magnolia ; i got you • 457 | part (1/?)
⚠️ lil bit angst ahead
“Amin.”
Namjoon mengakhiri doa sebelum mereka berangkat dari Ciumbuleuit menuju ke Cikole. Ia memutuskan untuk memimpin doa singkat, meminta perlindungan sehingga mereka sampai di tujuan dengan selamat. Sebelumnya, Taehyung sudah menawarkan diri untuk menyetir saat berangkat, dengan didampingi Jeongguk untuk duduk di kursi penumpang. Serentak mereka semua mengiyakan, namun tetap mengingatkan pada Taehyung, jika ia lelah, mereka dapat bergantian menyetir. Kekasih Jeongguk itu pun hanya menjawab 'gampang, tenang aja.' sesaat sebelum mereka akhirnya naik ke mobil dan mencari posisi duduk masing-masing.
Jeongguk lalu melirik layar handphonenya, jam digitalnya pada layar menunjukkan pukul tiga siang tepat, mengharuskan mereka untuk berangkat sekarang juga.
Aplikasi Waze sudah menyala pada handphone Taehyung yang lain, dan ia taruh pada phone stand yang ditempelkan pada dasbor mobil. Jeongguk sudah siap dengan iPad-nya, tiga powerbanks—ya, tiga—yang terisi penuh, dan kabel charger untuk menghubungkan dengan music player di van.
Posisi duduk yang mereka pilih sudah cukup nyaman; Taehyung berada di balik setir kemudi ditemani Jeongguk di sampingnya, Namjoon dengan Jimin duduk di jok baris pertama bagian belakang, diikuti Eunwoo, Mingyu, dan Yugyeom yang mengambil dua jok masing-masing untuk mereka duduk. Terlihat beberapa tas dan plastik yang berisi perlengkapan festival mereka pada bagian belakang mobil yang masih cukup luas.
Namjoon sempat membeli snacks yang sangat banyak untuk bekal mereka. Teman dekatnya yang bekerja di salah satu radio di Bandung— yang memberinya tiket festival secara gratis—sempat memberitahunya, untuk berjaga-jaga membawa bekal selama perjalanan. Memang, Namjoon pernah mendengar bahwa ini adalah tahun ketiga festival itu diadakan. Menurut teman dekat Namjoon, kali pertama festival diadakan, acara itu dinilai gagal. Ia tidak menanyakan lebih jauh, karena jujur, Namjoon sudah sempat mendengarnya dari teman-teman saat ia kuliah dulu.
Namun pada tahun kedua, festival itu dikabarkan sukses. Maka saat Namjoon tahu bahwa salah satu artis favoritnya, HONNE, akan datang ke festival itu tahun ini dari adiknya, ia segera mencari 'bantuan' dari teman dekatnya itu untuk menjual tiket gratis itu padanya. Ya walaupun akhirnya, teman dekat Namjoon memberikan tiket itu secara cuma-cuma.
“Tae, hati-hati, ya. Kalau lo capek, bilang. Nanti gantian sama gue,” celetuk Namjoon dari belakang jok penumpang, memajukan tubuhnya diantara joknya dan Jeongguk yang kosong. “Wazenya lo arahin ke Cikole aja. Handphone gue sudah gue nyalakan Google Mapsnya. Nggak ada perbedaan sih, tapi beda rute nanti kalau sudah dekat lokasi.”
Taehyung yang sedang memasang seatbeltnya hanya melirik ke arah Namjoon lalu membalas dengan santai. “Alright.” Ia lalu tersenyum dan menstarter van itu. “Nggak apa, kak. Santai aja. Iya nanti gue info kalau gue minta gantian. Selow aja.”
Setelah mendengar jawaban 'oke' dari kakaknya, ia akhirnya meraih tangan kanan Jeongguk untuk menarik tubuh kekasihnya itu dan menangkup wajahnya. Jeongguk terlihat kaget saat Taehyung mengecup kedua pipi dan dahinya cepat. “Aku nyetir dulu ya, yang,” kata Taehyung pelan.
Sekejap, seisi mobil dipenuhi dengan teriakan mengejek dan tawa lepas dari para rekan kerja Taehyung, tidak ketinggalan dari kakaknya pula. Taehyung hanya menggelengkan kepalanya sambil tertawa, sedang Jeongguk terlihat memutar kedua bola matanya sambil menyembunyikan senyum malunya.
Terdengar teriakan Mingyu dari bagian tengah mobil. “Belum berangkat, Taehyung!”
