena terlalu banyak minum wine?
“I asked her to do all of that so she could reach you, Tae,” aku Seokjin kemudian tanpa merasa bersalah. Raut wajahnya datar, hanya senyum simpul yang tersungging disana. “Ternyata nggak berhasil sama sekali. Lo sekeras batu dan selurus penggaris. I thought you would be like, oh, it's okay, don't worry. But I was wrong. You're so different now.”
Apa Taehyung pernah memberitahumu kalau ia tidak pernah suka disepelekan?
Hell, bahkan dengan kakaknya sendiri?
Sudah gila memang.
Rasanya Taehyung sekarang juga ingin mengguyur Seokjin dengan gelas berisi air minumnya yang sedari tadi sudah ia genggam.
Taehyung sudah tidak bisa menahan emosinya. Kalau saja mereka berdua tidak sedang di restoran seperti ini, ia pasti sudah melayangkan tinjunya ke arah kakaknya itu. “Were all of those your ways to prove your shitty theories or something? You're so fucking mean, bro. Main lo nggak bersih banget.”
“That's how business works, Taehyung. Lo harus berani ambil resiko untuk main kotor supaya lo bisa meraih apa yang lo mau,” kata Seokjin kemudian sambil menyesap winenya lagi.
“Didikan Papa berhasil brainwash lo juga ya, Kak.” Taehyung berkata tanpa tedeng aling-aling. Ia tidak peduli jika Seokjin yang terlebih dahulu menyiramnya dengan air atau bahkan wine.
Kakak sulungnya itu harus benar-benar 'tertampar' supaya ia sadar.
Inilah salah satu alasan mengapa Taehyung selalu menolak tawaran ayahnya untuk meneruskan posisinya suatu saat nanti. Ia ingin membangun karirnya sendiri, sesuai dengan apa yang Taehyung inginkan dan impikan. Bukan berdasarkan aturan dan arahan dari orang tuanya.
Selama Taehyung bekerja, ia tidak pernah berorientasi pada uang. Taehyung lebih memilih melakukan apa yang ia inginkan dengan hasil jerih payah dan kemampuannya sendiri.
Hal itu jauh membuat Taehyung bangga dengan dirinya, bukan dengan main kotor seperti yang ayahnya ajarkan selama ini.
Ia bertanya kemudian, menyelipkan nada sarkas disana tanpa memperdulikan jawaban Seokjin kemudian.
“Jangan-jangan, posisi lo sekarang di Enterprise juga hasil main kotor ya, Kak?”
Seokjin terdiam seribu bahasa. Hening. Tidak ada respon apapun yang diberikan oleh kakak sulung Taehyung itu.
Taehyung lantas mendengus lalu menggeleng, dan menegak winenya hingga tandas.
“Thought so.”