magnolia ; i got you • 191

Taehyung memutuskan untuk mengambil langkah lebar-lebar dan berjalan cepat dari lift hingga lobi apartemen Jeongguk, saat pengemudi ojek daring mengabarinya bahwa makanan yang ia pesan sudah sampai di lobi apartemen. Jalanan sore ini tidak terlalu padat, mereka berdua sudah tiba di tempat tinggal Jeongguk sejak sepuluh menit lalu. Selama sepuluh menit itu, dihabiskan dengan mencari lot parkir terdekat dengan pintu masuk apartemen, membereskan barang-barang mereka di jok mobil belakang, berjalan ke arah lift penghuni apartemen, hingga akhirnya sampai di flat Jeongguk.

Taehyung sebelumnya sudah bertanya pada Jeongguk saat di perjalanan, makanan apa yang pria itu inginkan untuk makan malam. Dengan antusias, Jeongguk menjawab ingin memesan Ayam Penyet Bu Vesti yang terletak di Jalan Barito, Jakarta Selatan, yang sudah ia incar selama beberapa hari belakangan.

Mendengar jawaban Jeongguk, Taehyung hanya tertawa kecil, lalu dengan santainya mengulurkan tangan kirinya untuk mengacak-acak rambut Jeongguk, sambil tangan kanannya tetap pada kemudi. Gestur sederhana Taehyung yang tentu membuat tidak hanya rambut Jeongguk, namun juga hatinya menjadi berantakan.

Ia hanya dapat mendengus kasar karena malu sambil dengan cepat memegang kedua pipinya yang terasa menghangat. Taehyung selalu membuat perut dan dada Jeongguk geli seperti dihinggapi kupu-kupu karena komentar dan gesturnya tanpa tedeng aling-aling, seperti ombak di pesisir pantai yang menyapu pasir di sana tanpa henti.

Entah mengapa, Taehyung merasa Jeongguk sudah mulai nyaman untuk terbuka dengannya. Maka ia pun mencoba dan melakukan hal yang sama. Terbuka tidaklah mudah, ia tahu itu. Butuh effort dan kesabaran yang lebih, namun bagi Taehyung, ia akan melakukannya untuk mengenal Jeongguk lebih jauh. For him, it's worth it.

Taehyung menyerahkan handphonenya pada Jeongguk dan memberinya kebebasan untuk memesan apa saja yang ia inginkan untuk makan malam. Jeongguk sempat menyebutkan bahwa ia ingin membeli minuman dari kedai Banban Tea yang hampir setiap minggu menjadi minuman wajib untuknya. Taehyung pun mengiyakan, mempersilahkan pria yang duduk di kursi penumpang di sebelahnya untuk menggunakan aplikasi online miliknya dan membayar dengan saldo miliknya terlebih dahulu.

Saat Jeongguk memencet tombol power pada handphone Taehyung, sesaat senyum di wajahnya memudar, melihat layar benda milik Taehyung itu memampangkan swafoto dirinya yang ia ambil beberapa hari lalu dan mengunggahnya di Twitter. Ia mengernyit. Apa Taehyung sadar bahwa Jeongguk bisa kapan saja menanyakannya mengenai hal ini? Walaupun ya, Jeongguk pun memasang foto pria yang lebih tua darinya itu menjadi home screen handphonenya.

“Tae?” Panggil Jeongguk pelan, menoleh ke arah Taehyung dengan raut wajah bingung yang terlihat jelas di wajahnya. “Kok ada foto gue didepan?”

Posisi mobil Taehyung saat ini sedang berhenti karena traffic light. Lampu jalan yang mengenai perpotongan wajah Taehyung tidak begitu terang, namun Jeongguk melihat dengan jelas raut wajah Taehyung yang entah, tidak bisa Jeongguk baca sama sekali saat menoleh ke arahnya. Otaknya bermain dan berputar, berusaha menebak raut itu. Jeongguk pun melihat cengkeraman Taehyung pada kemudi mengeras, blame the veins that popped up. Ia melihat raut di kening Taehyung dan kedua alisnya menyatu karenanya.

Hening. Tidak ada suara sama sekali yang dikeluarkan oleh keduanya. Mereka berdua hanya mendengar suara napas mereka sendiri dan deru mesin kendaraan di sekeliling mobil Taehyung. Suara lantunan musik yang sedang terdengar melalui speaker mobil Taehyung pun kalah dengan suara napas mereka yang terdengar berat.