;
Tak lama setelah itu, mobil mereka akhirnya sampai di jalan Cihampelas, belum jauh dari letak villa tempat mereka menginap berada. Terlihat jalanan sudah dipadati kendaraan roda dua dan empat. Taehyung lantas melirik aplikasi yang sedang terbuka dan melihat layarnya dipenuhi warna merah pekat.
Baru sampai sini sudah merah? Gila, batin Taehyung dalam hati.
“Lagi ada apaan sih, kak? Masa sudah macet sampai sini? Apa karena ini hari Sabtu, ya?” Tanya Taehyung pada Namjoon, sambil tangan kirinya meraih handphonenya, lalu menggerak-gerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk melihat maps itu. Terpampang pada layar, sepanjang jalur yang akan ditempuh sampai Cikole sudah berwarna merah gelap dan pekat. Taehyung hanya bisa membelalakan matanya dan mengecek estimasi waktu mereka akan tiba sampai di Cikole.
Masih tetap satu setengah jam, kok perkiraannya, batinnya.
“Anjir, barengan sama acara badminton, Tae, di pusat kota,” jawab Jimin dari belakang, sambil mengetuk-ngetuk kaca jendela di sisi tempat Namjoon duduk. Taehyung lantas menoleh ke arah kanan dan mencari sumber yang dimaksud oleh sahabatnya itu. Ia lalu melihat banner di pinggir jalan yang menjelaskan bahwa sudah sepekan ini, ada turnamen badminton di pusat kota Bandung, dan akan berakhir pada hari Minggu, esok hari.
Tak lama, ada seorang bapak penjual kacang dan tahu bungkus (yang biasanya digantung di kayu) menghampiri mobil mereka, bermaksud untuk menawarkan makanan dagangannya. Taehyung dengan sopan menyatukan kedua telapak tangannya di dada, lalu tersenyum sambil menggeleng untuk menolak.
“Yang, ini sih udah lama dong, ya macetnya? Macem di Jakarta gitu, lho, kalau udah banyak yang jualan gini.” Jeongguk berkata pada Taehyung, sambil membungkukkan tubuhnya untuk melepas kedua sepatu yang ia pakai. Ia lalu melipat kakinya bersila dan mencondongkan tubuhnya ke kaca depan mobil itu untuk melihat banner yang juga terlihat di sisi kiri jalan, dekat jendelanya.
“Iya harusnya sih, Gguk. Tapi masa sampai sini sih, yang? Apa macetnya jadi satu dengan orang yang mau nonton badminton?” Taehyung berkata, sambil memperhatikan kekasihnya yang sudah duduk sambil menyilangkan kakinya, sudah memegang iPad-nya.
Eunwoo yang terlihat sedang mengunyah keripik kentang dari kaca spion tengah, melihat Taehyung lewat kaca itu dan mengajaknya berbicara. “Tae, estimasi masih kayak tadi?”
Taehyung lalu menjawab 'ya', masih bertatapan mata dengan Eunwoo lewat kaca spion. Ia lantas terlihat mengangguk sambil tetap mengunyah keripik kentang yang sebentar lagi tampaknya akan habis. “Ya udah, guys, dinikmati aja. Ini juga masih jam tiga lewat lima belas menit, kan?”
“Iya sih, Wo. Pokoknya jam enam sore deh Sheila On 7 mainnya. Masih ada waktu, semoga kekejar,” kata Mingyu yang ditanggapi oleh Yugyeom dengan anggukan dan gumaman di sampingnya.
Namjoon lalu menyarankan Taehyung untuk mengambil rute melewati jalan Cemara, yang terlihat dari aplikasi akan sampai di jalan Sukajadi atas, karena Namjoon diarahkan untuk mengambil rute jalan kecil itu. Taehyung hanya mengangguk lalu menggerakkan tangan kirinya untuk menyalakan lampu sein dan berpindah jalur ke kiri.
Selama perjalanan melalui rute yang dimaksud, Jeongguk sudah sibuk sendiri dengan iPad miliknya untuk memilih lagu, dengan tangan kirinya. Kemacetan yang cukup parah membuat Taehyung dapat mengistirahatkan tangan kirinya untuk menggenggam tangan Jeongguk. Tak jarang ia menarik tangan Jeongguk ke arah bibirnya dan meninggalkan beberapa ciuman di punggung, telapak, dan pergelangan tangan kekasihnya itu. Jeongguk tidak bergeming sama sekali, hanya sesekali melirik ke arah Taehyung untuk mengusapkan tangannya pada pipi kekasihnya itu sambil tersenyum lebar.
