magnolia ; i got you • 549

cw ⚠️ angst ahead


Taehyung beruntung, perjalanan dari apartemen Jeongguk hingga sampai di rumahnya tidak membutuhkan waktu lama. Setelah mengambil beberapa barang miliknya di apartemen kekasihnya itu, Taehyung segera menulis notes singkat dan menaruhnya di nakas. Ia pun menaruhnya bersebelahan dengan makanan yang sudah ia bawa dari Sumire, yang memang ia pesan untuk Jeongguk.

Entah apa yang ada dalam pikiran Taehyung, sehingga ia dengan gegabah mengambil seluruh barang-barangnya yang penting dan meninggalkan secarik kertas sebelum meninggalkan apartemen Jeongguk. Ia baru tersadar saat sudah menempuh separuh jalan, bahwa apa yang ia lakukan beberapa saat lalu sudah pasti akan disalahartikan oleh Jeongguk.

Namun sebenarnya, yang ada dalam pikiran Taehyung saat itu adalah ia tidak tahu, sampai kapan pertengkaran kecil mereka ini akan berakhir. Ia pun juga tidak tahu, sampai kapan Jeongguk akan meminta waktunya untuk sendiri dahulu.

Apa mungkin, Taehyung yang sebenarnya telah salah membaca situasi?

Jujur saja, sejak tadi mereka berdua beradu argumen via pesan singkat, otak Taehyung tidak berhenti berpikir. Jika kepala Taehyung layaknya mesin, mungkin kau akan kepanasan saat menyentuhnya.

Jeongguknya merasa tidak mempunyai waktu untuk sendiri? Jeongguknya merasa diantara mereka berdua tidak ada komunikasi? Jeongguknya merasa terganggu dengan keberadaannya di apartemen?

Apa yang sebenarnya Taehyung tidak tahu? Apa yang sebenarnya Taehyung lewatkan?

Tidak terhitung berapa banyak pertanyaan yang bermunculan dalam kepalanya.

Namun Taehyung merasa, jawaban atas semua pertanyaannya itu adalah hak Jeongguk. Taehyung selalu mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia memposisikan kekasihnya itu sama dengan dirinya.

Taehyung sebenarnya ingin bertanya, bertanya, dan bertanya pada Jeongguk hingga ia menemukan jawabannya, namun ia takut. Taehyung takut Jeongguk akan mundur, meminta waktu lebih untuk sendiri, atau bahkan yang terburuk, kekasihnya itu malah memilih untuk pergi.

Jika memang Jeongguk membutuhkan waktu, ia akan memberikannya, selama apapun itu.

;

Setelah memarkirkan mobilnya di halaman rumahnya, Taehyung langsung mematikan mesin mobilnya. Ia menghela napas, menumpukan kepalanya pada setir. Sedari tadi Taehyung berdoa di perjalanan, semoga kedua orang tuanya dan Seokjin tidak pulang ke rumah malam ini.

Ia sedang tidak ingin bercengkrama dengan banyak orang malam ini.

Taehyung melihat Yeontan, anjing peliharaannya, sudah menunggunya di depan pintu rumah. Ia lantas tersenyum dan berlari-lari kecil ke arah peliharaannya itu sambil membawa tas berisi laptop dan tas berisi pakaiannya ditangan kanannya.

Hey, bud. Missed me?” Taehyung membungkukkan tubuhnya, mengulurkan kedua tangannya untuk menggendong Yeontan. “Kamu kayaknya tambah gemuk, ya? Padahal baru seminggu tidak bertemu.”

Anjing peliharaannya itu hanya merespon dengan menggonggong, seperti bertanya pada dirinya. Hal itu membuat Taehyung tersenyum setengah hati sambil menggaruk-garuk tubuh Yeontan. “Yes, bud. I'm sad right now. I miss my boyfriend.”

Suasana rumahnya saat ini sepi lengkap dengan cahaya yang temaram, hanya sebagian lampu ruangan yang dinyalakan. Taehyung lalu melirik ke arah jam dinding yang tergantung di samping foto keluarganya.

Sudah jam sepuluh malam, batinnya.

Ia lantas mengambil handphonenya dari dalam saku celana jeansnya dan memencet tombol power.

Tidak ada satupun pesan masuk dari Jeongguk. Nihil.

Layar handphonenya hanya menunjukkan pesan dari kedua orang tuanya bahwa beliau berdua akan bermalam di salah satu hotel, karena perjalanan malam ini cukup padat. Esok hari beliau harus menghadiri acara di pusat kota Jakarta.