Taehyung bingung. Ia harus menjawab apa? Apakah pertanyaan pria yang sudah menempati separuh hatinya itu memiliki maksud tersembunyi? Apakah pertanyaan itu semacam labirin yang akan membuatnya tersesat dan membutuhkan usaha keras untuk keluar dari sana? Taehyung sendiri tidak tahu. Butuh waktu lama untuk Taehyung memikirkan jawabannya.

Namun sejujurnya, tidak ada jawaban yang tepat untuk menanggapi pertanyaan Jeongguk. Karena sebenarnya, Taehyung melakukan hal sederhana itu tanpa alasan yang muluk. Ia hanya ingin. Tidak ada maksud tersembunyi sama sekali.

Maka dengan yakin, Taehyung menjawab lirih sambil tetap menatap Jeongguk, dan mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Jeongguk. Sepertinya traffic light saat itu dapat membaca situasi mereka.

“Nggak ada apa-apa, Gguk. I just wanted to, because that photo makes me smile. And because it's you,” jawab Taehyung tersenyum, sambil mengelus pelan pipi Jeongguk dengan punggung tangannya. “I'm sorry if I overstepped. Again. Tolong bilang gue kalau lo nggak nyaman ya? Gue akan ganti setelah in—”

No, no! It's okay, Taehyung. I love it,” potong Jeongguk cepat, dengan nada panik. Jeongguk sendiri tidak sadar bahwa ia sudah memegang punggung tangan Taehyung yang sedang menempel di pipinya. “I love it, okay?” Kata Jeongguk pada Taehyung dengan nada memohon, untuk sekadar meyakinkan bahwa ia tidak keberatan sama sekali. Ia tidak ingin apapun yang sedang dipikirkan Taehyung saat ini—yang Jeongguk yakin sudah mulai melalang buana dan akan merugikan diri Taehyung sendiri jika tidak segera dihentikan—benar-benar akan memberi jarak diantara mereka berdua.

“Oke, Jeonggukie. Iya, iya, gue percaya. Thank you,” balas Taehyung lega, tersirat senyum simpul di wajahnya; teduh, membuat Jeongguk rasanya ingin tenggelam dalam senyum itu.

Traffic light sudah berubah menjadi hijau, membuat Taehyung harus menarik tangannya barang sebentar dan kembali memegang setir kemudi. Jeongguk merasa hampa, tangannya seperti kosong. Baru saja ia ingin menghela napas berat, Taehyung mengejutkannya dengan meraih tangan kanannya kembali dan mengecup pelan telapak tangannya. Desir geli tidak hanya menyetrum telapak tangan Jeongguk, pun sekujur tubuh rasanya lemas karena bibir mungil Taehyung.

Sungging senyum di wajah mereka berdua tidak bisa disembunyikan. Jeongguk rasanya ingin membuka kaca mobil saat ini juga dan berteriak kegirangan. Taehyung selalu tahu bagaimana caranya membuat dirinya sendiri malu dan geli. Namun ternyata, sepertinya ia benar-benar menyukainya.

Just tell me everything that bothers your mind, okay?” Taehyung bertanya sambil tetap menggenggam tangan Jeongguk erat, mengelus pelan punggung tangannya dan menaruhnya diatas paha Jeongguk.

“Iya, Taehyung. I always will,” balas Jeongguk singkat sambil tersenyum lebar, menunjukkan gigi putihnya yang terlihat seperti kelinci itu. “Actually there's something I need to tell you. Nggak apa, 'kan?”

Taehyung merespon dengan menggumam sesaat, melirik spion kiri mobilnya untuk berpindah ke lajur kiri yang terlihat sepi. “Iya, boleh dong. Nanti habis makan aja. Ya?”

Jeongguk tersenyum dan mengangguk. “Okay then.”

;

Mereka berdua akhirnya bersandar pada kaki sofa sambil memegang perut masing-masing, dan mendengar keduanya bersendawa setelah selesai makan malam. Mereka berdua sudah terlalu kenyang. Entah berapa banyak makanan dan minuman yang tadi dipesan oleh Jeongguk untuk makan malam mereka. Taehyung beberapa kali menggelengkan kepalanya dan tertawa karena harus bergantian dengan Jeongguk untuk bolak-balik turun ke lobi apartemen dan mengambil pesanannya.

Setelah Jeongguk dan Taehyung memutuskan untuk mandi bergantian karena sudah berkeringat akibat naik-turun ke lobi dari flat Jeongguk, akhirnya Taehyung mengganti bajunya di kamar tamu dan mengambil duduk di sofa yang menghadap ke arah jalanan sekitaran Kemang malam ini. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, namun kendaraan bermotor terlihat sudah mulai jarang yang berlalu-lalang.