Eunwoo, Mingyu, dan Yugyeom terdengar sedang asyik dengan obrolan mereka sendiri, membicarakan tentang situasi di Jakarta dan Indonesia yang saat ini sedang marak dibicarakan. Mereka tenggelam dengan obrolan mereka sendiri, sesekali Namjoon dan Jimin juga ikut berbicara, menimpali pendapat satu sama lain.
“Jeongguk.” Panggil Taehyung lirih saat kendaraan mereka sedang berhenti karena macet.
Kekasih Taehyung itu lantas mengalihkan perhatiannya dari layar iPad, mengangkat kepalanya dan menoleh ke arahnya.
“Ya, Tae. Kenapa?” Tanya Jeongguk pada kekasihnya yang terlihat sedang menatapnya teduh sambil tersenyum di sampingnya.
“I love you. Hehe,” jawab Taehyung terkekeh sambil mengusap punggung tangan Jeongguk beberapa kali dengan ibu jarinya.
Jeongguk hanya tertawa mengejek sambil menggelengkan kepalanya heran. “I love you too, jelek. Ampun deh kamu.” Ia lalu melepaskan tangannya dari genggaman Taehyung untuk mencubit hidung mancung kekasihnya. “Please, kenapa sih kamu? Bingung aku.”
Belum sempat menjawab, Jimin memukul lengan kedua rekan kerja sekaligus sahabatnya itu dari belakang, yang membuat Namjoon, Jeongguk, dan Taehyung tertawa terbahak-bahak melihat tingkahnya.
“Astaga, déjà vu gue anjrit. Untung gue udah ada pacar sendiri, jadi nggak kasihan-kasihan amat gue.”
;
Waktu menunjukkan pukul setengah lima sore saat mobil yang mereka kendarai memasuki daerah Ledeng, Bandung. Jarak tempuh yang seharusnya hanya memakan waktu beberapa belas menit, mereka tempuh selama satu setengah jam.
Taehyung beberapa kali menghela napas disela-sela sesi karaokenya dengan Jeongguk. Ia sempat 'memarahi' aplikasi yang sedari tadi menunjukkan bahwa sisa estimasi waktu mereka tiba di Cikole hanya satu setengah jam. Jeongguk hanya bisa menyarankan Taehyung untuk sabar sambil mengusap pelan lengan kekasihnya dan meninggalkan beberapa kecupan di punggung tangannya.
“Gila nih, Wazenya error apa gimana sih, geng?” Tanya Taehyung dengan kesal. “Udah jam segini pula masih di sini, belum masuk bawah Lembang banget.”
Jimin dari jok belakang lalu mengambil handphone Namjoon dan mengecek aplikasi lain dari benda itu.
“Iya, di sini juga cuman satu setengah jam. Tapi nggak mungkin deh, Tae. Dari tadi segini mulu. Sinyal kita lagi jelek semua kali ya, nggak berubah lho ini.”
“Iya deh, kayaknya. Gue refresh barusan juga masih segini aja. Atau emang semua orang lagi buka aplikasi juga yang kena macet,” kata Taehyung mengira-ngira.
Jeongguk yang sedang melihat ke arah luar mobil dan sekeliling jalanan daerah Ledeng lalu mengernyitkan dahinya. Ia lalu melihat ke arah spion mobil yang ada di pintu mobil sebelah kiri dan jalanan di depannya bergantian. “Eh, by the way kok jalur sebelah jarang ada kendaraan lewat ya? Jangan-jangan ada buka tutup jalur makanya macet?”
“Bener juga lo, Gguk,” jawab Jimin menimpali. “Pantesan aja kita jalannya se-encret-encret doang daritadi.”
Seketika Eunwoo dan Mingyu tertawa mendengar celotehan Jimin, merasa ada yang aneh dengan bahasa rekan kerjanya itu. Yugyeom terlihat sudah memejamkan matanya sayu. Sepertinya sang arsitek dan anak kesayangan Steve itu sudah mulai mengantuk karena perjalanan yang cukup lama.