Membaca pesan itu, Taehyung hanya mengangkat kedua bahunya, sedikit bersyukur karena beliau berdua tidak pulang ke rumah malam ini.

Sedangkan Seokjin, well, Taehyung sendiri tidak tahu di mana kakak sulungnya itu berada, dan tidak ingin tahu. Fakta yang dibeberkan oleh kakaknya itu siang tadi seharusnya membuat kepalanya lebih sakit dari ini.

Namun Taehyung mencoba mengesampingkan hal itu terlebih dahulu. Ia hanya ingin memikirkan dan mencari tahu keberadaan kekasihnya sekarang ini.

“Lho, Mas Tae pulang ke rumah, tho? Saya ndak* ada buatkan makanan apa-apa, Mas. Maaf.”

Taehyung lantas mengangkat kepalanya, melihat seorang wanita yang adalah ART* di rumahnya sedang berjalan ke arahnya.

“Eh, malam, Bi. Nggak apa, saya juga pulang mendadak,” balas Taehyung tersenyum simpul. Ia sudah lama tidak pulang ke rumahnya; beberapa waktu belakangan ini ia selalu menginap di apartemen Jeongguk.

Jeongguk. Memikirkan nama kekasihnya yang sedang tidak ada kabar itu saja sudah hampir membuatnya gila.

Jujur, Taehyung sebenarnya ingin menangis lagi. Ya. Lagi. Ia sendiri tidak sadar bahwa sudah menangis selama menempuh perjalanan pulang beberapa saat lalu.

Taehyung merasa kepalanya pusing, sepertinya karena terlalu memikirkan di mana keberadaan Jeongguk sedari sore. Tidak mengetahui hal itu membuat Taehyung rasanya mual.

Ia khawatir dengan kekasihnya itu. Walaupun Taehyung tahu betul, mereka berdua sudah cukup dewasa untuk menjaga diri mereka sendiri.

Namun ini adalah kali pertama mereka bertengkar seperti ini, tidak ada kejelasan ada apa, membuatnya semakin mual.

Taehyung yang sedang menggendong Yeontan dengan kedua tangannya, lantas berjalan ke arah dapur. ART itu sudah ada di sana, seperti hendak menyiapkan minum untuknya.

“Bi, saya boleh minta tolong dibuatkan teh chamomile panas saja? Pakai yang ada di laci khusus makanan saya saja, ada didrawer nomor tiga di dapur. Kepala saya pusing, saya mau rebahan dulu.” Taehyung meminta tolong pada wanita itu, seorang ART yang sudah lama sekali ikut bekerja untuk keluarganya. Mungkin sejak ia masih berumur sepuluh tahun. “Nanti tolong taruh di buffet depan kamar saya saja, ya. Nanti ketuk saja pintu saya kalau sudah. Terima kasih banyak, Bi.”

Wanita paruh baya itu lantas mengangguk, menyanggupi permintaannya. “Siap, Mas Tae. Sebentar saya buatkan,” jawabnya, yang dibalas Taehyung hanya dengan sekali anggukan dan senyum.

Ia lantas berjalan menuju ke kamar tidurnya, yang berada di lantai dua dengan langkah gontai. Yeontan beberapa kali mencoba mencuri perhatiannya dengan menjilati dagu anak bungsu keluarga Kim itu. Taehyung tidak bergeming, hanya sesekali membalas afeksi peliharaan kesayangannya itu dengan mengecup puncak kepalanya.

Menghela napas berat, ia akhirnya menaruh seluruh barang bawaannya di kursi dekat jendela kamarnya. Sebelum memasuki kamar tidurnya, Yeontan sudah memberontak dari pelukannya, dan meminta untuk diturunkan saat mereka sudah sampai di depan pintu. Taehyung hanya terkekeh, lalu membungkuk untuk melepas peliharaan itu.

Saat ini, Taehyung tengah memijat-mijat pelipisnya berulang kali, berusaha menghilangkan sakit kepalanya sambil merebahkan dirinya di kasur. Ia menghela napas kasar, menutup kedua matanya dengan telapak tangannya. Ia belum sempat mengganti pakaiannya, bahkan untuk mandi sekalipun, ia ingin langsung tidur saja.

Namun rasa khawatirnya belum mereda. Taehyung merasa, ia harus mengetahui kabar Jeongguk dahulu. Entah sekedar melihat kekasihnya itu membaca pesannya, atau siapa tahu, Jeongguk juga akan membalas pesannya?