Ia mendengar Jeongguk bertanya padanya apakah ingin menikmati white wine atau red wine malam ini. Taehyung hanya membalas dengan teriakan bahwa ia akan mengikuti pilihan Jeongguk malam ini.

Taehyung menghela napas, ia tidak tahu apa yang akan dibicarakan oleh pria itu malam ini. Taehyung memang merasakan bahwa Jeongguk sudah mulai terbuka dengannya, namun terkadang ia merasa gugup dengan apa yang akan Jeongguk lakukan dan/atau katakan. Pengalaman cinta masa lalunya terlalu monoton dan membosankan; Taehyung hanya memberi, memberi, dan memberi, tanpa mendapat balas. Seperti komunikasi satu arah. Ia juga tidak mengerti mengapa memilih untuk bertahan selama beberapa bulan dengan mantan kekasihnya saat itu. Kalau tidak karena untuk menyenangkan hati kakak tertuanya, Seokjin, ia tidak akan bertahan selama itu dengan mantan kekasihnya yang notabene teman baik kakaknya itu.

Jeongguk membawa satu botol white wine dan dua gelas wine dengan tangannya dan melangkahkan kakinya memasuki ruang tengah apartemennya. Sandal yang ia kenakan bergesekan dengan lantai, secara otomatis mencuri perhatian Taehyung. Pria yang lebih tua darinya itu menoleh ke arahnya lalu tersenyum, mengulurkan tangannya untuk meraih botol yang ia jepit diantara lengan dan dadanya.

“Sini, Gguk. Gue ambil biar nggak jatuh,” usul Taehyung kemudian, lalu menaruh botol minuman itu diatas meja. Setelah mengucapkan terima kasih, Jeongguk segera duduk di samping Taehyung dan mencari posisi nyaman untuk mulai berbicara dengan pria itu.

“Jadi, lo mau ngomong apa, Gguk? Is there anything wrong?” Tanya Taehyung hati-hati, mencoba menyusun kata-katanya dan berkata dengan nada senetral mungkin, berusaha untuk memberikan rasa nyaman pada Jeongguk yang sedang menatapnya lekat-lekat.

Taehyung melihat tangan Jeongguk yang menganggur diatas paha pria itu, dengan berani ia lalu meraih tangan itu dan menariknya. Dengan hati-hati, Taehyung mengelus pelan punggung tangan Jeongguk dengan ibu jarinya, melihat Jeongguk akhirnya memejamkan matanya dan menghela napas berat. Ia membatin, sepertinya Jeongguk membutuhkan waktu untuk mengutarakan isi hatinya pada Taehyung.

“Sejujurnya, gue hari ini tadinya ngajak lo ke apartemen adalah untuk minta waktu dan jarak, Tae.”

Gerakan ibu jari Taehyung berhenti. Jeongguk rasanya ingin meminta Taehyung untuk terus melakukannya, namun entah, rasanya ia tidak bisa. Status dan hubungan mereka berdua yang masih diambang ketidak jelasan membuat Jeongguk tidak bisa 'meminta' lebih. Bahkan gestur sederhana yang tak lagi dilakukan Taehyung itu pun membuat Jeongguk murung.

“Oh.” Jawab Taehyung singkat, sambil perlahan melepas genggaman tangannya dari tangan Jeongguk, dan menariknya. Jeongguk tahu betul, ada nada kekecewaan di sana. Sejak tadi mereka sampai di apartemen, Jeongguk merapalkan doa dalam hati, berharap Taehyung tidak akan 'lari' dan meninggalkannya sendirian. Atau bahkan, tidak menghentikan apapun yang sedang Taehyung lakukan untuk memberikan kenyamanan pada Jeongguk seperti yang ia lakukan sejak tadi.

Apa harapannya sudah dipatahkan? Ia bahkan baru memulai pembicaraan.

Taehyung mendengar Jeongguk dengan jelas. Bagaimana pria yang ada di hadapannya mengatakan hal yang selama ini menjadi ketakutan terbesarnya. Saat dirinya sedang benar-benar ingin memberikan perhatian dan kasih sayang pada Jeongguk, pria itu justru ingin meminta jarak dan waktu darinya. Apa Taehyung selama ini salah? Ia merasakan hatinya mencelos. Otaknya dan pikirannya mulai dipenuhi dengan pertanyaan yang ia sendiri sudah tahu jawabannya.