Langit sudah terlihat agak mendung untuk ukuran normal pukul setengah lima sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan, yang menyebabkan Yugyeom benar-benar akan tertidur. Sebenarnya ia tidak enak hati dengan Taehyung dan teman-temannya yang sibuk membicarakan tentang jalanan yang macet. Namun tadi, Taehyung sempat melirik Yugyeom dari kaca spion tengah yang terlihat sudah cukup lelah. Ia lantas mempersilahkan Yugyeom untuk tidur saja. Toh, perjalanan masih cukup lama, pikir Taehyung.
“Tapi gue barusan cek di Twitter gitu under the festival name, Lembang, Cikole, Ledeng words, nggak ada buka-tutup, sih,” jawab Eunwoo yang terlihat sedang menggerakan jarinya naik-turun pada handphonenya untuk men-scroll layarnya. “Di Waze juga reportsnya cuman heavy traffic ahead gitu. Nggak ada yang bilang buka-tutup. Nggak ada komen juga under the reports.”
Taehyung lantas menggumam sambil berdoa, semoga baik kemacetan maupun aplikasi yang mereka andalkan cepat membaik.
Sesaat setelah Taehyung merapalkan doa dalam hati, tiba-tiba rintik hujan turun mengenai kaca depan mobil mereka. Lama-kelamaan hujan turun sangat deras, membuat suara yang cukup keras karena titik air hujan yang besar-besar mengenai kaca mobil. Jarak pandang dari kaca mobil pun menjadi kabur, tidak terlihat begitu jelas kendaraan yang ada di depan mereka.
Namjoon hanya menggelengkan kepalanya sambil berkata pada Taehyung yang sedang menyalakan wiper mobil dengan speed yang paling kencang. “Gila ya, Tae. Untung lo nyaranin bawa boots lho, dan jas hujan ponco. Apakabar nanti di festival kalau hujannya masih deras begini?”
Taehyung lalu menjawab kakaknya setelah ia mengambil air mineral yang diberikan oleh Jeongguk. “Iya, kak. Gue sempat lihat gitu, orang-orang yang mau nonton festival, pada bilang kalau Februari kan selalu hujan deras. Mereka bilang juga tiap tahun becek banget, kayak main lumpur. Jadi gue pikir, ya, mending kita prepare aja. Precautions. Nanti orang bilang aneh nggak apa, deh. Yang penting buat diri sendiri, kan.”
;
Jam digital yang menempel pada dasbor van itu sudah menunjukkan pukul lima sore saat kendaraan mereka berhasil memasuki daerah Lembang. Semesta sepertinya sedang mengerjai manusia sedari tadi. Hanya sekitar lima belas menit sejak hujan turun tadi, perlahan mulai berhenti. Langit mendung tadi tiba-tiba menggeser tubuhnya dan mempersilahkan matahari tampil lagi, menghangatkan Bandung dan sekitarnya.
Jeongguk hanya dapat menyeletuk, yang membuat Taehyung tertawa di sampingnya. “Ini hujannya ngerjain banget deh. Bayangin coba, Tae, ada orang yang baru selesai dari cuci mobil, terus tiba-tiba hujan. Sampai rumah mereka, hujannya berhenti dan sekarang terik. Nyebelin banget.”
“Yang lebih kesel pasti tim panitia festival dan orang-orang yang sudah sampai sana, sayang. Kasihan pasti basah kuyup banget, eh tapi sebentar aja.” Taehyung menjawab disela-sela mengunyah permen karetnya.
Tidak terhitung sudah berapa botol air mineral dan plastik snack yang mereka buang ke kantong plastik besar yang dijadikan tempat sampah. Tidak terhitung sudah berapa lagu diputar dari iPad milik Jeongguk, yang akhirnya membuat dirinya lantas mematikan benda itu dan memutuskan untuk menyetel radio saja.
Jeongguk berharap, siapa tahu penyiar radio nanti akan memberitakan mengenai festival dan kemacetan ini.
Tiba-tiba dari belakang, Eunwoo memecah keheningan dengan suara tawanya sambil berkata, “By the way, guys... Ini gue udah berapa kali lihat banner ini sepanjang jalan, anjir. Sampai hafal gue kata-kata dan pesannya.” Eunwoo mengetuk-ngetuk kaca mobil di sisinya, seketika membuat mereka semua melihat ke arah yang ditunjuk oleh Mingyu, tak terkecuali Taehyung.
Kekasih Jeongguk itu lantas tertawa dan menimpali Eunwoo. “Demi Tuhan, ya, gue dari tadi juga merhatiin, Wo. Gue kira gue doang yang aware, njir. Lama-lama kalau banyak begini sampai Cikole, fix gue hafal se-desainnya pula.”