Entahlah.

Kekasih Jeongguk itu sedang memandang langit-langit kamarnya sambil melamun, saat pintu kamarnya diketuk tiga kali dengan suara yang khas.

Namjoon.

“Dek, gue boleh masuk?”

;

Jeongguk memasang emergency playlistnya dengan volume yang kencang melalui speaker. Ia tidak peduli jika orang di luar mobilnya mendengar suaranya yang serak karena sedang menangis dan bernyanyi seperti orang kesetanan.

Ia tidak habis pikir, apa yang ada dalam pikiran Taehyung sehingga kekasihnya itu memutuskan untuk meninggalkan secarik kertas dan access card apartemennya? Apa yang ada dalam pikiran Taehyung sehingga kesimpulan yang kekasihnya itu ambil adalah dengan membawa serta seluruh barang penting miliknya?! Taehyung benar-benar gila.

Kalau saja tidak ada hal yang bernama noise complaint, mungkin sedari tadi Jeongguk sudah menangis meraung-raung di apartemen karena kekasihnya itu.

Ia hanya butuh waktu sebentar untuk menyendiri. Ia perlu berpikir jernih, mempersiapkan dirinya, untuk membicarakan apa yang sedari tadi mengganggu pikirannya. Jeongguk tahu betul bagaimana dirinya.

He always tends to say something hurtful when he's mad. Walaupun kebiasaannya itu sudah berkurang jauh, namun Jeongguk takut akan 'kelepasan' jika ia langsung berbicara dengan Taehyung.

Jeongguk mengusap air matanya kasar, berusaha fokus pada lalu lintas di depannya yang cenderung sepi. Ia melirik ke arah handphonenya yang menempel pada dasbor mobilnya, menampilkan maps dan jarak tempuh menuju rumah Taehyung yang masih sekitar dua puluh lima menit lagi.

Saat ini, waktu telah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, membuat Jeongguk rasanya ingin menginjak pedal gasnya lebih dalam lagi.

Namun ia urungkan. Jeongguk tidak ingin membahayakan dirinya sendiri.

Maps navigator milik Jeongguk itu bersuara, memberitahu bahwa beberapa meter lagi, ia akan sampai di rumah Taehyung.

Ia sadar betul bahwa keputusannya kali ini benar-benar nekat. Ia mungkin saja akan langsung disambut oleh orang tua Taehyung saat tiba, atau bahkan bertemu dengan Seokjin dan Namjoon.

Atau lebih buruknya, ia akan bertemu dengan Anggia di rumah Taehyung.

Siapa yang tahu?

Tetapi, Jeongguk tidak peduli. Alasan mengapa ia saat ini sudah berada di depan pagar rumah Taehyung, adalah karena ia teringat akan pesan yang pernah disampaikan oleh ibu Taehyung pada kekasihnya itu.

Masalah diantara Taehyung dan dirinya tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.

Apalagi sepertinya, ini hanyalah masalah sepele. Masalah miskomunikasi.

Sebenarnya, saat Jeongguk sedang mengambil beberapa foto di Bundaran HI beberapa jam lalu, ia langsung menemukan ketenangan dalam hatinya.

Sudah lama sekali kebiasaan Jeongguk untuk melampiaskan amarahnya dengan hunting foto ke beberapa titik di Jakarta itu tidak dilakukan.

Terakhir kali Jeongguk melakukan ini, adalah saat beberapa tahun lalu ia dan mantan kekasihnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Kegiatan spontan yang ia lakukan itu ternyata memiliki efek positif yang besar untuk dirinya.

Maka, jika Jeongguk sedang merasa penat dan/atau ingin melampiaskan emosinya, ia segera menyambar kameranya dan pergi ke manapun hatinya inginkan.

Penyesalan selalu datang di akhir, persis yang dirasakan Jeongguk saat sudah merasa puas mengambil beberapa foto di sana.

Entah apa yang membuatnya seketika tersadar, namun Jeongguk ingat jelas, ia segera merogoh handphonenya dari dalam tas, lalu mengetuk layarnya.

Jeongguk membaca beberapa balasan dari Taehyung, kekasihnya itu mengatakan bahwa ia akan pulang ke rumah malam ini. Rasa sesal itu muncul layaknya air bah saat ia membaca ulang pesan yang ia kirimkan pada Taehyung.

Mengapa dirinya kasar sekali? Bahkan ia tidak memberikan kesempatan dan/atau memberi penjelasan pada Taehyung tentang apa sebenarnya yang tengah ia khawatirkan.