Apa segala sesuatu yang ia lakukan membuat Jeongguk terganggu, sehingga ia ingin meminta waktu dan jarak darinya?

“Lo terganggu ya, Gguk?” Taehyung akhirnya bertanya, tepat mengenai sasaran. Ia tidak ingin berlama-lama mengulur waktu di apartemen Jeongguk, jika memang benar adanya. Ia akan memberikan Jeongguk waktu, selama apapun itu. Ia tidak ingin membuang waktu Jeongguk berlama-lama. Ia tidak ingin membuat pria dengan senyum manis itu terganggu karenanya.

Jeongguk hanya menunduk, menggelengkan kepalanya berkali-kali, berusaha memberikan jawaban pada Taehyung bahwa ia sama sekali tidak merasa terganggu. Sebaliknya, Jeongguk bahagia dan senang telah dipertemukan dan didekatkan dengan Taehyung. Merasakan bahwa dengan Taehyung, ia belajar banyak hal hampir setiap hari. Bagaimana memisahkan urusan pekerjaan dengan urusan dirinya sendiri, bagaimana caranya menikmati hidup dan tidak melulu memikirkan pekerjaan, dan bagaimana caranya bersosialisasi dengan sekelilingnya.

Ia belajar banyak hal, dan ia berusaha agar Taehyung mengetahuinya.

“Nggak, Tae. Justru— justru sebaliknya,” balas Jeongguk akhirnya. Ia menghela napas berat, mengangkat wajahnya dan menatap Taehyung lagi. “Tae, may I say something? Tapi, please, jangan potong gue?” Pinta Jeongguk dengan nada sedikit memohon. Ia ingin Taehyung mendengarnya dengan lengkap, tidak sepotong-potong yang justru akan menjadi bibit-bibit kesalahpahaman terjadi.

Taehyung mengernyitkan dahi sekilas dan Jeongguk melihatnya dengan jelas. Taehyung lalu mengangguk pelan tanda setuju dan mencoba untuk tersenyum. “Boleh, Jeongguk. Go on.”

Jeongguk akhirnya menceritakan kekhawatirannya, sama seperti yang ia ceritakan pada Yugyeom. Bagaimana ia khawatir Taehyung akan berpikir, bahkan merasakan bahwa phase Jeongguk sangat lambat, tidak tahu kemana arah hubungan ini akan bermuara. Bagaimana Jeongguk merasakan adanya kekhawatiran bahwa Taehyung akan serta-merta meninggalkannya dan melabuhkan hatinya pada Anggia.

Saat dirinya menyebut nama Anggia, dengan jelas Jeongguk mendengar Taehyung mendengus kasar dan hendak memotongnya yang sedang berbicara. Namun Jeongguk menahan Taehyung berbicara, menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. Jeongguk mendengar Taehyung terkekeh karena aksinya, lalu mengecup telapak tangan Jeongguk yang masih menutupi mulutnya.

“Tae...,” keluh Jeongguk pelan akibat ulah Taehyung barusan. Ia tidak bisa berteriak saat ini, maka ia hanya bisa mengeluh sambil berusaha menyembunyikan semburat merah di kedua pipinya yang mulai muncul.

“Iya, iya, maaf, ganteng. Ayo lanjutin, Gguk,” kata Taehyung sambil menyentuh hidung Jeongguk dengan jari telunjuknya. Ia ingin menenangkan dirinya sendiri dan Jeongguk, maka dengan berani Taehyung mengarahkan tangannya untuk menyisir rambut Jeongguk yang menutupi matanya. Taehyung lalu menyelipkan rambut Jeongguk di belakang telinganya yang terlihat dihiasi dengan beberapa tindikan.

Wajah mereka hanya berjarak setengah meter saat ini. Jarak ini, mempermudah Jeongguk untuk meneliti wajah pria yang menarik hatinya beberapa bulan belakangan. Ia dapat melihat tahi lalat di ujung hidung Taehyung yang mancung dan di bawah bibir kecilnya. Ia menyadari bahwa kedua kelopak mata Taehyung berbeda. Ia pun dapat melihat manik hazel itu dari dekat, bagaimana sepasang mata itu memancarkan kasih sayang yang begitu besar dapat Jeongguk rasakan. Hanya dari pandangan mata Taehyung, Jeongguk merasa sekujur tubuhnya lemas dan ingin segera tenggelam dalam sorot mata itu.