Jeongguk lantas menimpali Taehyung. “Nggak cuman itu aja, Tae. Dari tadi aku sudah hitung, ada kali baliho tahu susu katanya cuman tinggal dua kilometer lagi tuh ada tiga biji, tapi nggak sampai-sampai.” Seisi mobil lantas tertawa. “Ini juga, aku udah lihat ada tiga orang jualan bolu kukus sepanjang perjalanan,” kata Jeongguk menunjuk ke arah pinggir jalan, terlihat seorang bapak sedang menjual makanan yang dimaksud. “Aku juga sudah lihat empat kali orang jualan sosis bakar. Mana cuman seribu lagi harganya, murah banget! Aku jadi laper.”
Komentar kedua sejoli yang duduk di bangku depan barusan membuat tawa mereka semua pecah, memenuhi seisi mobil. Lumayan, candaan mereka berdua barusan membuat suasana di mobil menjadi lebih santai.
Sudah dijamin, mereka lelah dan penat karena kemacetan tidak kunjung memperlihatkan titik terangnya.
“Tapi yang sebenarnya gue lebih aware, ini lagunya Tulus yang Labirin sampai sudah empat kali gue dengar dari radio. Gue sampai ngitungin sangking dari tadi bosen.” Jeongguk berkata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak cuman Labirin, deng. Raisa juga ada. Hivi! juga ada tadi, pada dengar, 'kan?” Tanya Jeongguk pada teman-temannya.
“Itu mungkin penyiar radionya mau nonton festival juga, yang. Makanya nyetel default kali, ya?” Celetuk Taehyung, lantas membuat mereka semua terbahak-bahak, tertawa cukup keras karena cara bicara Jeongguk dan Taehyung yang terdengar lucu.
Disela-sela tawa Jeongguk yang membuat dirinya sendiri sakit perut, ia lalu melirik ke arah handphone Taehyung yang ada di dasbor mobil. Terlihat estimasi waktu mereka sampai di tujuan hanya tersisa dua jam lagi.
Well, hanya dua jam, batin Jeongguk kesal.
“Lho, eh, guys, berubah jadi dua jam lagi, nih ETA nya!” Kata Jeongguk setengah berteriak, membuat perhatian teman-temannya akhirnya berpusat pada suara Jeongguk. “Estimasi sampai Cikole jam tujuh malam, kurang dikit.”
Yugyeom yang sedari tadi sudah terbangun karena suara tawa teman-temannya yang cukup keras, akhirnya berbicara dari belakang. “Lo yang bener, anjir? Duh, mana gue kebelet ke toilet lagi. Cuman buang air kecil aja, sih. Ada mini market nggak, geng, dekat sini?”
“Mana gue tau, anjir, Gyeom. Gue buta banget Lembang,” jawab Eunwoo di sampingnya yang tengah merogoh kembali kantong plastik berisi snacks mereka, untuk mengambil dan memakannya karena ia sudah cukup lapar.
Perjalanan mereka sudah berlalu selama dua jam, namun belum juga terlihat tanda-tanda bahwa mereka akan tiba di tengah Lembang. Posisi kendaraan mereka saat ini masih di bawah Lembang, jalannya berkelok-kelok dan cukup sempit, hanya muat untuk satu kendaraan pada masing-masing jalur.
Seperti sedang melakukan perjalanan di daerah Puncak.
“Mau dimampirin ke mini market kah, Yug?” Tanya Taehyung dari kursi depan, sambil menoleh ke belakang, karena kendaraan mereka tentu saja masih berhenti sedari tadi. “Bisa dimampirin, sih. Gue juga kebelet. Nggak mungkin gue ngambil botol kosong.”
Jimin yang mendengar jawaban Taehyung seketika tertawa terbahak-bahak. “Anjir lo, gue tahu nih maksud lo apaan. Emang bangsat.”
Taehyung lalu melirik Jimin, mengernyitkan dahinya. Ia sempat mendengar Jeongguk di sampingnya menahan tawa dan terlihat langsung menutup mulutnya.
“Maksud gue emang apaan, anjing,” jawab Taehyung sambil memikirkan apa maksud Jimin barusan.
Selang beberapa detik, kekasih Jeongguk itu akhirnya menyadari apa maksud Jimin, lalu dengan cepat menjulurkan tangannya untuk menjitak kepala sahabatnya itu. “Emang tai lo, ya. Kebanggaan gue nih.”