Sebaliknya, Jeongguk sibuk melindungi perasaannya sendiri dengan membalas dengan kata-kata yang ia tahu, pasti sudah menyakiti hati Taehyung.

Bodoh. Jeongguk bodoh.

Namun semuanya sudah terlambat. Jeongguk tidak mengira akan menemukan kamar tamu di apartemennya sudah kosong, barang-barang Taehyung sudah tidak ada yang tersisa. Bersih. Pun kekasihnya itu meninggalkan sebuah “surat” dan mengembalikan access card yang selama ini dipegang olehnya.

Ia lalu menengadahkan kepalanya, berusaha menahan air mata yang sudah menggenang, siap untuk jatuh dengan sekali kedipan. Sepasang matanya sudah perih, lelah akibat menangis di apartemen, pun selama perjalanan.

Sepuluh menit berlalu. Jeongguk akhirnya mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan, mempersiapkan diri untuk bertemu dengan kekasihnya.

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi nanti.

Namun dalam lubuk hati terdalamnya mengatakan, masalah yang terjadi hari ini bukanlah akhir dari hubungan mereka.

Maka dengan mantap, Jeongguk mengambil handphonenya dari dasbor mobil dan membuka fitur pesan singkat, mengetik pesan dengan cepat.

'Kak Namjoon, gue sudah di depan rumah lo. Apa gue bisa masuk?'

;

Hati Taehyung rasanya seperti diremas berulang kali saat kakaknya memberitahu bahwa Jeongguk sudah ada di halaman depan rumah mereka.

Seketika pikiran buruk dalam kepala Taehyung mulai bermunculan.

Apakah kekasihnya itu datang ke rumahnya untuk menyudahi hubungan mereka tiba-tiba? Taehyung bahkan belum mengerti dimana letak kesalahannya. Sedari tadi ia mencoba berpikir dan mengingat-ingat, apakah hari ini adalah hari yang penting, sehingga Jeongguk kecewa karena ia tidak sengaja melewatkannya?

Namun, sepertinya bukan. Kekasih Taehyung itu sempat menyinggung soal komunikasi mereka.

Memangnya, apa yang sebenarnya Jeongguk pikirkan tentangnya?

Apa Jeongguk merasa Taehyung menyembunyikan sesuatu?

Ia lantas melirik jam digital yang terletak pada nakas samping kasurnya.

Lima menit menuju pukul dua belas malam.

Shit. Jeongguk menyetir ke rumahnya, malam-malam seperti ini?

Anak bungsu keluarga Kim itu akhirnya dengan cepat turun dari kasurnya, menyambar jaket yang tergantung dibelakang pintu kamar, dan melangkahkan kakinya lebar-lebar pada anak tangga.

“Mas Tae, tamunya ada di halaman, berdiri dekat mobilnya. Ndak mau duduk,” kata ART Taehyung saat sudah berada di lantai dasar, sebelum ia keluar ke arah halaman. Taehyung lantas mengangguk dan mengucapkan terima kasih, meminta tolong pada ART-nya untuk tidak perlu menunggunya dan langsung istirahat saja.

Saat Taehyung membuka pintu rumah utama, ia melihat sosok kekasihnya yang sangat ia rindukan, sedang berdiri sambil menunduk. Sekilas ia dapat melihat kedua bahu Jeongguk bergetar, seperti sedang menangis.

Taehyung melihat Jeongguk hanya mengenakan kaos berwarna hitam yang tipis dengan celana jeans yang robek dibagian kedua pahanya.

Ia pun berjalan ke arah kekasihnya, langkah kedua kakinya ringan seperti kapas.

Deru napas Taehyung tidak karuan. Ia takut.

Ia menarik napas.

Ia sudah hampir dekat, saat Jeongguk tiba-tiba mengangkat wajahnya yang sudah sayu karena terlalu lama menangis.

Sepasang mata mereka berdua pun bersirobok.

Kerling mata Jeongguk yang tak terlihat bersinar, bertemu dengan sorot mata Taehyung yang teduh.

Jeongguk memberanikan diri untuk melangkah sebelum akhirnya berlari ke arah kekasihnya. Sedangkan Taehyung, dengan sigap melepas jaket yang sedang ia kenakan, untuk dipakaikan pada Jeongguk.

Ia melihat kekasihnya mengulurkan kedua tangannya padanya, seperti seorang bayi yang sedang minta digendong.