Jeongguk akhirnya melanjutkan, bagaimana ia berharap Taehyung bersedia menunggunya, sampai kapanpun Jeongguk siap. Ia terdengar egois, oh tentu ini adalah keegoisan Jeongguk yang berbicara. Namun, jauh di dalam hati kecilnya, ia berharap Taehyung menerima keegoisannya itu. Menerima Jeongguk kelak—baik dan buruknya.

Setelah ia mengutarakan seluruh isi hatinya, ia menundukkan kepala, menghindari sorot mata Taehyung yang seperti ingin mencari hal lain darinya. Untuk Jeongguk, sudah tidak ada lagi yang ia sembunyikan dari Taehyung. Seluruh kekhawatirannya sudah ia tumpahkan bersama dengan isi hatinya pada Taehyung.

Membutuhkan waktu sepuluh menit untuk Taehyung menyusun kata-katanya dan mempersiapkan diri sebelum menjelaskan kepada Jeongguk, jawaban yang sebenarnya pria itu perlukan. Taehyung tahu, ia harus benar-benar meyakinkan Jeongguk bahwa saat ini—dan ia berharap untuk waktu yang cukup lama, Taehyung sudah melabuhkan hatinya pada Jeongguk. Tidak ada yang lain. Jeongguk layaknya pelabuhan istimewa yang menarik perhatiannya, dan Taehyung tahu, ia tidak perlu melirik yang lain karena bagi Taehyung, satu Jeongguk sudah lebih dari cukup.

“Jeonggukie, boleh lihat gue sebentar, hmm?” Tanya Taehyung sambil mengelus pelan pipi Jeongguk dengan punggung tangannya, menggunakan ibu jari dan jari telunjuknya untuk menarik dagu Jeongguk agar mereka bertatapan.

Taehyung akhirnya menatap sepasang mata indah itu lekat-lekat. Kedua mata Jeongguk layaknya galaksi yang ditaburi bintang-bintang terang dan gemerlap. Sorot mata itu, adalah sesuatu yang ingin Taehyung pandang dan simpan selamanya.

First of all, Jeonggukie, gue beruntung bisa membuat lo nyaman dan akhirnya terbuka sama gue. Hal itu nggak gampang, gue tahu,” mulai Taehyung sambil tetap menggerakan ibu jarinya lembut di dagu Jeongguk. Pria itu hanya merespon kata-kata Taehyung dengan menggumam, menekankan dagunya pada ibu jari lawan bicaranya yang membuatnya merasa aman.

Second of all, why Anggia? Don't you realize that I don't even like her, hmm, Jeonggukie?” Tanya Taehyung sedikit menekankan maksudnya. Ia ingin sekali rasanya mengetuk dahi Jeongguk, memaksa pria itu untuk 'sadar' bahwa hanya Jeongguk-lah yang singgah dihatinya. “Haven't I told you that I like you? I will tell you everyday, then, so you won't even doubt it anymore.”

And the last but not least, Gguk, gue akan memberi lo waktu, kapanpun lo mau. Selama apapun lo minta. Well, people may say gue certified bucin, but I don't care.” Taehyung berkata, final. “Bagi gue, Jeongguk, lo terbuka pun gue sudah bersyukur. Kita belajar dari masing-masing; kapan harus maju, kapan harus berhenti—

“—dan bagi gue, kita harus berkomunikasi dua arah. Gue bersyukur hubungan kita yang belum kita kasih nama ini, komunikasi kita selalu lancar. Itu adalah bagian dari belajar. Menurut gue. And I'm willing to learn with you, together, okay?”

Taehyung tidak memberikan celah untuk Jeongguk membalas jawabannya. Ia mengakhiri pembicaraan yang menurutnya sudah cukup menjawab pertanyaan pria itu. Taehyung lalu menarik tangannya dari dagu Jeongguk dan menaruhnya di belakang kepala Jeongguk. Menyisir rambut hitamnya yang tebal lalu memegang belakang kepalanya untuk mendorongnya; mendekatkan wajah mereka.

Ia lalu dengan yakin mendaratkan bibirnya pada dahi Jeongguk, meninggalkan rasa sayang yang cukup lama di sana. Taehyung ingin Jeongguk merasakan betapa besar rasa sayangnya. Ia ingin menunjukkan pada Jeongguk, bahwa ia akan selalu bersama dengan pria itu, kemana pun hubungan itu berlabuh.

I'm willing to learn with you, too, Tae. Pelan-pelan, ya?”

“Iya, Jeongguk. Pelan-pelan. We can do it. I know we do.”