Seketika Namjoon berteriak sambil tertawa dan memukul lengan adiknya itu, diikuti suara tawa Jeongguk yang pecah. “BANGKE, HAHAHA!”
;
Sesampainya di sebuah mini market yang letaknya tidak jauh dari bundaran dekat alun-alun Lembang, akhirnya mereka semua turun dari mobil dan salah satu dari mereka bergegas menuju kasir. Namjoon akhirnya bertanya pada penjaga kasir di mana letak toilet toko itu. Saat penjaga kasir itu mengarahkan bahwa ada akses menuju toilet yang terletak di lantai dua, maka Taehyung, Jeongguk, dan Yugyeom dengan cepat berlari dan lantas naik ke lantai dua.
Mingyu, Jimin, Namjoon, dan juga Eunwoo memutuskan untuk menunggu mereka di lantai bawah, bermaksud untuk membeli tisu beberapa pack dan makanan tambahan untuk bekal mereka selama perjalanan.
Mereka tiba di mini market itu tepat pukul enam sore. Namjoon sempat berbicara pada Jimin, apa tidak sebaiknya mereka memarkirkan mobilnya di mini market ini dan melanjutkan perjalanan menuju Cikole dengan ojek pangkalan yang terlihat sedang menunggu penumpang di luar.
“Hah, ngapain deh, Moni? Balik ke sininya lagi memang nggak ribet? Nanti tunggu tanya Taehyung aja, ya?” Jawab Jimin sekenanya sambil mengambil dua bungkus roti sobek dari rak mini market.
Eunwoo dan Mingyu sudah tidak terlihat batang hidungnya, mereka berdua benar-benar menyisir seluruh mini market itu; melihat apakah ada barang, makanan dan/atau minuman yang dapat mereka beli.
Taehyung dan Yugyeom yang sudah berdiri di luar toilet, saat ini sedang menunggu Jeongguk. Putra tunggal Steve itu lantas mengecek arlojinya untuk mengecek waktu.
“Gila, kita dari Ciumbuleuit aja tiga jam. Ngalah-ngalahin jarak waktu tempuh dari Jakarta ke Bandung deh, Tae. Anjir bener,” kata Yugyeom memecah keheningan.
“Iya ya, tiga jam ya? Gila sih. Gue dari yang tadi semangat lihat aplikasi sama waktu sampai udah eneg. Lama banget, jing. Satu jam lagi udah kayak bolak balik Jakarta-Bandung-Jakarta kita. Edan.” Taehyung berdecak sambil menyandarkan tubuhnya pada tembok bangunan itu. Ia sudah sangat lelah dan penat. Semangatnya untuk menonton festival benar-benar sudah luntur bersama dengan hujan yang beberapa kali turun dan berhenti sejak tadi mereka memasuki Lembang.
Tak lama berselang, akhirnya Jeongguk keluar dari toilet. Melihat Taehyung yang sudah lesu, ia lantas menghampiri kekasihnya itu lalu mengulurkan kedua tangannya untuk memeluk Taehyung.
“Sayang capek?” Tanya Jeongguk pelan sambil memajukan wajahnya, meninggalkan beberapa ciuman di dagu dan pipi kekasihnya.
Taehyung hanya menjawab dengan menggumam lalu menghela napas. “Iya, lumayan. Karena macet kali, ya, maka aku gampang capek. Biasanya nyetir lama aku biasa aja.” Ia lalu membalas Jeongguk dengan mengecup dahi kekasihnya itu beberapa kali. Merasakan Jeongguk mengusap pelan punggungnya naik turun, Taehyung lantas merasa rileks. Tiga jam Taehyung lalui tanpa merasakan hangat tubuh Jeongguk.
Pelukan Jeongguk seketika membuat Taehyung nyaman.
“Mau gantian sama aku, kah, Tae? Atau kak Namjoon?” Tanya Jeongguk saat mereka berdua sedang menuruni anak tangga. Yugyeom sudah turun sejak tadi, karena ada beberapa barang yang ia ingin beli untuk bekal di perjalanan selanjutnya.
“Nggak usah, yang,” balas Taehyung pendek sambil mengecek handphonenya. “Nanggung soalnya, dari aplikasi sih tinggal satu jam lagi. Dari tadi satu jam mulu deh. Sialan. Heran aku,” Taehyung melanjutkan kata-katanya dengan mengumpat.