Tangis Jeongguk pun kembali pecah. Taehyung dengan segera berlari untuk bertemu dengan kekasihnya di tengah, merengkuh tubuh Jeongguk yang bergetar hebat karena menangis.

“Taehyung. T-tae—, Taehyung...” panggil Jeongguk berkali-kali dengan suara seraknya. Taehyung sedang memeluknya. Taehyung sedang mengecup puncak kepalanya berkali-kali.

Jeongguk merindukan Taehyungnya.

Taehyung merasakan tubuh kekasihnya bergetar, mendengar kekasihnya berbicara terbata-bata disela-sela tangisnya.

Sakit. Rasanya sakit mendengar Jeongguk menangis, mencoba mengambil napasnya. Taehyung sudah memeluk Jeongguk terlalu erat, mengusap punggung kekasihnya itu naik turun.

Hell, Taehyung pun sekarang juga menangis.

“Sayang. Sayang, tarik napas, oke? Ayo ikuti kata-kata aku. Jeongguk. Jeonggukie,” panggil Taehyung, membimbing kekasihnya. “Tarik napas. Satu. Ayo, sayang. Tahan. Buang. Jeongguk, hei, sayang. Are you still with me?”

Ia mendengar Jeongguk menggumam sambil terlihat mengangguk berkali-kali. Kekasihnya itu masih menangis, meraung-raung, meremas kaus tipis Taehyung yang sebentar lagi sepertinya akan robek.

Namun Taehyung membiarkannya.

“K-kamu kenapa pergi? K-kamu... kamu k-kenapa ninggalin aku, Taehyung? Kenapa?” Jeongguk bertanya putus asa sambil menangis. Ia tidak peduli air matanya sudah benar-benar membasahi leher Taehyung.

Ia takut. Jeongguk tidak pernah menangis seperti ini seumur hidupnya.

Kekasih Taehyung itu akhirnya mengangkat wajahnya, melihat ke arah Taehyung yang sudah menatap dengan manik hazelnya yang indah. Mata yang selalu menjadi sorot favorit Jeongguk.

Are you going to break up with me, so you left? Iya, Tae?” Ia bertanya dengan seluruh tenaganya yang tersisa.

Jeongguk sudah lelah menangis, sudah lelah menyetir, sudah lelah berteriak hingga tenggorokannya sakit. Ia tidak sanggup jika harus mendengar jawaban Taehyung yang akan membuatnya lebih sakit lagi.

Kata-kata Jeongguk layaknya tamparan keras pada kedua pipi Taehyung.

Tidak. Ia tidak ingin. Tidak, jangan sampai.

“Sayang. Lihat aku. Jeonggukie, lihat aku,” pinta Taehyung dengan suara seraknya. Ia lantas melepas pelukannya pada Jeongguk untuk menangkup wajah kekasihnya.

Taehyung memanggil Jeongguk lagi, mencoba meminta untuk menatap kedua matanya. Ia tidak berhenti mengusap kedua pipi Jeongguk dengan kedua ibu jarinya, berusaha menyalurkan permintaan maaf dan rasa sayangnya lewat gestur sederhana itu.

Jeongguk membuka matanya yang terlihat sudah memerah.

“Sayang, aku minta maaf. Aku minta maaf sekali.” Jeongguk mendengar Taehyung berkata lirih. Ia merasakan napas Taehyung di wajahnya. Ia merasakan dahi Taehyung menempel pada dahinya. “Maaf sudah gegabah. Aku tidak ada maksud untuk pergi dari kamu. Maaf.”

Ia hanya bisa menggeleng cepat.

Tidak seharusnya Taehyung yang meminta maaf padanya.

Seharusnya dirinya sendirilah yang meminta maaf pada kekasihnya itu.

“Nggak, Tae. Nggak,” jawab Jeongguk dengan suaranya yang parau. “I am sorry for everything. I am the one who should be sorry.

Please tell me that we're going to be okay after this, Taehyung. P-please.”

Jeongguk meminta dan meminta, tidak berhenti merapalkan kalimat itu berulang-ulang dalam hatinya.

Tolong jawab aku, Taehyung. Tolong. Tolong jawab aku bahwa kita akan baik-baik saja.

Of course, sayang. Of course. Let's go inside and talk, okay? Badan kamu dingin sekali,” jawab Taehyung, mengajak Jeongguk untuk masuk ke dalam rumahnya.

They know they will be okay,

It will be...

...right?


*Ndak : 'Tidak' dalam bahasa Jawa *ART : Asisten Rumah Tangga