Jeongguk lantas menarik tangan Taehyung dan tersenyum simpul, tidak tahu bagaimana lagi caranya untuk menyemangati kekasihnya. “Ya sudah, kalau mau gantian nyetirnya, kamu ngomong ya, Tae?” Jeongguk berkata, lalu mendaratkan ciumannya di bibir Taehyung singkat.
Ia merasakan Taehyung seperti meleleh dalam ciuman singkatnya. Jeongguk lalu tersenyum dan membawa tangannya untuk mengusap pipi kekasihnya itu. “Thank you ya, Tae, kamu sudah super repot dari awal aku mau nonton festival.”
Taehyung lalu membalas kata-kata Jeongguk dengan menggeleng, lalu menangkup wajah kekasihnya itu untuk mencium dahinya. “Nggak repot, sayang. It's my pleasure, okay? Kapan lagi kita punya memorable moments bareng kayak gini? Bakal aku inget sampai bertahun-tahun kali.” Taehyung lalu tertawa, membayangkan perjalanan selama tiga jam ini yang benar-benar masih jauh dari Cikole.
Saat mereka semua berjalan ke luar dari mini market dan memasuki mobil, Taehyung langsung menstarter mobil dan menyambar botol air mineral dingin yang tergeletak di jok antara Jeongguk dan dirinya.
Ia lalu mendengar Namjoon berkata dari belakang. “Tae, tadi ada bapak-bapak nawarin, apa mau kita semua masing-masing ke Cikole naik ojek aja? Katanya ini bakalan macet sampai Cikole, lho. Katanya juga, ini macetnya juga masih lama banget.”
Mendengar kakaknya berkata demikian, Taehyung lantas menyudahi sesi minumnya, menutup botol air itu, dan menoleh ke arah belakang. Ia lalu bertemu pandang dengan kakaknya dan teman-temannya yang duduk di kursi belakang bergantian, seperti mencari jawaban.
“Hmm, it's your decisions, deh, guys. Gue ngikut aja jujur. Emangnya nggak ribet ya nanti balik lagi ke sini nya, kak?” Tanya Taehyung pada Namjoon, sambil melirik ke arah Jimin.
Kekasih kakaknya itu seperti menangkap sinyal dari Taehyung, lalu menjawab menimpali. “Menurut aku sih, Moni, menurut aku, ya. Kayaknya kita tetap bareng aja deh? Soalnya ribet nggak sih nanti balik lagi ke sini? Siapa tahu, nih, siapa tahu, nanti di atas malah nggak ada kendaraan untuk turun?” Jimin berkata dengan hati-hati, menjawab kekasihnya yang sepertinya sedari tadi memang ingin mengikuti saran dari seorang bapak yang ia temui beberapa menit lalu.
Eunwoo, Mingyu, dan Yugyeom tidak bergeming. Mereka bertiga sejujurnya sudah tidak bersemangat sama sekali karena perjalanan yang cukup lama. Minat mereka untuk menonton festival itu perlahan mulai menghilang, namun mereka tidak enak hati untuk mengatakannya. Apalagi melihat Jeongguk yang masih memiliki semangat, walaupun sudah tahu bahwa ia sudah tidak bisa menonton salah satu band favoritnya, Sheila On 7.
Namjoon lalu menghela napas pelan dan mengangguk. “Bener juga kamu, Jimi. Ya sudah, ayo deh. Kita lanjut aja.” Ia lalu menyandarkan tubuhnya lalu bertanya pada adiknya. “Lo nggak mau gantian beneran, Tae?”
Taehyung terlihat menggeleng sambil memasang seatbeltnya, tak lupa mengingatkan kekasihnya untuk memasang miliknya juga. “Nggak usah, kak. Nanggung banget. Paling sejam lagi kita sampai di sana, sih. Tenang aja.”
Setelah menjawab demikian, Taehyung lalu melajukan mobil itu keluar dari parkiran mini market.
;
“Yang, kalau tiket festival harganya cuman seratus ribu, aku sih mau putar balik sekarang juga,” kata Taehyung tiba-tiba pada Jeongguk, yang terlihat sedang mengecilkan suhu pendingin ruangan mobil.
Mobil yang Taehyung kendarai saat ini tengah berhenti di turunan yang agak curam. Lampu rem semua kendaraan di depan mobil mereka terlihat menyala merah dari kejauhan. Taehyung melihat dari dalam mobil, bahwa jalanan akan menanjak cukup tajam beberapa ratus meter dari lokasi mobil mereka saat ini.
Perkataan Taehyung pada Jeongguk tadi ternyata terdengar sampai telinga teman-teman mereka yang duduk di belakang. “Anjir, gue juga mau, Tae, kalau gitu mah. Seratus ribu nggak worth it banget sama macet dan tenaganya ke sini. Untung harganya hampir tujuh ratus ribu,” celetuk Eunwoo dari belakang, yang disambut dengan tawa Mingyu dan Yugyeom.
Well, siapapun pasti pernah merasakan bagaimana berada di posisi membingungkan seperti ini. Rasanya sudah lelah, tidak bersemangat, kesal, penat, dan ingin marah melebur jadi satu.
Jeongguk mendengar kekasihnya dan para sahabatnya berkata demikian, langsung menoleh ke arah Taehyung dan melontarkan kata-kata yang mewakili isi hatinya.
“Ya udah, gue turun aja di sini kalau lo semua mau putar balik.”
Taehyung yang mendengar Jeongguk berkata demikian, akhirnya menoleh cepat dan memandang kekasihnya dengan bingung.
“Lho? Sayang... Aku cuman bercanda,” kata Taehyung kemudian, saat menyadari bahwa mungkin perkataannya membuat Jeongguk kesal.
“Aku juga capek, Tae. Aku tahu kamu pun lebih capek. Tapi aku dari tadi nawarin kamu buat gantian, kan? And yet kamu nggak mau,” kata Jeongguk pelan, tidak ingin membangunkan Jimin dan Namjoon yang sedari tadi tertidur karena lelah. “Dengar kamu ngomong gitu tuh rasanya... ah, sialan lah,” keluh Jeongguk dengan suaranya yang sudah bergetar.
Shit. Kenapa gue harus mau nangis sih saat sedang begini, umpatn Jeongguk dalam hati.
Jeongguk tentu sudah lelah, sungguh sudah mual dengan perjalanan yang seharusnya ditempuh selama satu jam saja dari tempat mereka tinggal jika lalu lintasnya sedang normal. Namun Jeongguk tidak ingin mengeluh, karena jujur, rasa bersalahnya sudah timbul sejak tadi, karena ia sendiri yang sedari awal mengajak mereka menonton festival. Jeongguk lah yang mengusulkan dari awal untuk berangkat jam dua siang. Ia menyesal dan mulai bermunculanlah pikiran negatifnya saat kemacetan sudah mulai terlihat sejak siang tadi.
“Jeongguk. Hei. Lihat aku dulu sini. Ya? Sayang...” Pinta Taehyung, sambil mencoba untuk menarik tangan kekasihnya yang sedang terlipat di dada.
Taehyung rasanya ingin menampar pipinya sendiri karena sudah 'memancing' pembicaraan ini. Ia tidak ada maksud untuk menyindir kekasihnya sama sekali. Ia hanya mencoba untuk mencairkan suasana, namun sepertinya langkahnya malah membuat dirinya terlihat seperti orang berengsek sekarang.
“Aku minta maaf, oke? Aku cuman bercanda. Anak-anak juga bercanda. I didn't mean it,” Taehyung berbicara dengan lirih, berusaha meminta maaf pada kekasihnya yang sudah diam seribu bahasa, tidak menjawab kata-katanya sama sekali.
Taehyung mendengar teman-temannya di belakang meminta maaf pada Jeongguk dengan bahasa mereka sendiri. Mereka bertiga—anggota krucil—tahu persis kebiasaan sahabatnya itu jika sedang kesal dicampur lelah. Jeongguk akan melunak sendiri nantinya, mereka hafal betul.
Maka setelah meminta maaf dengan singkat, mereka bertiga mengambil handphone masing-masing dan mengirim pesan pada Jeongguk secara pribadi.
“Kamu fokus aja sama jalanan, ya? Aku mau tidur sebentar.” Jeongguk lalu menjawab Taehyung datar, lalu menghela napas berat dan menyandarkan kepalanya pada kaca mobil. Ia memposisikan kepalanya dekat kaca jendela, menyembunyikan wajahnya yang sebentar lagi ia tahu akan basah karena air matanya.
“Ya sudah, kamu tidur aja ya, Gguk. Nanti aku bangunin kalau sudah mau sampai,” kata Taehyung menanggapi kekasihnya di sampingnya yang terdengar menghela napas berat sambil menangis.
Well, fuck, umpat Taehyung dalam hati.